Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novelet: Perempuan Yunani dan Guru Privat Bahasa Indonesia (7)

25 Oktober 2011   05:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:32 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

EPISODE 6 ADA DI SINI

Selama beberapa saat aku tak mampu berpikir cermat. Siapa yang bisa tentram dalam situasi seperti ini? Istri jelas-jelas serong dengan suami siswa les bahasa Indonesia yang kini mulai berkawan akrab dengan aku, seorang perempuan mempesona yang tengah terguncang dan kehilangan sayap.

Trista! Eleni!

Oke, satu persatu situasi tak mengenakkan ini harus diurus dengan baik. Aku memencet nomor telepon Gusti, sahabatku karyawan café di satu sudut kota Surabaya.

“Gusti, aku perlu bantuanmu!” kataku.

“Katakan apa yang perlu kubantu, kawan!”

“Deskripsikan bule yang bersama istriku di café waktu itu”

“Ah, cemburu rupanya”

Just tell me, please!”

“Oke. Bule itu ganteng, rambut rapi, sering datang ke café. Belakangan ini aku tahu ia orang Yunani, namanya Alexandrous!. Aku pernah ngobrol dengannya sebentar dan ia kasih tips”

Aku menghempaskan nafas.

“Dua Sabtu lalu, untuk kesekian kalianya, istrimu dan Alexandrous lama mengobrol, mengambil tempat di sofa pojok, bicara berdekatan, sesekali tertawa ringan. Dua-duanya, kerap kali kulihat bertatapan mesra. Sayang aku pas tidak bawa HP kameraku,” jelas Gusti, sebuah penjelasan yang membuat dadaku teriris-iris.

Benar! Berarti ada yang tidak beres. Dua Sabtu lalu, ketika Trista bilang mau ke spa dan batal karena alasan ada panggilan darurat dari kantor, itu ternyata bohong belaka. Sejak dari rumah Trista rupanya ada janji ketemu Aelxandrousdan memilih bermalam minggu di café bersama Alexandrous katimbang bersamaku dan Reina. Dan agaknya Alexandrous-pun lebih suka meninggalkan Eleni sendiri di apartemen saat itu.

Aku tercenung sesaat dan mulai percaya cinta Trista padaku telah luntur. Bila seorang perempuan bersuami sudah menyerahkan diri kepada lelaki lain, apalagi yang tersisa? Kenapa Trista berpaling? Ah, jawaban yang mudah. Siapa yang tidak akan berpaling dari suami yang tak berpenampilan necis, tidak harum parfum, tidak fashionable, tidak berdompet tebal, tidak bisa mengimbangi gaya hidup istri yang jelita dan punya pergaulan luas?

Akan halnya Alexandrous. Apa yang kurang dari Eleni? Sungguh tolol bila Alexandrous harus mempertaruhkan kebersamaan cintanya dengan Eleni yang sangat cantik menggairahkan itu. Ataukah sosok Trista dengan kerling menggoda dan keelokan khas Indonesia itu memang tak mampu ditolak Alexandrous?

Aku menghabiskan hari Senin dengan kecamuk yang menjadi-jadi di dadaku. Tak tahan aku melihat Reina bermain hanya ditemani seorang bibi sepulang sekolah. Sama sekali aku tak ingin Reina mengalami hal-hal yang sulit dipahaminya saat ini. Apa yang akan terjadi saat Trista balik ke rumah?

Trista tidak meneleponku, tidak kirim sms. Tidak pula ia punya waktu menanyakan kabar Reina pada Tante Fitri. Aku yakin ia tengah asyik masyuk dalam romantisme indah dengan lelaki Yunani itu di Singapura sana.

HP-ku menderingkan suara sms. “Aku mau belajar bahasa Indonesia sekarang. Please sisihkan waktu untukku sore ini,” demikian isi sms Eleni.

Aku menimang HP beberapa jenak. Kini pikiranku melayang ke Eleni yang tinggal sendiri di apartemen, dengan kegundahan hebat , yang pasti tiada henti membayangkan apa yang sedang dilakukan suaminya bersama istriku di kamar hotel di Singapura.

Karena aku tak lekas menjawab, sms Eleni hadir lagi.

Please jangan merasa tak enak dengan peristiwa kecil setelah dansa kemarin. Aku hanya bermaksud menyeka keringat, tidak lebih. Saya menunggu Anda, Pak Rodi”.

Kalimat terakhir ditulis dalam bahasa Indonesia formal, pakai ‘Pak’ lagi.

Aku memutuskan melaju ke apartemen Eleni selepas senja. Eleni perlu belajar dan perlu teman mengobrol,bukan yang lain, demikianlah aku memberi diriku sendiri pengertian. Sungguh, aku takut berubah menjadi orang tolol, yang mengharap lebih banyak ‘good time’ bersama Eleni pada sat-saat seperti ini, yang membuat aku lupa diri.

Eleni mungkin tidak seperti Trista. Lagian, di mata Eleni, apalah aku dibanding Alexandrous yang punya segalanya? Aku cuma seorang guru bahasa Indonesia yang saat ini kebetulan teman ngobrol yang pas.

***

Baju terusan batik bermotif bunga dengan warna terang itu ketat menempel indah di tubuh Eleni. Batik tanpa lengan itu, dan garis kain di dada yang rendah, menyembulkan kulit putih bersih bernuansa coklat ringan sepasang lengan dan dada membusung yang menambah daya pikat tubuh itu. Inikah hasil kebiasaan perempuan Yunani yang doyan makan ikan, yang membuat kulit mereka kenyal dan bebas bercak?

Bagian bawah terusan batik yang melebar, setinggi lebih dari 15 centimeter di atas lutut, menyiratkan panorama yang sebaiknya tak perlu kututurkan. Semula aku mengira Eleni membeli dress batik yang salah ukuran alias terlalu pendek bagian bawahnya, tapi kemudian aku menyimpulkan, dress itu memang pas untuk menampilkan keindahan ragawinya dengan cara yang mencengangkan.

“Maaf ya kalau saya minta tambahan jam pelajaran terus,” Eleni mempersilakan aku duduk, dan menuang air dingin. Satu gelas disodorkan ke arah ku.

It’s okay. Bagaimana suasana hatimu?” tanyaku.

“Makin tak keruan. Sekitar dua jam lalu, adikku menelepon.Ia terus mengintai Alexandrous. Ia bilang Trista dan Alexandrous sudah seperti pasangan pengantin baru, lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Tidak ada acara pertemuan bisnis itu. Mereka hanya ingin menikmati cinta jauh dari pasangan asli masing-masing.

“Aku turut sedih kau harus mengalami ini, Eleni. Apa kau kau sudah coba meneleponnya?”

“Sudah, baru saja, Alexandrous bilang seharian ia sibuk meeting, di Bangkok. Ia bahkan tidak tahu bahwa aku tahu ia tidak di Bangkok, melainkan di Singapura,” Eleni duduk di sofa, menyilangkan kaki, meneguk air dingin. Sesekali ia menerawang sisa air di gelas yang buram oleh lapisan dingin air es. Sepasang kaki indah dari singkapan kain batik yang longgar itu, oh, maaf kawan, tak bisa kukisahkan di sini.

“Mau mulai belajar sekarang?” aku merasa perlu segera membuat Eleni berdiri dari sofa dan pindah ke meja belajar. Tak baik pemandangan itu kalau ia terus duduk santai di sofa seperti itu.

“Satu pertanyaan, Rodi. Aku minta pendapatmu,” kata Eleni tak lekas bangkit.

“Ya?”

“Bagaimana perasaanmu bila Trista itu istrimu?” Eleni menatapku, mempermainkan sisa air di gelas.

Deg! Jantungku berhenti berdetak sesaat. Tak kuasa aku untuk segera menjawab. Pertanyaan Eleni ini sungguh membawa banyak makna. Ini permisalan, pertanyaan terselubung, ataukah pengujian?

“Bisa aku tanya sedikit soal asal mula hubungan suamimu dengan perempuan Indonesia itu?” kataku, balik bertanya.

“Bos Trista, ekspatriat Canada, itu teman baik Alexandrous. Dalam suatu acara eksekutif tiga bulan lalu, Trista berkenalan dengan Alexandrous melalui bos Canada itu. Aku berada di sana juga saat itu, dan sempat pula mengobrol dengan Trista. Dari obrolan santai, aku tahu ia bersuami, berkeluarga"

Aku menyimak setiap perkataan Eleni dengan takzim.

“Alexandrous biasanya menghabiskan malam minggu atau waktu santai keluar bersamaku. Sebulan belakangan ini, Alex tampak lebih suka keluar sendiri. Kalaupun ia mengajak aku keluar, itu cuma basa-basi, dan ia lebih berharap agar aku menolaknya. Seperti dua Sabtu yang lalu, harusnya aku ingin jalan, tapi ia bilang harus bertemu klien dari India yang besoknya musti balik ke Mumbai sehingga tak bisa menunggu sampai Senin. Ia bilang aku bisa ikut tapi percakapan pasti bakal membosankan. Aku tahu itu artinya lebih baik aku di rumah saja. Aku biarkan ia sendiri, dan aku menyibukkan diri menonton televisi. Aku tahu ia bertemu Trista. Ada teman sesama anggota persatuan istri ekspatriat Surabaya yang menelponku, ia melihat Alexandrous bersama perempuan lain” ujar Eleni, “ime aitos horis ftera…,” sekali lagi ia menyebut dirinya elang tak bersayap. Kini aku mulai paham maksudnya.

“Boleh belajarnya nanti saja? Aku ingin dengar musik, kalau kau tak keberatan,” Eleni berdiri, dan seperti biasa menghampiri rak CD. Aku mengiyakan. Kali ini ia menyiapkan sebuah CD berbeda.

“Saya suka berdansa untuk mengusir sedih. Mau temani aku berdansa?” ia merentangkan tangan padaku dengan gerakan sopan yang memukau. Ragu-ragu aku menatapnya.

“Ayolah. Aku janji nggak akan lancang mengusap keringatmu nanti. Lagian, musiknya lembut dan tak akan bikin keringatan. Aku putar Song For Anna, karya Paul Mauriat

Dan ketika Song For Anna mulai benar-benar mengalun lembut, seperti logam terserap magnit, aku berdiri mendekati Eleni.

(NIKMATI MUSIK DI SINI)

“Masih ingat caranya berdansa?”

Aku mengangguk.

Musik itu mengalun pelan, tenang, teduh dan seperti mengalir dalam jiwa raga Eleni. Gerakan yang menghanyutkan itu merasukiku juga. Kenapa pula aku tak harus mengimbanginya?

“Kau belum menjawab pertanyaanku,” kata Eleni ketika mulai bergerak mengikuti alunan musik.

“Yang mana?”

“Bagaimana perasaanmu kalau Trista itu istrimu?”

“Hatiku akan hancur, mungkin sehancur hatimu saat ini,” hanya itu jawaban yang tersedia.

“Kamu benar. Di dalam dadaku, ada yang remuk redam,” Eleni beringsut beberapa centimeter ke arahku. Aku menahan nafas untuk kesekian kalinya. Tidakkah ini terlalu dekat? Jika aku tak menahan kepalaku untuk tak condong ke depan, pipi perempuan itu pasti sudah bergesek dengan pipiku.

Let me tell you something, Eleni. Hatiku juga tengah dalam keadaan remuk berkeping-keping,” entah kenapa tiba-tiba aku bicara begitu.

“Buat aku percaya kenapa begitu” kata Eleni tak jauh dari telingaku. Aku diam sesaat.

“Boleh aku memelukmu, agar aku bisa merasakan hancurmu dan kau bisa percaya hancurku,” sungguh aku nekat mengatakan ini. Ini keberanianku yang luar biasa. Eleni sudah sedekat ini. Aku berharap ia tak akan langsung mendorong dan menamparku.

“Tadinya aku yang akan meminta begitu, ternyata kau mengatakan duluan. C’mon, peluk aku erat-erat,” desis Eleni. Tak perlu menunggu lama, aku memindah lingkaran lengan di pinggang dan naik beberapa centimeter. Eleni membalasnya dengan rengkuhan lebih erat. Musik mengalun makin syahdu.

“Kini kau tahu akupun hancur lebur. Jangan kaget Eleni, Trista itu istriku,” kataku perlahan, pipi kiri Eleni bergesek di pipi kananku.

Pelukan itu tak saling lepas. Eleni sama sekali tidak terkejut. Ia malah mengayunku lebih lembut.

“Aku tahu itu. Sejak mula aku tahu….jangan tanya kenapa aku tahu….” kata Eleni. Dan Eleni sama sekali tidak menolak ketika dekapanku makin mengunci rapat tubuhnya, sampai kemudian ia merenggangkan sedikit rengkuhan itu dan menatapku dari jarak sangat dekat. Aku tak tahu bagaimana cara merespon tatapan perempuan cantik itu. Aku melihat bibir Eleni mengirimkan sinyal yang menggelora, dan mungkin penuh harap seperti yang aku harapkan. Tiba-tiba saja aku bergerak dan mendaratkan kecupan mesra di bibirnya. Eleni memejamkan mata beberapa saat dan memberikan sambutan lembut dan hangat dengan rengkuhan manis lengannya yang melingkar di kepalaku. Lama kami saling melumat.

Tapi kemudian ia tiba-tiba mendorongku dan melepaskan pagutan itu.

“Ooi......, apa yang kita lakukan ini!” Eleni mundur beberapa tapak. Wajahnya bersemu dadu. Dadanya naik turun.

“Aku….aku maafkan aku…..maafkan aku, Eleni…..”

Eleni tak bicara. Ia hanya menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kutebak artinya.

“Rodi…….maaf, sebaiknya kamu pulang sekarang!” ia mendekap bibirnya sendiri, seolah baru menyadari apa yang baru saja terjadi bisa mengarah ke banyak hal yang mungkin bakal disesali.

Aku masih berdiri mematung. Sangat tak rela kehangatan itu tiba-tiba saja terenggut.

Please….kumohon! Tinggalkan aku….”

Sekali lagi, seperti kemarin, aku mengemasi barang-barang dan jaketku. Eleni berdiri di pojok ruangan masih dengan dada naik turun. Tampaknya ia sendiri tak tahu jawabannya kenapa kami melakukan itu.

“Eleni, maaf…..maaf…..” aku membuka pintu dan meninggalkan Eleni sendiri. Hangat bibir Eleni tak segera pudar dari bibirku.

***

Aku segera turun dengan lift ke tempat parkir motor. Ketika hendak membuka kunci stang motor, HP di saku berdering. Dari Eleni.

“Rodi……..kembalilah ke apartemenku. Aku mau kita menyelesaikan apa yang kita mulai tadi!” suara Eleni bergetar di telepon.

[caption id="attachment_137745" align="aligncenter" width="253" caption="Perempuan Yunani (foto : dcgreek.com)"][/caption]

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun