Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Miskomunikasi dan Kecelakaan Penerbangan

12 Mei 2012   11:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:24 4172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejumlah kecelakaan pesawat terbang di dunia bisa juga terjadi karena miskomunikasi. Kecelakaan pesawat terbang dengan korban tewas terbesar sampai saat ini (583 jiwa), setelah dilakukan investigasi mendalam, ternyata dipicu oleh faktor miskomunikasi pilot dan pihak air traffic controller (ATC).

Kecelakaan dashyat yang dimaksud adalah tabrakan dua pesawat Boeing 747 (KLM dan PanAm) di bandara Tenerife North Airport di Kepulauan Canary (Spanyol) pada tanggal 27 Maret 1977. Inilah rangkuman kisah nahas Tenefire.

KLM Nomor Penerbangan 4805 berangkat dari Amsterdam dengan tujuan Grand Canaria International Airport di kepulauan Canary. Pesawat yang diawaki 14 orang itu mengangkut 234 penumpang (total 248 penumpang). Sementara itu pesawat PanAm nomor penerbangan 1736, berangkat dari Los Angeles dengan tujuan Gran Canaria International Airport, di kepulauan Canary. PanAm-1736 yang diawaki 16 orang, mengangkut 380 penumpang (total 396 penumpang). Kedua pesawat ini, seperti pesawat-pesawat lainnya ke jurusan Kepulauan Canary, membawa wisatawan.

Kedua pesawat tiba di udara kepulauan Canary pada tanggal 27 Maret 1977 pagi. Bandara Gran Canaria pada hari itu ditutup oleh otorita setempat karena ada ancaman bom. Semua pesawat ke tujuan Gran Canaria Airport dialihkan ke bandara di pulau-pulau sekitarnya, di antaranya di Bandara Los Rodeos, yang kini bernama Tenerife North Airport. KLM-4805 dan PanAm-1736 termasuk pesawat yang mendarat sementara di Tenerife. Bandara Tenefire sendiri (yang hanya punya landas pacu tunggal) sudah penuh sesak dengan pesawat-pesawat parkir di kawasan taxiway-nya.

Pada sore harinya, Gran Canaria International Airport dibuka kembali. KLM-4805 dan PanAm-1736 dijinkan kembali terbang menuju tujuan aslinya yakni bandara Gran Canaria yang tidak jauh lagi dari Tenerife. Dengan banyaknya pesawat lain yang parkir di taxiway Tenerife, KLM-4805 terpaksa menggunakan runway (landas pacu) untuk melakukan taxiing menuju titik take-off. Dalam istilah penerbangan ini disebut dengan istilah taxiback. Pada sore itu, kabut tebal menyergap bandara Tenerife.

PanAm-1736 pun bersiap menuju landas pacu, dan kedua pesawat ini tidak bisa saling melihat dalam rendahnya visibility (daya pandang) di sore berkabut itu. Pihak ATC-pun tidak bisa melihat kedua pesawat ini dan tidak bisa mendeteksi lokasi kedua pesawat ini karena di bandara itu tak tersedia ground-radar. Satu-satunya sarana ATC untuk berkomunikasi dengan kedua pesawat ini adalah radio komunikasi.

Pada saat berada di titik take-off, pilot KLM-4805, mencoba mendapatkan clearance untuk take-off, dengan memberikan informasi kepada ATC dengan mengatakan “we are now at take-off” (kami sekarang berada di titik take-off, atau kami siap take-off). Pihak ATC membalas dengan kata “OK, stand by for take-off. We will call you”. Komunikasi inilah yang diduga mengandung kesimpangsiuran makna. Pada saat pilot KLM-4805 menginformasikan ‘we are now at take off’, sebenarnya pihak ATC belum memberikan clearance untuk take-off. Jawaban pihak ATC yang berbunyi ‘OK’ itupun maksudnya adalah “OK, stand by for take-off’ (OK, siap-siap untuk take-off). Ternyata, “OK”, dari ATC tersebut dimaknai oleh Pilot KLM-4805 sebagai clearance untuk take-off. Mereka melepas rem, dan mulai melaju di landas pacu.

Sementara itu, PanAm juga bergerak di landas pacu untuk melakukan taxiback ke titik take-off. Pilot PanAm-1736 menginformasikan mereka masih sedang berada di landas pacu, dan mendapat jawaban dari ATC, bahwa landas pacu aman. Tapi Pilot PanAm merasa ada yang tidak beres. Ia mendengar semua komunikasi KLM-4805 dengan ATC, tapi pilot KLM-4805 tidak bisa mendengar radio pilot PanAm-1736 karena gangguan radio yang disebut heterodyne. Pilot PanAm-1736 berseru, “No….” melalui radio, tapi tak terdengar oleh pilot KLM ataupun ATC. Dan tiba-tiba saja di landas pacu tunggal itu, Pilot PanAm melihat KLM-4805 melaju ke arah mereka dengan kecepakatan hendak take-off.

Ketika sadar pilot KLM-4805 tahu ada ada pesawat PanAm-1736 di landas pacu, sudah terlambat bagi pilot KLM-4805 terlambat untuk menghentikan lajunya pesawat. Untuk mencegah benturan, pilot KLM-4805 memaksakan pesawat untuk climbing (mendongakkan moncong) untuk mengudara, dan premature climbing ini membuat bagian ekor tergeser di permukaan landas pacu dan menimbulkan percikan api. PanAm-1736 mencoba berbelok keluar landas pacu untuk menghindari tabrakan, namun terlambat. Badan PanAm-1736 terhantam bagian bawah moncong KLM-4805. Satu mesin KLM-4805 rontok akibat tabrakan ini, namun pesawat KLM-4805 masih meluncur ke udara setinggi sekitar 150 meter dan kemudian terhempas, lalu meledak tak jauh dari landas pacu.

Akibat tabrakan ini, seluruh penumpang KLM-4805 (248 orang) tewas, sementara di pihak PanAm-1736, 326 penumpang dan 9 awak tewas. Total korban dari kedua pesawat adalah 583 orang. Tragedi Tenerife disebut-sebut sebagai Kecelakaan Terbesar Sepanjang Sejarah Penerbangan karena besarnya korban.

Investigasi menyimpulkan bahwa kesalahan ada di pihak pilot KLM-4805, yang salah menginterpretasikan kata-kata, “OK, stand by for take-off” dari pihak ATC. Kapten Jacob Veldhuyzen van Zanten, pilot KLM-4805 adalah seorang pilot berpengalaman, sangat terlatih, dan merupakan pelatih para pilot di Belanda.

[caption id="attachment_176742" align="aligncenter" width="509" caption="Ilustrasi tabrakan KLM dan PanAm di bandara Tenerife, 1977 (foto : walllook.com)"][/caption]

Menarik disimak dari kasus pesawat nahas Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, adalah spekulasi yang dilansir oleh situs Russian Behind The Headlines (10 Mei 2012), yang mengutip www.kommersant.ru, bahwa menurut sejumlah ahli dirgantara Russia, kecelakaan Sukhoi di Gunung Salak mungkin terjadi karena berbagai faktor, yakni kurangnya pengetahuan awak pesawat akan karakteristik penerbangan di kawasan pegunungan, meski penerbangan dipimpin oleh pilot sekawakan Alexander Yablontsev sekalipun. Faktor lain yang dikemukakan adalah kemungkinan misunderstanding (salah pengertian) antara awak pesawat Sukhoi Superjet 100 dengan pihak air traffic controller (ATC). Situs www.kommersant.ru menyebutkan bahwa pihak ATC kehilangan kontak dengan pesat Sukhoi nahas tersebut setelah pilot minta ijin untuk turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki dan pilot sudah mendapatkan ijin untuk itu (advised to do so). Para ahli penerbangan yakin bahwa sang pilot MUNGKIN MENGINTERPRETASIKAN informasi ATC ini sebagai command (perintah) sementara pihak ATC sendiri , karena tak bisa tidak bisa dengan tepat mengontrol posisi pesawat yang sedang berada di kawasan pegunungan, menyarankan awak pesawat untuk turun ke ketinggian tersebut atas keputusan mereka sendiri. Para ahli ini juga berspekulasi bahwa satu-satunya alasan kenapa awak pesawat berani terbang di kawasan pegunungan adalah untuk menunjukkan kemampuan pesawat kepada para pembeli potensial pesawat dan sejumlah jurnalis yang ikut dalam penerbangan tersebut.

Tragedi Sukhoi di Gunung Salak masih dalam penyelidikan yang berwenang. Banyak kemungkinan penyebabnya.Bila hasil investigasi telah tersedia, kita bisa tahu penyebabnya dan kita umat manusia bisa mencari cara agar tragedi transportasi udara yang merenggut nyawa insan-insan yang kita cintai tak perlu lagi terjadi.

Saya tertarik pada kajian-kajian bahasa sebagai sarana komunikasi. Saya pribadi berharap, kesalahan interpretasi atau miskomunikasi bahasa bukanlah penyebab tragedi itu. Di dunia penerbangan, telah dilakukan berbagai upaya standardisasi istilah, kata dan pemaknaannya. Misalnya, kata ‘take-off’ konon saat ini hanya digunakan bilamana clearance untuk take-off sudah diberikan dan mengacu pada ‘take-off’ yang sebenarnya. Sementara itu, apabila pesawat masih menunggu di titik take-off, istilahnya adalah ‘ready for departure’. Rekayasa dan standardisasi komunikasi seperti ini sangat penting untuk meminimalisir misunderstanding dan miscommunication agar hal yang relatif ‘sepele’ ini tidak menimbulkan dampak yang mengenaskan.

Mari kita panjatkan doa agar para korban tewas mendapatkan tempat yang layak disisi-NYA, para sanak keluarga yang ditinggalkan mendapatkan ketabahan, dan kita senantiasa berharap tragedi serupa tidak terulang lagi. Amin!

Sumber :

www.en.wikipedia.org

http://wafflecheese.hubpages.com/hub/English-Caused-Aviation-Accidents-A-Case-Study

http://rbth.ru/articles/2012/05/10/sukhoi_superjet_crash_caused_by_human_error_15608.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun