Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Cerber Tandem]: Tetanggaku (Episode 3)

25 Juni 2011   06:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita bersambung ini merupakan hasil kerja bareng antara Eddy Roesdiono dan Okti Li.

Episode 1 bisa dinikmati DI SINI

Episode 2 bisa disimak DI SINI.

EPISODE 3

Aku terpaku sesaat menatap screen HP-ku, dan segera kutekan tombol cancel. Dadaku bergetar cepat. Darah panas seperti mengalir deras di seluruh bagian tubuhku.

“Nomornya nggak salah?” aku menoleh Reni yang mulai terheran-heran dengan tingkahku.

“Saya ulang, ya?” kata Reni. Ia mengulang nomor Yudi. Gemetar jari-jariku. Nomor itu menyembulkan nama ‘tetangga’.

“Ada apa, pak Herman?” tanya Reni.

“Sepertinya kita harus bicara, Ren!” kataku.

“Maksud Pak Herman?”

“Ayo kita cari tempat bicara yang lebih nyaman, tanpa terdengar anak-anak saya,” kataku.

“Kalau di beranda rumah saya gimana?” Tanya Reni.

Aku mengiyakan. Reni dan aku kemudian bergerak dari ruang tamu rumahku ke beranda rumah Reni.

Reni duduk di kursi taman dan aku duduk di hadapannya. Gemericik air dari pancuran mainan di beranda rumah Reni terdengar keras.

“Kamu dan suamimu ‘kan tinggal di Jakarta sebelumnya. Apakah suamimu sering bertugas luar kota?” tanyaku.

“Sering! Jogja, Semarang, Denpasar, Surabaya, berhari-hari. Yang paling sering ke Surabaya. Itulah sebabnya akhirnya suami saya dipindah ke Surabaya, “ jawab Reni.

“Siapa yang memutuskan untuk cari rumah di ke daerah ini?” Tanya saya lagi.

“Kantor suami saya. Kami pasrah saja mau ditempatkan di mana asal rumahnya layak dan lingkungannya nyaman. Saya suka daerah ini. Memangnya kenapa, pak Herman?” Reni menopang dagu di antara dua tangan yang bersitumpu di meja.

“Tiga malam yang lalu, istri saya bangun malam-malam dan menghabiskan waktu lama di kamar mandi. Terus terang saya curiga. Begitu ia kembali tidur lelap, saya buka HPnya dan saya dapati sms-sms mesra antara istri saya dengan orang lain yang ia beri nama ‘tetangga’,”

“Istri bapak sms-an mesra dengan lelaki lain?” ulang Reni.

“Ya, ada kata ‘kangen’, ‘nelepon kamu seharian gak diangkat’, ‘kamu nggak akan bisa tidur kalau mikiran bibir seksiku terus’, ‘ salah sendiri kamu naksir tante-tante seksi’,” kataku menirukan bunyi sms-sms istriku. Reni mengernyitkan dahi.

“Berartiteman mesranya itu lebih muda daripada istri bapak?” tebak Reni.

“Boleh jadi, Ren. Saya menyimpan nomor telepon teman mesra istri saya, dan saya beri nama ‘tetangga’ pula pada HP saya. Dan jangan kaget, ya, ketika saya memencet nomor suamimu di HP saya, muncul nama ‘tetangga’ itu,”

“Hah!” Reni menutup mulut. “Pak Herman jangan bercanda,” kata Reni.

“Saya tidak bercanda,” aku mendorong HPku di meja ke arah Reni. “Pencet nomor HP suamimu di HP saya kalau mau percaya”

Ragu Reni meraih HP-ku dan mulai memencet nomor Yudi. ‘Tetangga’ muncul di layar HP. Bibir Reni bergetar menatap layar HP, pipinya memerah dan air matanya siap jatuh. Dadanya naik turun menahan amarah.

“Kalau boleh saya jujur, Ren. Saya tidak tahu sudah berapa lamaListya istri saya berhubungan dengan Yudi. Saya juga tidak tahu kapan dan di mana saja mereka bertemu. Saya juga tidak tahu apa yang mereka lakukan bila ketemuan. Tapi hati saya remuk redam dengan pesan-pesan sms itu. Saya yakin kamu merasakan hal yang sama saat ini, “ kataku.

Reni tak menyahut. Ia hanya menggigit bibir dan menyeka air mata dengan tangan telanjang; merah mata dan bibirnya.

“Istri bapak umur berapa?,” kata Reni di tengah isak lirihnya.

“36 tahun”

“Ia pasti cantik sekali”

“Listya cantik sekali, orang juga bilang dia seksi, berambut panjang ikal, dan wajahnya tak pernah berhenti memancarkan aura segar di usia matangnya,” kataku. “Yudi suamimu umur berapa?”

“26,” kata Reni.

Aku diam beberapa saat. Mata Reni menerawang jauh.

“Kau mau saya menelepon suamimu sekarang?” aku menyentuh HP-ku.

“Tidak perlu,” Reni mencegahku mengambil HP. Telapak tangannya yang dingin menumpuk di punggung tanganku. Aku menarik tanganku perlahan.

“Lalu?” tanyaku.

“Untuk sementara biar saya tunggu Yudi menelepon saya. Apakah pak Herman tahu di mana Listya berada saat ini?’

“Listya bilang ada acara ke luar kota, ia bawa mobil sendiri. Tapi sekretarisnya bilang tak ada jadwal ke luar kota hari ini. Saya tidak tahu ia kemana.

“Suami saya harusnya tiba sore ini dari Jakarta dengan penerbangan jam lima,” ujar Reni. “Mungkinkah Listya dan Yudi saat ini benar-benar sedang bersama-sama?”

“Saya tidak tahu, Ren. Tapi hati kecil saya mengatakan itu mungkin saja terjadi. Maaf kalau kata-kata saya ini mengganggu pikiranmu”

Reni mendekap wajah dengan kedua tangan. Airmata merembes melalui sela-sela jari berhimpit.

Aku membiarkan Reni terhisak sendiri. Ia menyandarkan tubuh di sandaran kursi dan menengadah menatap langit-langit beranda rumah.

“Hari sudah malam, Ren. Sebaiknya saya pulang dulu. Mari sama-sama berdoa agar hal-hal yang kita bayangkan tidak terjadi. Besok kita bisa bicara lagi. Mudah-mudahan suamimu pulang malam ini,” aku berdiri. Reni mengangguk, masih dengan muka sembab.

“Mudah-mudahan istri Bapak juga pulang malam ini,” ujar Reni lirih.

“Catat nomor HP saya. Kalau ada apa-apa, jangan segan-segan menghubungi saya, oke” kataku. Ia meminta nomor HPku kemudian mengirim miscall.Nomor HP Reni aku berinama ‘tetanggaku’.

***

Malam itu aku tak bisa memejamkan mata. Ketika anak-anak pulas, aku beranjak ke ruang tengah dan duduk sendiri di sofa. Aku redupkan nyala lampu, dan menatap sudut-sudut ruangan dan dinding-dinding kosong dengan segelas air putih di tangan. Tiba-tiba dinding itu seperti menjelma menjadi sebuah layar perak dengan sorot lampu proyekor. Ada tayangan gerak-gerak gerak percintaan liar di layar itu; ada ratusan desah, ada peluh membuncah, ada bara. Dan bisa kulihat jelas raut Listya dan Yudi yang tengah mereguk malam panjang yang indah.

Tak kuasa lagi aku menatap dinding itu. Kulempar dinding itu dengan gelas. Suara gelas beradu dengan dinding membahana, diiringi pecahan gelas yang menghambur ke segala arah.

“Ada apa, pa?” Triana, anak sulungku terbangun, membuka pintu kamarnya, menyalakan lampu tengah.

“Stop! Jangan bergerak. Banyak pecahan gelas di lantai,” tiba-tiba aku sadar telah menebar bahaya bagi anak-anak.

“Papa kenapa?” tanya Triana.

“Nggak apa-apa, cuma mimpi buruk, terus tak sengaja melempar gelas ke dinding,” kataku,,”Masuklah kembali ke kamar, biar ayah bersihkan pecahan gelas ini,”

Masih dengan wajah heran, Triana mundur ke kamarnya. Aku bergerak ke dapur mencari sapu dan cikrak, dan mulai membersihkan lantai dari pecahan gelas.

Aku duduk lagi di sofa dan mulai terlelap. Aku terbangun oleh HP yang menderukan ringtone sms. Aku melirik jam dinding; pukul 3 pagi. Aku meraih HP dari meja. Itu sms Reni. “Pak Herman, kita perlu bicara. Kita cari tempat bicara yang lebih privat. Siang nanti ada waktu?”

“Ada, Ren. Antara jam 11.00 – 12.00, di Café My Juice, dua ratus meter dari pintu gerbang perumahan ini, ke kiri. Bisa?” demikian sms-ku.

“Bisa, pak. BTW blm tdr? Tadinya sy tkt ganggu krna sms mlm2,” Reni menjawab sms-ku.

“Nggak bisa tidur. Kamu nggak bisa tidur juga?” jawabku.

“Ga, pak. Kepikiran suami trs. Brengsek tuh dia! Ok, sampai bsk, pak!”

“Ya, Ren. Sampai besok siang”

***

Reni sudah datang duluan di café itu. Syukurlah, tadinya aku mengira ia bakal terlambat. Kalau ia telat, bakal molor istirahat siangku dan bakal terlambat aku balik ke kantor. Reni memilih meja di ujung, agak tersembunyi dari pandangan pengunjung café lain. Siang ini café lumayanramai. Kami memesan mixed juice dan calamari.

“Terimakasih pak Herman mau luangkan waktu buat bicara,” kata Reni. Masih sembab matanya. Ia mengeluarkan netbook dari tas dan menghidupkan netbook itu.

“It’s okay. Kita memang perlu bicara lagi. Istri saya belum pulang sampai sekarang dan suami kamu juga belum tiba sampai saat ini. Kecurigaan kita mungkin makin dekat ke titik benar,” kataku.

“Semalam, sehabis bicara dengan pak Herman, saya buka-buka laptop. Setiap file saya cba buka dengan view hidden item, dan saya menemukan tiga foto suami saya dengan perempuan yang kelihatannya lebih dewasa, tertanggal dua minggu lalu,” Reni meencet-mencet tombol laptop, kemudian menghadapkan layar ke wajahku.

“Ini foto-foto yang saya maksud. Saya shocked melihat gambar-gambar ini. Benar perempuan yang sedang bersama suami saya ini adalah Listya, istri bapak?” kata Reni.

Aku menatap gambar itu, dan kemudian geser ke gambar satunya dan ke gambar satunya lagi. Kali ini aku benar-seperti disambar geledek. Darahku berhenti mengalir.Itu memang Listya. Tiga foto itu merekam gambar mereka berpagutan mesra di sebuah sofa yang kuperkirakan di kamar hotel. Busana Listya dan Yudi sama-sama tinggal setengahnya. Foto itu dibuat melalui HP kamera yang dijepret sendiri oleh Yudi dengan tangan kirinya.

Tiba-tiba kepalaku menjadi pening……..

(bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun