Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kaliandra (Novel Seru). Episode 9

15 Mei 2011   00:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:41 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lari sekencang-kencangnya mungkin bisa membuat Candi dan Rio lolos dari maut. Tapi bagaimana kalau lari itu justru mengarah ke tempat yang salah atau malah bertemu orang-orang yang lebih salah lagi?

EPISODE 9

KALI RANDU

Kali Randu ternyata tidak dekat, sekitar 3 kilometer dari pusat desa. Kali Randu adalah salah satu dusun yang terletak di pinggiran selatan desa Kemiren, menghadap ke sebuah bukit paling tinggi di Kemiren. Dari pusat desa, orang biasanya naik ojek untuk menuju ke Kali Randu.

Tak sulit mencari jalan ke Kali Randu, sebab satu-satunya jalan berbatuan ke arah selatan itu langsung menuju cabang jalan yang berupa jalan setapak, satu kilometer lagi ke Kali Randu.

Memasuki jalan setapak, kesunyian benar-benar lengkap. Yang terlihat hanya ladang-ladang miring kering kerontang. Tak banyak tanaman di ladang. Para peladang, pada musim kemarau seperti ini lebih suka bekerja di rumah mengukir barang keajinan atau menggali batuan di lokasi penggalian lain di hilir Kali Randu.

”Lihat, segugus pepohonan kaliandra di bawah sana. Aku suka melihatnya,” tunjuk Candi. ”Dan di bawah sananya lagi,” Candi menunjuk dengan sebatang ranting kering,” adalah lokasi galian. Kamu lihat beberapa potong bambu malang melintang di sana?”

”Ya, bambu-bambu itu untuk menahan terpal atau kain pelindung sinar matahari bagi penggali,” kata Rio, menyapukan pandangan berkeliling. Cukup elok pemandangan di sini. Kemilau air dari Kali Randu yang nyaris surut terlihat dari jauh. Kelok-kelok sungai lebih diwarnai batuan besar-besar yang mencuat dari permukaan air yang sangat dangkal.

”Jalan ini pasti menuju ke lokasi galian,” Candi menunjuk sebuah jalan setapak menurun di dekatnya. Ia meloncat ringan ke jalan itu dan mulai menyusuri. Di kanan kiri jalan setapak, pohon-pohon kecil berjajar meneduhi jalan. Rio menyusul Candi berjalan di jalan setapak itu. Tapi langkah Candi sekonyong-konyong berhenti. Soerang lelaki, entah muncul dari mana, tiba-tiba menghadang mereka. Berkacak pinggang ia menghalangi langkah Rio dan Candi. Lelaki itu kumisnya melintang, berkulit hitam dan berwajah jebah.

Candi terhenyak. Ia ingat betul siapa lelaki itu. Bulu kuduk Candi merinding. Itu laki-laki yang hampir membunuhnya dini hari tadi.

”Mau apa?” Rio melewati Candi dan berdiri di hadapan laki-laki itu. Jelas terlihat Rio lebih tinggi dan tegap. Orang itu tak menjawab. Mukanya beringas mirip macam lapar yang siap mencaplok musuh.

Candi mundur beberapa langkah. Agak sulit gerakan mundur itu karena jalanan di belakangnya yang miring ke atas. Rio mencium gelagat yang kurang baik. Ia mengisyaratkan agar Candi pergi menjauh. Tapi, belum sempat Candi bergerak, tiba-tiba muncul satu orang lagi dari arah semak-semak. Orang ini berwajah tak kalah bengis dari wajah di jebah. Jelas orang ini sekongkol si jebah.

Candi hendak bergerak menjauh ketika tiba-tiba kedua tangan si jebah mendekat Candi dari belakang. Candi meronta-ronta. Tapi dekapan itu terlalu kuat.

”Lepaskan! Lepaskan dia!” Rio, mencoba memecah dekapan itu. Tapi sigap teman si jebah menarik kerah jaket Rio dari belakang dan membuat Rio nyaris terjengkang.

”Kalian ini siapa?” protes Rio atas perlakuan kasar itu, sambi berusaha melepaskan dekapan teman si jebah.

”Jangan banyak mulut. Kami orang-orang yang tak suka kehadiranmu di desa ini,” tutur teman di jebah, yang bercelana panjang longgar itu.

Candi masih meronta-ronta mencoba melepaskan dekapan si jebah yang makin erat. Rio mundur beberapa langkah saat si celana longgar merangsek maju dengan gumam-gumam bahasa Jawa yang tidak difahami Rio. Pada saat mundur itu, cepat Rio membuat suatu keputusan. Ia mempergunakan kepalan tangan kanan untuk memukul tengkuk si jebah dari belakang. Si jebah terkejut. Dekapannya pada Candi merenggang karena secara refleks si jebah ingin membalas serangan Rio. Rio mendengar si jebah meracau. Si celana longgar memberi isyarat si jebah dengan gerakan tangan melintas leher, yang mungkin artinya adalah ’habisi gadis itu segera’. Si jebah menjawab dengan racauan tidak jelas. Tahulah Rio si jebah itu bisu. Sebelum sempat si jebah mengencangkan dekapannya, Candi mempergunakan kaki kanannya untuk menjejak lutu di jebah dari depan. Si jebah terlolong kesakitan. Dekapan terlepas.

”Lari, Can! Lari! Berpencar!” teriak Rio. Lari berlari sekuat tenaga menyingkir. Si jebah mengejarnya dan si celana longgar mencoba menerkam Rio agar tak kehilangan buruannya yang mulai lari ke arah lain. Rio bergerak lebih cepat. Terkaman si celana longgar menangkap angin. Secepat kilat ia mengejar Rio yang melesat ke arah semak-semak. Si celana longgar kalah beberapa tapak di belakang.

Candi berusaha menggerakkan kaki sekuat tenaga. Meski bertubuh pejal si jebah ternyata pandai berlari kencang. Namun sekencang-kecangnya ia berlari, gadis yang berlari hanya beberapa depa itu tak kunjung terjamah.

”Oke, jebah, kejar terus. Lihat apa kau bisa menandingi cewek kota yang rajin jogging sejam sehari,” teriak Candi, meliuk-liuk di antara pepohonan, akar-akar melintang dan perdu-perdu liar. Si jebah mulai tersengal-sengal tapi Candi malah enak saja meloncat ke kanan dan kiri. Kadang ia Cuma berputar-putar di sekeliling beberapa pohon dan gundukan bersemak, kadang berlari lurus dan belok tiba-tiba, membuat si jebah nyelonong mengejar angin.

Dan ini membuat si jebah jengkel. Ia mencari-cari potongan kayu di rerumputan dan berhasil menemukan selonjor kayu sepanjang satu setengah meter, sebesar pentungan Hansip. Dengan kayu di tangan, si jebah memutar otak. Dia tak akan bisa terus-terusan adu cepat dengan gadis yang punya simpanan nafas panjang ini. Kini si jebah punya taktik; setiap kali ia tertinggal jauh, ia menggunakan kelihaiannya memintas jalan dengan cara melompat. Untuk urusan melompat, ternyata di jebah mahir juga.

Candi tak tahu ke mana ia berlari. Ia hanya berlari dan menghindar meski tas pinggang dan kamera yang digayutkan di leher cukup mengganngu larinya. Jalanan setapak sudah jauh tertinggal di belakang, dan sepanjang pengetahuan Candi jalanan yang ia tempuh untuk adu lari itu menurun terus.

Si jebah makin jengkel. Sudah beberapa kali lompatan dan kibasan kayu pentungan, tetap saja ia menghantam angin. Saat ini si jebah punya posisi yang bagus untuk meloncat. Ia berada pada sebuah gundukan, dan Candi beberapa meter di bawahnya. Ia menggenjotkan kakinya dengan pentungan terpegang di kedua tangan; meloncat dengan gerakan siap menghantam gadis di dataran di bawahnya.

Candi berhenti sesaat dan sadar si jebah sedang meloncat bak terbang ke arahnya dengan kayu pentungan siap hantam. Tak akan ada kesempatan bagi Candi kecuali merunduk. Candi merunduk dan ajaib, tanah tempatnya berpijak tiba-tiba bergerak turun persis ketika si jebah mendarat tak jauh dengan pentungan melesat ke arah kepala Candi. Lagi-lagi si jebah menghantam angin dan tubuhnya bergulung di rerumputan karena ternyata satu kaki si jebah mendarat di akar melintang, terpeleset dan terjatuh. Namun ia segera bangkit dan menerkam Candi.

”Super sompret!” teriak Candi. Tiba-tiba ia sulit bergerak karena tanah di kakinya terus bergerak turun serasa tak kuat menahan berat tubuhnya. Ia tahu si jebah berhasil meraih kerah kemeja denimnya. Candi merasa kali ini ia tak berkutik.

Namun ajaibnya, tapi tiba-tiba saja cengkeram si jebah pada kerahnya tak lagi punya kekuatan. Itu karena tubuh Candi melorot terus ke bawah mengikuti gerak turun tanah.

Cengkeraman itu akhirnya terlepas. Si jebah heran bagaimana mungkin ia bisa kehilangan cengekeraman itu. Heran pula ia melihat tanah tempat Candi berpijak menjadi berlubang dan gadis buruannya itu melesak tersedot ke bawah. Si jebah melongok ke lubang itu dan dia jadi bergidik dan tak melihat apa-apa selain lubang berbau apek.

Jurang itu memang merupakan salah satu dari sekian tempat di Kemiren yang tak pernah diperhatikan dan dikunjungi orang dan ketika si jebah melihat berkeliling, sadarlah ia kini sedang berada di sebuah tebing yang curam. Pemandangan jauh ke bawah memampangkan hamparan lembah kering yang pada musim hujan merupakan bagian aliran sungai Kali Randu.

Lama si jebah memperhatikan seputarnya sembari mencari pegangan, takut kalau iapun terseret ke longsoran curam. Setelah yakin ia tak lagi mungkin melihat gadis itu, si jebah perlahan naik ke dataran lebih tinggi. Tugasnya telah selesai. Gadis itu pasti terperosok jurang dan bisa dipastikan kepalanya terantuk bebatuan di bawah sana. Ia pasti tewas dan tak seorangpun akan tahu.

***

Rio tak mampu lagi berlari lebih cepat. Dadanya seperti mau meledak. Si celana longgar ini bukan lawan sebanding untuk adu lari. Setelah hampir tiga perempat kilometer ia mencoba menghindar dari sergapan si celana longgar, ia lunglai. Dengan mudah si celana longgar melingkarkan lengannya yang kekar ke leher Rio dari belakang dan mengunci lehernya. Panik Rio menahan kuncian yang makin rapat itu, dan bukan hal yang gampang menggerakan tangan dengan nafas tersengal-sengal seperti itu.

”Kamu harus modar!,” teriak orang itu, juga tersengal-sengal. Rio mencoba bertahan dan mengatur posisi kaki untuk menendang ke belakang. Tapi agaknya si celana longgar mampu membaca gerakan Rio. Si celana longgar menggunakan lututnya untuk mendorong punggung Rio dan melumpuhkan pemuda itu. Rio tak berkutik. Ia hanya bisa menantikan musuk memuntir lehernya. Kalau masih bisa selamat, Rio yakin ia akan bangun di rumah sakit dengan leher tersangga, pikir Rio.

Tapi puntiran leher itu tidak juga terjadi. Pada saat Rio berusaha mati-matian memompa udara di antara tangan musuh yang terhimpit ke lehernya, sekonyong-konyong ia mendengar suara langkah seseorang melintas tak jauh.

”Ladhalah, ki sanak. Apa pula yang kau lakukan itu? Menyerang pemuda yang tidak berdaya!” terdengar suara orang itu. Serta merta cekikan si celana longgar mereda. Si celana loggar bahkan melepaskan Rio dan berdiri takut di hadapan orang itu.

Rio bangkit dan mengusap lehernya yang serasa mau putus. Seorang tua pejalan kaki berpakaian batik necis lengan panjang berdiri tak jauh di hadapannya. Semua rambutnya putih uban dan ia bertongkat kayu pelituran dengan ujung melengkung. Orangtua kurus berkacamata itu memandangi si celana longgar dengan geram.

”Pergilah kau sebelum aku melaporkan kelakuanmu ini pada pihak yang berwajib,” tenang sekali orangtua itu menuding si celana longgar dengan tongkatnya. Tanpa suara si celana longgar berbalik dan pergi begitu saja, mendenguspun tidak. Kelihatan ia segan sekali pada orangtua itu.

”Anak tampaknya bukan orang sini?” orang tua itu berkata pada Rio yang sedang menepuk-nepuk jaketnya dari debu.

”Saya Rio, mahasiswa yang sedang bertamu di rumah Si Mbah Parto Sumartono. Terimakasih Bapak telah menolong saya. Kalau tidak ada Bapak, saya pasti tewas dicekik orang itu,” kata Rio. Orangtua itu memperhatikan Rio baik-baik.

”Oh, ya, saya dengar ada tiga tamu desa. Kau, wartawan perempuan dan seorang rambut jagung,” ujar orangtua itu.

”Nama saya Kuntoro. Saya penduduk desa ini. Saya kebetulan baru tadi pagi tiba di desa ini. Selama seminggu saya tetirah di rumah cucu di Jogja. Saya dengar Si Mbah dicederai orang, dan tadi malam Saidun tertusuk belati?” kata orangtua itu.

”Betul, Pak!’ tukas Rio.

”Kok macam-macam saja kejadian jaman sekarang,” Kuntoro melepas kacamata dan menyimpannya di saku baju batik. ”Bagaimana ceritanya kau bertemu orang jahat itu?”

”Tadinya saya sedang jalan-jalan dengan Candi, teman wartawati itu di jalan setapak di bawah sana. Tiba-tiba dua orang menghadang kami. Yang satu mengejar Candi dan yang Bapak lihat tadi mengejar saya. Oh, astaga! Candi!” Rio mendelik. Ia ingat Candi masih belum jelas kabarnya.

”Maaf, Pak. Sekali lagi terimakasih bantuannya. Saya harus mencari Candi. Ia dalam bahaya,” Rio melesat kembali ke jalan setapak beberapa ratus meter di bawah sana. Kuntoro menggeleng-gelengkan kepala. Ia kemudian berjalan perlahan dengan bantuan tongkatnya, kembali menikmati suasana perbukitan.

***

Rio berlari kencang kembali ke jalan setapak tempat mereka dihadang, dan menebak ke arah mana Candi lari tadi. Tapi tak mudah mengenali sejumlah jalan setapak diantaras emak-semak yang tak pernah ia kenali. Ia mencoba mengingat-ingat dan meneliti perdu-perdu di sekitar jalan setapak itu. Tapi rumput kering dan perdu-perdu itu tak bisa memberinya petunjuk.

Apa yang terjadi pada Candi? Rio berteriak-teriak keras memanggil nama Candi. Tapi tak ada jawaban. Hutan berperdu liar itu demikian sunyi, terlalu sepi.

Rio terus berjalan tanpa tujuan yang jelas sampai tiba si sebuah jalan setapak yang lebih lebar dengan jajaran pohon kaliandra di kanan dan kiri. Jajaran pohon itulah yang tadi tampak dari atas sana. Pohon-pohon itu rapat mengurung jalan setapak sehingga kalau orang melintas jalan setapak itu, ia seperti tengah berjalan di sebuah lorong berdinding kaliandra. Sunyi tapi indah.

Rio perlu duduk sebentar. Ia baru menyadari ada tetesan darah segar di bajunya. Baru ia ketahui lehernya tersayat ranting pohon manakala ia berduel dengan si celana longgar tadi. Ia memlilih sebuah teduhan di bawah pohon kaliandra dan menyeka lehenya. Tenggorokan kering dan panas. Kakinya pegal akibat dipaksa lari.

Tanpa sadar ia rebah dan memejamkan mata di rerimbunan pohon kaliandra yang cabang-cabangnya berjuntai hampir menyentuh tanah. Istirahat sedikit mungkin bisa memulihkan kesegaran dan akalnya.

Rio tersentak tatkala ia mendengar bunyi gesekan kaki melintas dedaunan tak jauh dari jalan setapak itu. Ada orang! Sekilas Rio menangkap harum rempah. Ketika ia membuka mata dan terduduk, seutas suara menyapa.

”Lho, Dik Rio? Kok tiduran di sini?” Bu Lurah sudah bersimpuh persis di hadapan Rio, memperhatikan.

”Bu Lurah?” ujar Rio heran.

”Dik Rio sakit?” tanya Bu Lurah.

”Saya......,” Rio menyeka lehernya yang berdarah.

”Astaga. Itu ada darah di leher. Dik Rio jatuh, ya?” Bu Lurah memperhatikan leher Ruo lebih dekat. Harum rempah tubuh Bu Lurah menyundut hidung Rio. Terlalu dekat wajah perempuan matang itu ke wajahnya.

Bu Lurah membuka tas plastik yang tergolek di sampingnya.

”Kok bisa begini, Dik Rio?” Bu Lurah mengambil sebotol air dari tas plastik. ”Ini, minum dulu!’

Rio meraih botol itu dan meneguk airnya.

”Bu Lurah dari mana?” tanya Rio setelah puas minum.

”Dari rumah kakaknya Marni, pembantu rumah itu. Kakak si Marni baru melahirkan. saya barusan menjenguknya dan ambil bibit bunga di rumah kakak Marni,” Bu Lurah menunjukkan gumpakan-gumpalan tanah denga bibit-bibit tanaman kecil di tengahnya.

”Lukamu itu harus dibersihkan, biar tidak infeksi,” kata Bu Lurah. Ia mengais sehelai saputangan yang ia simpan di antara dua gundukan dada. Saputangan itu kemudian dibasahi dengan air minum. Tanpa banyak bicara Bu Lurah menyeka leher Rio dengan saputangan basah itu. Sapuan itu lembut dan beraroma rempah yang menebar dari saputangan Bu Lurah..

”Jatuh di mana, Dik Rio?” tanya Bu Lurah lembut, selembut sekaan di leher yang seperti tak berksesudahan itu, dengan tatap mata yang tak pernah luput ke mata Rio.

”Tak jauh dari sini. Saya tersandung akar-akar liar,” Rio berbohong. Dibiarkannya sekaan di leher itu terus berlangsung. Rio amat menikmati sekaan segar itu. Ia juga suka menatap pipi Bu Lurah yang maju mundur dan sesekali dekat benar dengan pipinya. Tetes keringat yang mengalir di kening dan kuduk Bu Lurah juga tampak indah.

Ketika sekaan itu selesai, Bu Lurah melipat kembali saputangan dan menaruhnya di pangkuan. Rio mengikuti gerakan saputangan itu sampai ke pangkuan Bu Lurah. Bentuk tubuh Bu Lurah amat elok dalam posisi bersimpuh seperti itu, dalam balutan setelan kebaya dengan kain bawahan batik bermotif parangtritis. Rio juga tidak menyia-nyiakan tatapan Bu Lurah yang tak pernah terputus ke matanya yang dilengkapi dengan sungging senyum kecil yang membuat bibir Bu Lurah penuh gerakan magis yang menawan.

Tiba-tiba Bu Lurah merasa belum selesai dengan sekaan lehernya. Dengan telapak tangan, ia mengusap leher Rio.

”Sudah bersih, sekarang. Nanti tinggal olesi obat merah,” tertahan nafas Bu Lurah, suaranya menjadi lirih. Telapaknya tetap mengusap leher Rio. Rio amat menikmati ini. Telapak tangan itu menyalurkan getar hangat, apalagi ketika telapak Bu Lurah mulai bergerak ke pipinya.

Rio tahu persis usapan di pipi bukan bagian dari pembersihan luka di leher. Tapi ia suka sekali itu dan membiarkan telapak itu yang ibu jarinya mulai sesekali mengusap ujung-ujung bibir Rio.

Telapak tangan itu makin membawa bara. Tanpa sadar Rio menggerakkan tangannya sendiri dan meraba tangan Bu Lurah. Entah bagaimana caranya tiba-tiba tangan Bu Lurah yang tadi di seputaran pipi Rio kini beralih ke bagian kepala Rio dan menarik kepala itu mendekat ke kepalanya sendiri.

”Dik Rio,” desah Bu Lurah, dekat sekali bibir wanita itu ke bibirnya. Di mata Rio, bibir itu seperti telaga, seperti warna-warni bunga, sesejuk embun pagi.

”Bu Lurah,” Rio mengikuti helaan tangan di kepalanya. Bu Lurah memejamkan mata, menampakkan bulu mata yang lentik. Rio terhenti sesaat. Namun agaknya Bu Lurah mengira Rio terlalu mengulur-ulur waktu. Ia tarik kepala Rio dan ia desakkan bibirnya ke bibir Rio. Rio tak kuasa menolak dan membalas ciuman itu. Hangat. Harum. Indah.

”Astaga! Candi! Candi!’ Rio berdiri seketika, meninggalkan pagutan itu begitu saja. Bu Lurah terperangah, mengusap bibir dengan lidahnya sendiri.

”Ada apa?” tanya Bu Lurah gusar.

”Saya tadi bohong. Saya sebenarnya tidak jatuh. Saya dan Candi dihadang dua penjahat. Candi masih belum jelas kabarnya. Saya sendiri diselamatkan Pak Kuntoro”

“Pak Kuntoro?” ulang Bu Lurah, kurang bersemangat.

”Ya, saya harus mencari Candi sekarang,” Rio melihat berkeliling. ”Maaf, saya harus pergi sekarang!”

”Dik Rio!” panggil Bu Lurah. Ia perlahan bangkit dari simpuhnya dan melihat Rio hilang di balik perdu-perdu liar, terhalang barisan Kaliandra.

”Dik Rio!” sekali lagi panggil Bu Lurah. Suaranya tertelan angin. Ia menggenggam saputangan basah itu dengan wajah memerah.

Sejenak kemudian ia membenamkan saputangan basah itu ke wajahnya dan menciumi saputangan itu sepenuh hati, sepenuh raga, yang menambah rona merah di hidungnya. Ia kemudian meraba bibirnya sendiri dan bibir itu bergerak dengan senyum kecil tertahan.

Ciuman anak muda itu, pastilah telah menjadi ciuman terdahsyat yang pernah dirasakannya.

(bersambung)

catatan :

ladhalah = kata seru menandakan heran, mirip ’astaga’ (bahasa Jawa)

tetirah = tinggal untuk beristirahat(bahasa Jawa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun