Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kaliandra (Novel Seru). Episode 14

20 Mei 2011   00:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:26 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Angkara murka merajam malam kelam di perut Kemiren. Misteri itu terkuat.

EPISODE 14

RONGGA ANGKARA MURKA

Rio membuka mata ketika Candi menggoyang-goyang pipinya. Pening masih merayapi kepala.

“Syukurlah kau siuman! Lihat sekeliling, kita disekap di sebuah ruang tanah. Si jebah dan celana longgar baru saja menutup lorong buntu ini dengan kayu malang melintang,” ujar Candi.

Rio meraba kepala belakang.

“Jadi, di ruang bawah tanah ini ada Probosangkoro, si jebah dan si muka longgar? Kira-kira ada berapa banyak orang lagi?’ tanya Rio.

”Nggak tahu. Tapi aku sama sekali tak menduga si jebah dan celana longgar ada di sini bersama Probosangkoro. Aku menduga komplotan itu bermarkas di sini. Untuk sementara menurut hitungan, jumlahnya lebih dari empat. Bos komplotan dipanggil ’Bapak’,” kata Candi.

”Bagaimana kamu tahu?” tanya Rio.

”Aku mendengar ada orang bicara,” tukas Candi. Rio menatap berkeliling. Ia meraih lampu senter dari tangan Candi dan bangkit meneliti dinding ruangan dengan sorot lampu.

”Kalau melihat permukaannya, dinding ini tidak baru. Tanahnya sudah mengeras dan berlumut kering. Ruang ini merupakan modifikasi dari rongga-rongga bekas galian benda-benda purbakala. Sengaja ada orang yang memanfaatkannya sebagai ruang-ruang rahasia,” ujar Rio.

Candi menyandarkan diri pada salah satu dinding. Belum tuntas ia memikirkan hubungan antara Probosangkoro dan dua begundal itu, si jebah dan celana longgar. Kalau ditilik dari pola gerakan dan cara kerja serta kekacauan yang terjadi di Kemiren, rasanya tak mungkin si jebah di si celana longgar sendiri yang meletupkan kekacauan di Kemiren. Pasti ada orang lain yang menjadi otak konspirasi perebutan uang hibah itu di desa ini. Mungkinkah itu Probosangkoro, yang bergerak diam-diam dari tempat persembunyiannya di rongga-rongga ini? Kalau memang benar Probosangkoro, Candi jadi menyesal terlanjur kagum pada orangtua itu.

”Dengar, ada yang membuka pintu,” Rio menyenggol Candi. Pintu kayu itu bergerak. Si jebah, si celana longgar dan seorang lain bertubuh tinggi besar dengan kumis tebal masuk ruang sempit itu. Bau keringat merebak di udara pengap.

Tanpa suara, si kumis merenggut tangan Candi, sementara dan si celana longgar bersama si jebah mencengkeram kedua bahu Rio.

Mereka menyeret Candi dan Rio menyusuri sebuah lorong lain. Dalam cengkeraman si kumis, tak ada lagi yang bisa dilakukan Candi kecuali meringis menahan puliran tangan si kumis yang menancap di kulit tangan. Tapi sekilas Candi menangkap bayangan di cerukan lorong yang menyerupai sebuah ruangan di dinding kiri. Itu satu sosok manusia sedang terpekur menghadap meja berlampu minyak. Sosok itu menatap meja dengan pandangan kosong. Ia kelihatan letih dan loyo. Di meja berserak berpuluh-puluh kertas berbagai ukuran, dari ukuran poster sampai ukuran telapak tangan. Dan Candi tahu sosok itu. Itu rambut jagung.

”Wolfgang! Wolfgang ada di sini,” pekik Candi, memberi tahu Rio. Benar kata Candi, yang sedang duduk menatap tumpukan kertas kekuningan di meja itu Wolfgang. Bagaimana ia bisa sampai ke sini?

”Kau apakah si rambut jagung itu?” Rio memberanikan diri bertanya pada si celana longgar. Si celana longgar terkekeh.

”Tak usah banyak tanya. Asal tahu saja, rambut jagung itu bersama kami. Ia harus mempelajari bukti-bukti yang kami ambil dari rumah Parto Sumartono siang tadi,” kata celana longgar, dibarengi ringkik kurang ajar bernada jumawa.

”Kau yang mengobrak-abrik rumah Si Mbah siang tadi?” tak tahan Rio menghardik.

”Kamu memang pemuda tolol. Kamilah yang bikin Kemiren gempar sejak awal kedatanganmu di desa ini. Masih belum jelaskah itu?” Si kumis ikut bicara, ”masih untung malam itu di rumah Parto Sumartono tidak kukepruk kepalamu pakai linggis”

Rio merinding. Pastilah si kumis ini yang memimpin penyerbuan Si Mbah Parto Sumartono di malam pertama Rio menginap di Kemiren.

”Kau nanti akan tahu siapa sebenarnya si rambut jagung itu dan apa tugasnya di Kemiren,” si kumis terkekeh lagi.

Candi mendengar dengan hati getir. Wolfgang? Apakah ia terlibat persekongkolan jahat ini? Tiba-tiba saja ia punya firasat buruk.

***

Tak ada sumber cahaya lain yang lebih benderang selain beberapa buah lampu minyak bersumbu kain perca, dengan tabung minyak tanah terbuat dari kaleng bekas. Lampu-lampu itu diletakkan pada jarak sekitar dua meter. Sebagian lampu ditempel di dinding, diikat dengan tali seadanya, dan sebagian lagi diletakkan begitu saja di tanah. Jelaga dari nyala lampu menjilat kemana-mana.

Sekali lagi Candi dan Rio dijerembabkan oleh orang-orang yang membawa paksa mereka. Kali ini ruangan berbentuk segi empat yang cukup luas. Persis seperti dugaan Rio, ruangan ini dulunya pasti situs penggalian tempat ditemukannya fosil-fosil purbakala.

Menggunung geram di dada Candi dan Rio. Tapi agaknya peluang untuk berontak makin sempit saja. Selain karena si jebah dan kawan-kawannya menghadang dengan posisi macam siap menerkam, Candi dan Rio tak punya gagasan utuh ke mana mereka harus lari dalam keadaan darurat. Rongga-rongga dan lorong-lorong bawah tanah ini sudah jelas merupakan perangkap serba buntu yang membuat nasib mereka jadi tak menentu.

Rio menetap berkeliling. Atap ruang cukup tinggi, dua kali tinggi manusia normal. Angin menerobos dari bagian depan, menandakan ada ruang terbuka. Bisa saja itu berhadapan langsung dengan tebing curam. Kalau terpaksa meloncat, batu-batu runcing di Kalirandu siap menerkam.

Tapi tetap saja ruang terbuka itu mengusik Rio. Kalau tidak gelap, pasti bisa diketahui di udara terbuka mana ruang rahasia ini berada. Menilik suara angin yang sangat bebas dan sesekali terdengar percik air, bisa ditebak ruang itu berada pada salah satu bagian tebing Kali Randu. Di halaman rongga ruang itu, remang-remang terlihat semak-semak dan beberapa batang pohon. Tanaman itu pasti digunakan untuk menyamarkan rongga dari pandangan orang jauh di seberang kali.

Begitu mulai bisa mengamati sudut-sudut ruangan dengan jelas, Rio dan Candi mulai faham ruangan itu dipenuhi dengan hasil-hasil galian purbakala yang sama lengkapnya dengan yang dimiliki Si Mbah. Barang-barang itu ditata pada beberapa meja kayu tua, dan sebagian lagi diletakkan pada bidang-bidang menjorok di dinding.

Satu persatu orang-orang berwajah seram memenuhi ruangan. Rio perkirakan jumlahnya 12 orang. Muka mereka hampir sama; dekil, sangar, keji dan haus darah.

”Aku sama sekali tak suka situasi ini,” bisik Rio. ”Ada akal untuk lolos?”

”Jangan patah semangat. Kita baru akan sampai pada ujung misteri desa Kemiren,” tukas Candi. ”Perhatikan baik-baik setiap gerakan orang dan konsentrasi. Itu saja”

Rio tak berkomentar. Matanya menangkap seorang begundal lain yang tiba-tiba masuk ruangan dan berseru.

”Bapak datang!”

Semua mata berfokus pada pintu yang bakal dilewati si Bapak.

Dada Candi berdebar ketika Probosangkoro muncul. Candi memperhatikan Probosangkoro dengan mata geram. Orangtua itu membalas tatapan Candi tanpa semangat. Rio juga menguntit gerakan Probosangkoro yang melintas ke sudut lain ruangan. Mata orang-orang masih tersorot ke pintu. Berarti Probosangkoro bukan ’Bapak’ yang dimaksud.

Belum tuntas kegusaran Candi dan Rio, muncullah Sujarno. Masih dengan bahu batik seragam guru, putra tunggal Parto Sumartono itu menyapukan pandangan ke seluruh orang yang hadir. Muka Sujarno lusuh dan redup dan penuh memar. Kemejanya bersimbah debu. Takjub ia melihat Candi dan Rio ada di ruang itu.

”Dik Rio! Dio Candi!” desis Sujarno berubah cerah, seolah kehadiran mereka membuatnya lega.

Rio tak memberi sahutan. Ia masih belum selesai munculnya rentetan orang yang sepertinya sengaja diparadekan untuk menguji dugaan yang dibangun Rio dan Candi.

Dan muncullah Wolfgang. Tertegun mata Wolfgang ketika bertatapan dengan Candi dan Rio. Keadaan Wolfgang sama jeleknya dengan Sujarno. Ada noda-noda darah di kaos Wolfgang.

“Nanti.....nanti aku jelaskan.....,“ ucap Wolfgang lirih dalam bahasa Inggris, jelas ditujukan pada Rio dan Candi. Semua mata masih menunggu, dan menyorot ke pintu.

Seraut wajah kemudian datang tanpa perlu ditunggu terlalu lama. Senyumnya lebar dan mukanya ramah, dengan kacamata mahal. Ia berjalan didahului sepotong tongkat yang bagian atasnya melengkung. Ia langsung duduk di sebuah kursi yang sudah disiapkan secara khusus oleh si jebah. Semua mata memandang padanya.

“Pak Kuntoro,“ ucap Rio perlahan. Sungguh ia tak menduga Kuntoro di balik semua ini.

”Ya, saya.......kaget ya?” ujar Kuntoro tersenyum langsung pada Candi dan Rio. Dengan kedua tangan bertumpu di atas lengkungan tongkat, Kuntoro menikmati duduknya, dan membagi pandangan ke semua yang hadir. Rio kini melihat senyum iblis tersungging di bibir tua Kuntoro. Rio dan Candi menunggu Kuntoro mulai bicara.

”Dalam sejarah,” Kuntoro mulai bicara, ”selalu ada kejutan dan perubahan, selalu ada catatan tentang siapa yang kalah, siapa yang menang. Siapa yang berhasil, siapa yang gagal” ia mengalihkan tongkat ke tangan kiri. ”Kemiren adalah bagian sejarah yang indah,” kata Kuntoro. ”Bagi Kristoff von Weissernborn, Kemiren adalah karir yang cemerlang. Bagi Parto Sumartono, Probosangkoro dan aku sendiri, kecermerlangan Kemiran adalah kami bertiga. Kamilah yang membantu membuka peluang bagi von Weissernborn untuk menjadi tenar di dunia,” Kuntoro berhenti bicara.

”Parto Sumartono memang tampak paling menonjol karena cangkulnyalah yang terantuk pertama kali dengan balung butho phitecanthropus. Tapi amat disayangkan kalau kemudian hanya Parto Sumartono yang dikenang oleh von Weissernborn,” wajah Kuntoro berubah garang.

”Masih ada Probosangkoro dan Kuntoro yang juga turut berperan,” kalimat Kuntoro mulai menanjak. ”Saya heran kenapa hibah sebesar 500.000 gulden dari yayasan Kristoff von Weissernborn itu hanya diturunkan buat kantong Parto Sumartono? Demikian besarkah jasa Parto Sumartono untuk sebuah penemuan kebetulan yang sesungguhnya bisa terjadi pada siapa saja?” Kuntoro berdiri. Berapi-api matanya menebari mata setiap orang yang tak berani balik menatap mata Kuntoro.

”Lihat itu Probosangkoro. Selama hidup ia miskin. Istrinya mati, tak punya anak, tak punya harta. Tak ada siapapun yang perduli nasibnya, tidak juga Lurah Asromo. Ia terpaksa hidup terasing di tebing Kali Randu,” Kuntoro berjalan perlahan menghampiri Probosangkoro.

”Orangtua yang hidup papa ini,” tunjuk Kuntoro, ”harus mendapatkan bagian yang layak, harus mengenyam legitnya sejarah,” Kuntoro menoleh pada Candi dan Rio.

”Tapi biarlah sejarah berkata lain. Biarlah sejarah menetapkan Si Mbah Parto Sumartono sebagai penerima uang hibah,” kata Kuntoro. ”Tapi perlu kita semua ketahui adalah bahwa Probosangkoro yang kalian lihat ini adalah Parto Sumartono asli, yang pertama kali cangkulnya terantuk fosil itu,” gelegar Kuntoro, seperti tengah membaca klimaks sebait puisi. ”Jadi bila uang hibah itu akan jatuh pada Si Mbah Parto Sumartono yang saat ini terbaring di rumahnya, berarti hibah itu akan jatuh ke tangan yang salah, karena Parto Sumartono yang sebenarnya ada di sini sebagai Probosangkoro,”

Orang-orang itu bergemuruh kecil mendengar kata-kata Kuntoro. Sujarno menahan nafas, sulit mempercayai kata-kata Kuntoro. Benarkah semua yang diucapkan Kuntoro?

”Jadi pertanyaannya, sedhulur semua, adilkah bila uang hibah itu jatuh ke tangan Parto Sumartono palsu?” kata Kuntoro. Orang-orang bergemuruh dan berkasak-kusuk.

”Itu tidak benar!” tiba-tiba sebuah suara memecah keriuhan kecil di ruang itu. Probosangkoro berjalan tertatih ke tengah, mencari tempat yang mudah diperhatikan orang-orang yang hadir di situ.

”Tidak benar! Kaulah yang menyuruh aku membolak-balik sejarah,” Probosangkoro menuding Kuntoro, ”Kau suruh aku mengaku sebagai Parto Sumartono pada setiap orang yang mengenalku. Kau pula yang suruh aku mengaku sebagai Parto Sumartono ketika gadis wartawati itu kau jebak masuk jurang dan mendarat di dekat gubugku. Kini aku tidak mau lagi berdusta. Aku sudah muak terusik. Cukup sudah kau menguasai aku,” Proobosangkoro agak terhuyung. Matanya berair, terlihat dari pendar cahaya lampu-lampu minyak.

Kuntoro melotot mendengar selaan Probosangkoro. Panik Kuntoro menanti reaksi Candi dan Rio.

”Anak muda,” Probosangkoro menoleh Candi. ”Wajahku memang mirip Parto Sumartono. Tapi aku Probosangkoro asli. Parto Sumarono yang tergeletak sakit adalah Parto Sumartono asli. Dia, bajingan itu yang menyuruh aku berdusta,” tangan gemetar Probosangkoro menuding Kuntoro.

”Bangsat!” berkelebat tongkat Kuntoro menghantam kepada Probosangkoro. Candi beteriak, hendak menolong. Tapi dua anak buah Kuntoro keburu mencekal tubuh Candi dan menghadang Rio.

Probosangkoro terjengkang ke belakang dengan lolongan kesakitan. Ia berusaha berdiri. Sekali lagi Kuntoro mengayun tongkat dari bagian bawah dagu Probosangkoro. Orangtua itu terlempar sempurna ke belakang dengan rintihan hebat. Ia mendekap dagu dengan kedua tangan. Mulutnya menganga dan nafasnya terpotong-potong.

”Inilah yang selama ini aku kuatirkan,” terputus-putus kalimat Probosangkoro. ”Sejak lama aku berfirasat penemuan balung butho itu tidak akan membuahkan keakuran di antara kita,” suara Probosangkoro bergetar, timbul tenggelam dilahap sengal-sengal nafasnya. ”Itulah sebabnya aku lebih suka menyepi di sini. Tapi Kuntoro, orangtua rakus dan keji itu mengubah tempat menyepiku ini menjadi sarang kegiatan busuknya......:” belum tuntas Probosangkoro bicara, Kuntoro mendekat dan menghantamkan kaki bersepatu ke wajah Probosangkoro bertubi-tubi.

Candi menutup mata, tak tahan melihat orangtua itu disiksa. Darah segar orangtua itu muncrat dari mulut. Seketika, sekuat tenaga, Candi mengumpulkan sisa kekuatan dan berontak dari cekalan di kumis.

”Awas! Ia lepas,” seorang anak buah Kuntoro berteriak. Si kumis waspada. Ia mendekap Candi lebih erat.

”Kalian pengecut semua,” Rio beteriak, meronta dari cekalan sejumlah orang. ”Candi cuma ingin membantu orangtua ini. Kenapa kalian mesti takut?”

Agaknya pekikan Rio didengar Kuntoro. Kuntoro mengisyaratkan agar Candi dilepaskan. Candi langsung menghambur ke arah Probosangkoro, meraih kepalanya dan merebahkan kepala itu di pangkuan Candi.

”Kakek Probo,” panggil Candi, iba melihat orangtua nahas itu.

”Maaf, saya telah membohongimu,” makin sulit Probosangkoro biacara, ”semua yang saya ceritakan kepada kamu itu benar, kecuali satu hal, bahwa saya adalah Probosangkoro dan saya bersaksi Parto Sumartonolah yang menemukan fosil berharga itu bersama von Weissernborn. Saya tetap Probosangkoro, yang setiap malam bermimpi buruk dikejar-kejar makhluk purbakala,” Probosangkoro terbatuk.

”Kuntoro datang ke gubugku beberapa hari lalu membawa kabar soal uang hibah dari Belanda untuk Parto Sumartono,” Probosangkoro terus bicara. ”Kuntoro mengumbar kata-kata buruk tentang Parto Sumartono. Ia bilang aku layak mendapatkan sepertiga uang hibah itu, sama layaknya dengan Kuntoro mendapatkan sepertiganya lagi,” airmata Probosangkoro membasahi pipi.

”Aku biarkan Kuntoro menggunakan gua bawah tanah bekas galian yang sudah puluhan jadi rumahku ini untuk kegiatan busuk Kuntoro. Sujarno memberitahu aku soal penganiayaan pada Parto Sumartono, dan kepadaku Kuntoro mengaku dialah yang suruh orang memaksa Parto Sumartono menyerahkan bukti itu. Kuntoro biang keladi kerusuhan Kemiren,” habis nafas Probosangkoro. Ia makin tersengal-sengal.

Dada Rio terasa panas. Kuntoro berdiri tak jauh dari Probosangkoro dengan sikap pongah. Matanya memandang licik. Tapi ia tidak segera bereaksi atas uraian Probosangkoro; boleh jadi ia ingin Probosangkoro tuntas meracau; boleh jadi juga itu karena Kuntoro bangga ia masih bisa melakukan kelicikan pada usia sesenja itu.

Probosangkoro mendapatkan kekuatan nafasnya kembali. ”Tadinya aku memang berharap mendapat sepertiga uang itu untuk kubagi-bagikan kepada penduduk desa yang tak mampu. Tapi aku menarik kembali keinginan itu. Aku tak silau terangnya bintang fosil Kemiren. Aku tak berhak menerima apapun. Tidak juga Kuntoro. Parto Sumartono-lah yang berhak menerima seutuhnya,” ujar Probosangkoro.

”Baik, tua bangka sok suci,” Kuntoro habis kesabarannya. ”Kau boleh modar sekarang,” ia menusukkan ujung tongkat itu ke dada Probosangkoro. Berkelojotan Probosangkoro menahan nyeri.

Seketika Candi membabat tongkat itu dengan tangan kanannya.

”Hentikan kebiadaban ini, orangtua jahanam,” hardik Candi. Serta merta Candi berdiri dan mendorong Kuntoro. Anak buah Kuntoro merangsek, mencoba menahan agar Candi tak menyerang Kuntoro. Kuntoro dibantu berdiri dan mengisyaratkan agar anak buah tak perlu menahan Candi.

”Kalian dengar semua,” kata Kuntoro. ”Tak perlu lagi aku menutupi niatku. Aku akan menemukan bukti yang diminta yayasan hibah itu. Lihat, utusan dari yayasan sudah ada di sini. Aku tahu persis bukti apa yang diperlukan,” Kuntoro mendekati Wolfgang. Ia kemudian menoleh ke Sujarno.

”Jarno, suruh rambut jagung ini mengatakan siapa dia sebenarnya,” kata Kuntoro. Sujarno menelan ludah, dan bicara pada Wolfgang dalam bahasa Inggris. Wolfgang mendongak.

”Saya utusan yayasan Kristoff von Weissernborn yang bertugas meneliti kebenaran bukti sejarah itu,” kata Wolfgang, ”Anak buah Kuntoro menculikku di jalan desa kemarin. Aku disiksa dan dipaksa mengatakan wujud bukti penting itu,” kata Wolfgang. ”Sujarno juga diculik khusus untuk menjadi juru bahasa bagi pembicaraanku dengan Kuntoro,” kata Wolfgang. Candi menatap Wolfgang. Sedih sekali ia melihat kenyataan Wolfgang terpaksa membuka jati dirinya di hadapan iblis kejam seperti Kuntoro.

Kuntoro lalu mengeluarkan secarik kertas kuning kusam berukuran berukruan 15 x 30 cm dari sakunya, membuka lipatannya dan melambaikan pada semua orang.

”Bukti itu,” kata Kuntoro, ”terdiri dari sepasang kertas kusam. Kertas itu bergambar setengah bagian pohon kaliandra dengan setengah lingkaran hitam mengelilingi kertas. Di bagian bawah gambar kaliandra ada huruf W dan di bawah ’W’ ada angka 19. ’W’ itu singkatan dari Weissernborn,” Kuntoro tersenyum. ”Aku mendapatkan separuh bukti kertas ini dari tangan Wolfgang. Pasangan kertas ini, yang harus aku temukan, adalah kertas yang bergambar sambungan pohon kaliandra dan sambungan setengah lingkaran, bertuliskan huruf ’P’ dan berangka 40, ’P’ adalah singkatan nama Parto. Bila digabungkan, maka akan jadi kertas berukuran 30 x 30 cm, dengan gambar kaliandra utuh, bertuliskan W dan P dan 1940. Itu tahun ditemukannya fosil pithecanthropus di Kemiren”

Gusar sekali Rio mendengar gaya bicara Kuntoro yang jelas-jelas menunjukkan kepongahan. Rio dan Candi tahu Kuntoro memang sengaja memamerkan kecerdasannya.

”Dan jangan anggap aku tua bangka yang tak tahu diri. Aku akan membalas budi. Telah kujanjikan 100 juta rupiah untuk rambut jagung karena telah menyerahkan petunjuk bukti itu, dan 100 juta rupiah untuk Sujarno yang telah memberitahuku di mana bukti yang ada pada Parto Sumartono disimpan,” Kuntoro mengayun tongkatnya dengan seringai licik.

”Edan!’ pekik Rio. Nyalang matanya menatap Sujarno. ”Jadi Pak Jarno tahu tahu di mana Si Mbah menyimpan bukti itu?” tanya Rio. Sujarno mengangguk.

”Dan Pak Jarno sudah memberitahu Kuntoro di mana bukti itu disimpan?” tanya Rio lagi.

Sujarno mengangguk, ”Saya tak tahan disiksa dan diiming-imingi uang,” kata Sujarno. Ingin sekali Rio menendang muka Sujarno saat itu juga. Wolfgang tak banyak bicara. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang diperbincangkan orang-orang di sekelilingnya.

”Begitulah,” Kuntoro bicara dan duduk lagi di kursinya. ”Sekarang semuanya jelas dan gampang. Yayasan itu akan memberikan hibah kepada orang yang mengantongi bukti itu. Separuh dari kertas yang ada pada Parto Sumartono memang belum ada padaku. Malam ini adalah malam terakhir peristiwa yang kalian lihat sebagai teka-teki Kemiren itu. Aku tak perlu lagi menunggu Parto Sumartono bicara. Saat ini juga salah seorang anakku pasti sedang berada di rumah Parto Sumartono untuk mencari pasangan lembaran ini. Suatu pekerjaan yang mudah. Pagi nanti aku tinggal menunggu hasilnya. Selebihnya anakku akan membawa sendiri kertas itu ke kantor Yayasan Kristoff von Weissernborn di Leiden atas namaku. Anakku telah mempersiapkan segalanya dengan baik”

”Anakmu?” kata Rio. ”Lantas kau pikir kami tidak akan menghentikan niat busukmu itu?” seru Rio. Otot-ototnya mengeras di leher. Kuntoro terkekeh.

”Tidak akan, anak muda. Tidak akan! Tidakkah kau lihat kau berhadapan dengan siapa? 12 pemuda desa tangguh yang setia padaku,” kata Kuntoro.

”Kau memang orangtua keji tak berbudi,” Candi ikut menyemprot. Saat itu, entah kekuatan apa yang didapat Rio, Rio tiba-tiba bergerak lepas dari cekalan orang-orang itu. Ia bergerak maju dan mendorong meja kayu penuh fosil. Meja itu terguling, menghamburkan semua yang ada di atasnya. Rio menyerbu Kuntoro. Tapi secepat kilat pula anak buah Kuntoro melumpuhkan Rio dengan pukulan keras ke rahang Rio, yang membuat pemuda ini harus tergeletak tak berdaya untuk kedua kalinya.

Wolfgang dan Sujarno gemetar menyaksikan insiden yang keras itu. Candi kuatir sekali pada Rio. Kuntoro kini berdiri mengangkangi Rio dengan raut paling menyebalkan. Tak terseungginglagi senyum di bibir orangtua itu. Yang tersisa cuma ekspresi kemenangan bersayap nafsu binatang.

”Dengar, anak muda,” kata Kuntoro, ”aku masih berbaik hati tidak menghabisi kau dan wartawati itu dari awal. Aku masih memberi kalian waktu untuk menghirup udara segar, sampai aku mendapat kabar barang bukti itu sudah aman di tangan anakku. Dan itu tidak akan lama lagi. Selebihnya, aku akan mengubur kalian hidup-hidup di sini bersama si tua bangka Probosangkoro. Tak seorangpun bakal menemukan kalian. Mudah-mudahan ratusan ribu tahun lagi kalian bisa digali sebagai fosil orang-orang muda yang kalah di tempat ini,” Kuntoro melangkah mundur dari kangkangannya pada Rio. Ia kemudian berbalik dan menghilang bersama si jebah, celana longgar, si kumis dan seorang lain.

Candi hanya bisa tertegun. Ia tidak memperdulikan orang-orang di sekelilingnya kecuali memeriksa Rio yang belum juga siuman. Hidung Candi berkembang kempis menahan amarah dan luka hati yang luar biasa. Bagaimana caranya keserakahan bisa mengubah orang desa seperti Kuntoro menjadi monster keji?

Ketika Candi berusaha membangunkan Rio, Wolfgang, dan Sujarno datang mendekat.

”Maafkan, kami. Kami sungguh tak berdaya. Jangan kau percaya omongan Kuntoro soal pembagian uang 100 jutaan masing-masing untuk kami. Itu tidak betul. Kami disiksa,” bergantian Wolfgang dan Sujarno bicara.

Candi mengangguk tanda faham. Candi mengisyaratkan agar Wolfgang dan Sujarno memeriksa Probosangkoro yang baru saja terdengar mengerang diikuti rintih kesakitan yang menyayat hati. Tangan Probosangkoro menggigil meminta Candi mendekatinya, sepertinya Probosangkoro ingin mengucapkan sesuatu. Candi mendekatkan telinga ke mulut Probosangkoro.

”Selamatkan diri kalian. Ruangan ini bisa runtuh kapan saja dan bisa mengubur kalian hanya dengan menggerakkan pengungkit khusus yang hanya diketahui Kuntoro,” rintih Probosangkoro. 8 anak buah Kuntoro yang masih berjaga melihat adegan ini dengan pandangan sinis dan mungkin menikmatinya sebagai hiburan.

”Dekap aku,” pinta Probosangkoro. Candi menuruti perintah orangtua yang makin kritis itu. Probosangkoro kemudian berbisik-bisik pelan di telinga Candi. Semula Candi mengira Probosangkoro hanya ingin agar suaranya terdengar lebih jelas. Tapi kemudian Candi sadar mulut Probosangkoro mengucapkan sebuah informasi yang teramat penting. Candi menyimak baik-baik komat-kamit Probosangkoro. Sesaat kemudian ia berusaha menyembunyikan secercah harapan yang baru saja disampaikan Probosangkoro.

Sembunyi-sembunyi Candi melirik anak buah Kuntoro yang masih siaga dan tak lepas mengwasinya. Ia sangat berharap tak seorangpun tahu isi bisikan Probosangkoro. Ini benar-benar penting. Yang boleh tahu cuma Rio.

(bersambung)

Catatan :

Sedulur = saudara (bahasa Jawa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun