Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perempuan dari Malmedy 12 : Ruang Sempit di Museum de Valk

19 Januari 2012   06:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:42 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

EPISODE 11 : PUTRI KELAM BERWAJAH BURUK bisa dibaca di sini

EPISODE 12 : RUANG SEMPIT DI MUSEUM DE VALK

Matahari menjelang pukul 4 sore masih benderang ketika kereta api sampai di Leiden. Pitra menurunkan sepeda dari gerbong sepeda. Lewatpetunjuk penumpang lain, Pitra dengan mudah mencapai museum kincir angin de Valk, di jantung kota Leiden. Seorang petugas penjaga museum, masih muda, menemui Pitra.

“Saya mencari Karin, Karin Hollsner,” dengus Pitra.

”Anda meneer Pitra?” tanya petugas.

”Ya!”

Pemuda itu mengamati Pitra saat.

”Karin menunggu Anda di lantai lima. Silakan naik lewat sini,” petugas itu menunjukkan jalan masuk, ”hati-hati, tangganya sangat curam”

Tanpa mengucapkan terimakasih, Pitra menaiki satu persatu tangga menuju ke lantai lima museum berbentuk kincir angin itu. Semakin ke atas ruangan museum semakin sempit. Namun, meski sempit, agak sulit juga Pitra membedakan setiap ruangan di lantai lima. Ruangan lantai lima tak lebih luas daripada sebuah kamar tidur, tampak makin sempit sempit karena tersekat-sekat. Agak sulit Pitra menemukan Karin.

[caption id="attachment_156488" align="aligncenter" width="300" caption="Museum de Valk, Leiden (foto : tripadvisor.co.uk)"]

1326955730704869447
1326955730704869447
[/caption]

Hampir saja Pitra berteriak mencari Karin ketika ia menemukan sebuah bilik sempit berukuran 150 x 150 cm. Di bilik itu Karin tengah duduk menanti. Pitra berdiri dengan raut marah di pintu masuk.

Tak terdengar suara Karin menyapa. Ia menunggu Pitra bicara. Matanya menyiratkan itu.

”Kau menulis surat ini,” Pitra menunjukkan surat yang sudah kumal teremas.

”Ya. Ini tempat yang aman untuk bertemu. Aku bekerja sebagai pemandu sukarelawan di museum ini,” ujar Karin.

”Dengar, Karin. Aku tidak perduli siapa kau. Dan aku tak sudi mendengar dalihmu. Kau perlu tahu kau sangat menggangu hidupku dan hidup kawan-kawanku. Kau tahu aku baru mengalami peristiwa apa? Flat Riri tempat aku tinggal terbakar. Zaldy dan Riri lenyap entah kemana. Aku tak ingin lagi diganggu iblis Inrenanu atau monster-monster kampungan yang menaku-nakuti. Aku tak ingin masuk dalam teka-tekimu. Kau harus kembalikan Riri dan Zaldy padaku!” berondong Pitra

”Pitra ....biar aku bicara!”

”Tidak perlu. Cepat tunjukkan dimana Riri dan Zaldy berada,” hardik Pitra. Sama sekali ia tak tertarik pada nada suara Karin yang memohon kesabaran, ”cepat tunjukkan atau kulempar kau kebawah”

Karin menatap Pitra, ”aku tahu dimana mereka berada. Tapi aku tak berdaya!”

”Tak berdaya? Enak saja kau bicara. Kau bisa datang dan pergi dengan mudah. Kau bisa mengubah dirimu jadi bayangan, jadi kumpulan warna, tapi kini kau bicara tidak berdaya. Katakan di mana Riri dan Zaldy!”

Karin menggeleng, dan menunduk. Ketika ia mengadahkan dan menyibak rambut, Pitra melihat genangan air mata di matanya. Sesaat kemudian sebuah aliran sungai kecil melintas pipinya yang kuyu.

Pitra tercenung sesaat. Tapi ia tak goyah oleh tangis gadis itu.

“Aku bisa saja membencanaimu manakala kau masuk museum ini. Ada beberapa penjaga bertubuh gempal yang bisa meremukkan tulangmu sekali gebrak. Tapi itu tidak kulakukan. Aku ingin bicara padamu, ingin menjelaskan segalanya dan ingin kau membantuku, ” suara Karin melemah.

”Apa urusannya dengan aku?” Pitra belum reda.

”Ini sebuah kebetulan yang sial. Aku tak menduga begini jadinya”

”Jangan berbelit-belit!” Pitra merenggut segugus rambut Karin dan mendongkkannya.

”Oke...oke,” Karin memohon, ”lepaskan rambutku.”

Pitra melepaskan rambut Karin dengan kasar. Karin menyisirnya dengan kelima jari.

”Aku memang mencuri, melarikan jarum Kalugatii!” Karin mengusap hidung.

Pitra terkesima sesaat, nyaris tak percaya.

”Mencuri dari siapa?”

”Kau masih mau mendengar penjelasanku?” Karin menatap Pitra.

”Kau terlalu banyak omong”

”Oke...oke, aku mencuri jarum itu dari kelompok ilmuwan peneliti yang dikepalai Bad Smallstone. Ia seorang mahasiswa tingkat magister bidang fisika. Ia orang Inggris dan mempunyai sejumlah anak buah yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Nama sebenarnya Ted Smallstone, tapi rekan sekampus menjulukinya Bad, artinya jelek. Ted sama sekali tidak seperti yang diduga teman-temannya. Ia brilian dan jenius. Gagasan-gagasannya cemerlang dan serius,” kata Karin.

”Dalam kelompok itu ada calon ahli kimia warga Jerman, ada calon ahli sejarah dari Belgia, ada mahasiswa arkeologi dari asia. Kelompok ini bekerja dengan sangat rahasia,” lanjut Karin. Pitra berusaha sabar menyimak.

”Apa hubungannya dengan kelompok itu?” Pitra menggeser kursi dan duduk tak jauh dari Karin.

”Aku asisten kelompok itu, aku dibayar mingguan”

”Jadi kau tahu persis kelompok itu?”

”Semula memang begitu. Tapi sekarang tidak”

”Baiklah. Soal jarum itu?”

”Jarum itu kuambil dari sebuah museum kuno di pinggiran kota Delhi, India, lewat seorang fakir. Fakir itu memberikan jarum itu padaku di bandara Indira Gandhi”

”Lalu?”

”Aku tak bisa memabawa sendiri jarum itu lebih dari satu jam. Jam Kalugatii tak akan pernah bisa berada di tangan seorang wanita lebih lama dari satu jam. Itulah sebabnya, secara kebetulan aku menitipkan jarum itu padamu, ketika kita ngobrol di ruang tunggu Bandara Indira Gandhi waktu kita transit tempo hari,” Karin menatap Pitra. Ia bisa dengan jelas membaca raut kejut Pitra.

”Kau titipkan padaku?” tanya Pitra. Gusar sekali ia pada penjelasan Karin yang belakangan ini.

”Ya aku sisipkan jarum itu dalam kulit tasmu, ketika aku berpura-pura mengagumi tasmu di ruang tunggu bandara Indira Gandhi di New Delhi dini hari itu,” tegas Karin.

”Kenapa kau pilih tas kulitku?”

”Jarum itu tak akan bisa dideteksi dengan benda apapun ketika ia berbungkus kulit,” tutur Karin.

Pitra menghela nafas, dan mencoba mengingat-ingat kejadian seminggu ini. Kini sedikit ia mulai memahami persoalan.

”Jadi, bule-bule jahanam, termasuk Karl dan Fred itu memang punya alasan mengejar tas kulitku?” tanya Pitra. Karin mengangguk.

”Ya, mereka itu anak buah Bad Smallstone!”

”Kenapa mereka tahu jarum itu ada ditasku?”

”Mereka cuma menduga-duga. Mereka tahu aku tak mungkin membawa sendiri jarum itu. Pasti aku menitipkannya secara tak sengaja pada orang lain. Mereka tahu aku bersamamu dalam perjalanan”

”Sudah berulang kali mereka mengobrak-abrik tasku, kenapa tidak berhasil menemukan jarum Kalugatti?” desak Pitra.

”Mereka mengira jarum itu ada dalam tas, tapi tidak menyangka kalau aku menyelipkannya dalam tubuh kulit tas!” Karin bicara agak lancar. Diam-diam amarah Pitra mereda, dan balik mengagumi kecerdasan gadis Malmedy ini.

”Demikian pentingnya jarum itu,” Pitra bicara sendiri, ”tapi kenapa kau mencurinya dari Bad Smallstone?”

Karin tak bicara. Ia menyibak dan membersihkan sisa-sisa airmata di pipi.

”Jarum itu menyangkut hidup orang banyak. Bad Smallstone dan kawan-kawan tak pernah memperhitungkan kalau penelitiannya bisa membahayakan orang banyak,” kata Karin. Pitra membaca nada serius yang terpancar dari wajah Karin. Rasa ingin tahu Pitra mendadak muncul.

Beberapa saat kemudian, Karin mengambil sebuah pisau silet dari hadapannya, ”kemarikan tasmu, akan kutunjukkan benda yang bikin heboh itu.”

Ragu-ragu Pitra menyerahkan tasnya.

Karin menyebetkan pisau silet pada bagian belakang tas Pitra. Ia membedah dalam kulit itu sampai ia berhasil mengeluarkan sebuah jarum pipih berwarna kuning emas. Terbelalak Pitra menayaksikan jarum yang selama bebrapa hari ini tersembunyi dalam kulit tasnya.

Hati-hati jarum itu diletakkan Karin disebuah alas kertas di atas meja. Dengan sebuah kaca pembesar di tangan, Karin meminta Pitra memperhatikan jarum itu.

”Panjang jarum ini 7,2 centimeter, berbentuk tombak pipih berujung runcing dan lancip. Lebarnya tak lebih dari 3 milimeter dan tebal hampir dua milimeter, terbuat dari campuran kuningan dan tembaga. Di sekujur jarum itu, terdapat 23 kata yang ditulis dalam bahasa Rumania beraksara Romawi.

Tak jelas apa arti tulisan-tulisan di jarum itu. Yang terang, aksara ini ditulis dengan teknologi ukir yang menakjubkan. Aku akan ceritakan sejarah jarum itu” Karin bersandar. Pitra duduk di meja kecil di hadapan Karin, mulai tertarik mendengarkan kisah Karin.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun