Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kaliandra (Novel Seru). Episode 5

11 Mei 2011   00:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:51 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ancaman, intimidasi, gertakan. Akankah ini semua memalingkan Candi dan Rio dari misteri yang menggoda itu?

EPISODE 5

KALIANDRA

“Saya sangat terkesima, belum cukup rasanya setengah hari di sini,” ujar Wolfgang, mencoba menyeruput kopi tubruk yang disuguhkan Rio di bale-bale di depan rumah Si Mbah. Matahari sore mengirimkan sinar kemerahan di dedaunan. Bayang-bayang pepohonan di hamparan rumput tampak lebih panjang daripada pohonnya.

“Kamu pasti ingin tinggal lebih lama?” tebak Rio, menjentikkan ujung ballpen.

“Begitulah. Kamu mengijinkan?” tanya Wolfgang.

“Bukan aku yang beri ijin, tapi Pak Sujarno. Tapi aku pikir tak ada alasan bagi dia untuk melarangmu tinggal di sini sehari lagi,” Rio mengunyah kacang kulit yang disodorkan Wolfgang.

“Barangkali aku bisa bicara sendiri pada Sujarno?” kata Wolfgang.

“Pak Sujarno sudah pulang, Sekarang istrinya yang menjaga Si Mbah,” tukas Rio.

“Jadi?”

“Jadi, kau tinggal saja di sini sampai besok. Banyak kamar kosong di dalam sana,” kata Rio.

Wolfgang mengernyitkan dahi. Dari kejauhan ia melihat Candi bergegas ke arah mereka. Topi pet mendongak di depan dahinya.

”Itu Candi!” kata Wolgang. ”Kita tidak lihat dia seharian”

”Dia pasti sibuk mencari berita,” kata Rio, memperhatikan langkah-langkah tergesa Candi di hamparan rumput halus menuju beranda rumah.

”Aku mau bicara dengan kau,” Candi langsung bicara.

”Soal apa?” Rio masih mengunyah kacang. Masih jengkel ia atas guyuran air Candi tandi pagi.

”Penting. Jangan di sini,” Candi melongok ke dalam rumah, kuatir ada yang menguping bicaranya.

”Kalau soal tadi pagi, aku ogah,” Rio membersihkan gigi dengan lidahnya.

”Bukan soal tadi pagi. Ini lebih penting,” Candi setengah memaksa, rautnya amat manis dalam ekspresi itu.

”Mau bicara di mana? Di kamar mandi?” goda Rio.

”Sompret! Ikuti aku,” pinta Candi.

Wolfgang mengikuti pembicaraan dua orang ini dengan terbengong-bengong. Rio menggikuti Candi, sambil memberi isyarat pada Wolfgang untuk menunggu sebentar.

Candi melintasi halaman rumah Si Mbah dan memilih sebuah tempat duduk yang terbuat dari lempeng katu yang melintang di antara dua batu, tepat di bawah sebuah pohon dengan bunga-bunga merah membentuk serabut-serabut kecil. Tempat duduk kayu itu cukup terlindungi dan sulit dilihat dari arah mana saja.

Tak sabar Candi membeber kertas yang dipungut di lantai kamarnya tadi. Rio membaca cepat. Alisnya berdiri. Ia ulangi membaca pesan yang ditulis tanpa tanda baca itu :

KAU MAHASISWA DAN RAMBUT JAGUNG ITU KALAU TAK MAU MATI

TINGGALKAN DESA INI SEBELUM GELAP

”Mati! Ada kata ’mati’ di pesan in,” bulu kuduk Rio berdiri. ”Dari mana kau dapat

ini?” tanya Rio.

”Di lantai kamarku, tadi siang,” jawab Candi.

Rio sekali lagi menatap deretan kata-kata pada pesan itu, nyaris tak percaya.

”Kalau ini lelucon, ini sama sekali tidak lucu. Siapa kira-kira yang bikin banyolan

ini, kayak di film aja,” ujar Rio.

”Ini jelas ditujukan buat kita dan Wolfgang. Aku yakin ini bukan pesan kelakar,”

kata Candi.

Rio menatap mata Candi. ”Menurutmu siapa yang mengirim ini?”

”Entahlah. Yang jelas, aku melihat seseorang berkelebat tak jauh dari jendela kamarku tadi. Aku masuk kamar. Daun jendela ruang tengah sudah tercongkel. Ada yang masuk dan menyelipkan kertas ini di bawah pintu kamarku”

Rio tercenung sesaat, kemudian menoleh Wolfgang di kejauhan yang masih asyik dengan kacang dan kopi di beranda. ”Kenapa Wolfgang disebut-sebut juga?” tanya Rio.

Candi tak menyahut. Ia meraih kertas itu dari tangan Rio dan mengamati tulisannya. Ia mencoba menganalisi motif dan bentuk tulisan. Tapi tentu saja tak akan muncul jawaban dari situ.

”Ada yang musti kita curigai?” tanya Rio. Candi mendongak dan menyapu bibirnya yang kering dengan lidah.

”Kita tidak bisa menuduh. Tapi pasti ada orang-orang yang tak menyukai kehadiran kita di sini.

”Kira-kira siapa? Sebut saja nama. Aku mungkin bisa mendukung dugaanmu kalau dugaanku sama dengan dugaanmu,” kata Rio.

”Pertama, aku curiga pada Pak Sujarno,” kata Candi, ”kedua, Pak Lurah,” tutur Candi.

”Sama persis. Keduanya itu dugaanku,” ujar Rio. ”Sekarang kita perlu berpikir soal pesan ancaman itu”

Candi meraih kertas itu dan meremasnya. Heran juga Rio, tak terbersit tanda-tanda kekuatiran pada wajah gadis ini. Candi kini menatap bunga-bunga di ujung gugusan daun di atas dan di sekelilingnya.

”Kamu tidak takut? Kalau kamu takut, sebaiknya kau dan Wolfgang pergi dari desa ini sebelum maghrib,” kata Rio.

”Kau sendiri?” ujar Candi.

”Aku akan selesaikan pekerjaanku, minimal dua hari lagi. Aku tidak takut ancaman itu,” Rio menatap Candi. Candi tak segera menjawab. Ia kembali melayangkan pandangan ke arah bunga-bunga di pohon di atasnya. Ia meraih satu serabut bunga yang jatuh di keningnya dan menebarkan serabut merah itu di telapaknya. Ia bicara :

”Pohon ini namanya kaliandra, daunnya berjuntai-juntai rindang dan bunganya merah berbentuk puluhan jarum yang tumbuh tegak lurus. Pohon ini tahan segala musim dan cuaca. Akarnya mampu mengikat nitrogen di dalam tanah, menjamin kesuburan di sekitarnya”

Rio tak habis pikir. Alih-alih bicara soal ketakutan ancaman itu, ia malah mulai membahas sebatang pohon.

”Dari awal aku menyukai pohon kaliandra,” sambung Candi. ”Banyak hal yang bisa dilakukan oleh sebuah pohon untuk lingkungannya, meski ia tak bisa bergerak leluasa,” Candi kini menatap Rio dengan sorot mata dalam.

”Kamu tahu maksudku. Tadinya aku memang takut setengah mati. Tak pernah dalam hidupku aku menerima pesan pakai kata-kata ’mati’. Tapi aku mencium hal yang tidak beres di desa ini. Aku tak akan pergi dari desa malam ini. Ada banyak hal yang bisa kulakukan. Tubuh dan pikiranku bisa bergerak leluasa. Aku ingin memahami apa yang terjadi di sini.” Candi masih menyorotkan mata pada Rio. Rio kini faham kenapa Candi mengawali kata-katanya dengan penjelasan soal pohon Kaliandra.

”Jangan sekali-sekali kau mengira aku takut lantaran aku perempuan. Aku tidak takut dan aku akan tinggal di sini malam ini,” tegas Candi. Rio menelan ludah, kemudian menyalakan sebatang rokok. Rembang petang mulai melingkung desa Kemiren. Nyala korek api terlihat terang di ujung rokok.

”Aku sudah sampaikan niatku,” Candi berdiri. ”Kita akan tetap tinggal di sini dan mengabaikan ancaman itu. Hanya saja, kini kau punya satu tugas,” Candi menoleh ke arah Wolfgang, ”Beri si rambut jagung pilihan,” kata Candi.

Rio meraih gumpalan kertas ancaman itu dari tangan Candi, dan melangkah ke arah Wolfgang. Candi menguntit dari belakang.

”Wolfy,” kata Rio. ”Aku tahu belum genap sehari kau di sini. Tapi sudah ada satu ketidaknyamanan kecilyang melibatkan aku, Candi dan kau. Candi mendapatkan surat ancaman ini,” Rio mengangsurkan kertas kumal itu pada Wolfgang. Si rambut jagung mendengarkan suara Rio menerjemahkan.

Dead? Ho ho...this must be kidding! Kau pikir aku menanggapinya serius?” kata Wolfgang.

“Tapi ini betul. Surat ini kutemukan di kamarku. Aku melihat kelebat orang yang kuperkirakan taruh surat ini di kamarku,” jelas Candi. Wajah Wolfgang menegang sedikit, barangkali tengah berpikir kenapa ada tempat wisata yang mengancam wisatawan asing dengan kata ’mati’.

”Ini serius, Wolfy. Kau boleh pergi kalau merasa tak nyaman. Jangan ikut terlibat,” ujar Rio. Wajah Wolfgang berubah gusar.

”Aku memang mau pergi. Tapi bukan karena ancaman ini!” kata Wolfgang.

”Jadi kau tidak takut?” ujar Candi.

”Sama sekali tidak. Kalian?” tanya Wolfgang.

Rio dan Candi menggeleng.

Sehr gut! Jadi tak ada alasan untuk pergi. Aku sama dengan kalian, gampang tertarik pada hal-hal yang misterius,” dengus Wolfgang. ”Alasan lain adalah karena aku belum puas melihat-lihat. Apakah salah bila ada turis tinggal berlama-lama di tempat yang ia suka?” tanya Wolfgang.

Rio menghisap rokok dalam-dalam. Candi menyeka wakah dengan saputangan. Wolfgang mempermainkan kulit kacang. Kini mereka saling tunggu untuk melempar gagasan. Candi agaknya punya gagasan duluan.

”Baiklah, friends. Ini memang aneh. Tapi kita harus akui kita sama-sama sepakat ingin tahu misteri di desa ini. Kita cari tahu lebih banyak, okay?” kata Candi.

”Yup. Malam ini kita coba temui Pak Lurah. Kita desak ia agar berterus terang tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi. Aku yakin kunci informasi itu ada pada Pak Lurah” kata Rio. Candi meneguk sedikit kopi dari cangkir Rio. ”Aku setuju itu. Kau tanya Wolfgang apakah ia setuju dengan gagasanmu”

Wolfgang ternyata suka-suka saja dengan gagasan Rio.

”Memecahkan misteri desa! Oi, wisata yang mengasyikkan,” seru Wolfgang.

***

Bu Lurah menghenyakkan pantat di kursi empuk dekat Pak Lurah. Asromo melirik istrinya tanpa semangat, sama tak bersemangatnya dengan tatapannya yang menerobos ke luar jendela yang terbuka.

Nafas Asromo naik turun tak teratur. Wajahnya menegang dan duduknya gelisah.

”Kalau tak enak badan, rebahan saja, Pak,” saran Bu Lurah. Asromo mendengus kecil, tak menjawab istrinya. Hendro, anak semata wayang mereka yang tengah menghabiskan akhir minggu di rumah, tengah asyik bermain monopoli dengan Marni, pembantu rumah.

Bosan berdampingan dengan suaminya yang mengkerut terus, Bu Lurah bangkit dan memperhatikan Hendro. Uang kertas mainan monopoli di hadapan Hendro kelihatan lebih banyak daripada punya Marni.

”Kau menang, Nak?” tanya Bu Lurah.

”Aku selalu menang, Bu!” sahut Hendro bangga.

”Lha Mas Hendro mainnya nakalan. Setiap dapat 200, ambilnya 2.000,” celetuk Marni. Bu Lurah tersenyum.

”Jam delapan kamu musti tidur, supaya besok tidak bangun terlambat,” ujar Bu Lurag. Hendro mengiyakan.

Terdengar sebuah ketukan halus di pintu. Bu Lurah menengok melalui korden di jendela yang dia singkap.

”Selamat malam, Bu Lurah. Maaf mengganggu. Bisa kami bertemu Bapak?” sapa Rio. Bergegas Bu Lurah membuka pintu.

”Oo, adik-adik, to? Silakan masuk,” Bu Lurah menguak daun pintu lebar dan membiarkan Candi, Rio dan Wolfgang masuk.

”Pak, ada Dik Rio dan Dik......siapa?” kata Bu Lurah menoleh Candi dan melirik Wolfgang.

”Candi,” timpal Candi, membantu meneruskan ucapan Bu Lurah. Pak Lurah menolah, tapi tak segera bangkit. Kelihatan sekali ia tak suka kehadiran tamu malam itu.

”Silakan duduk. Ada apa, sih?” tanya Pak Lurah dingin. Kata ’sih’ di akhir pertanyaan itu cukup menandakan ia kurang suka tamu-tamunya.

”Maaf, Pak. Tamu asing ini namanya Wolfgang, wisatawan Jerman,” Rio membantu memperkenalkan Wolfgang. Pak Lurah menyambut uluran tangan Wolfgang tanpa semangat. Ia kemudian duduk agak jauh dari ketiga tamunya. Bu Lurah sendiri menyibukkan diri di sudut ruangan. Kalau diamati dengan cermat, tempat Bu Lurah berdiri terhitung amat strategis; ia dapat dengan mudah menatap ke arah Rio tanpa diketahui orang lain.

”Mohon maaf kelancangan kami, Pak Lurah. Kami mohon dengan hormat agar Pak Lurah sudi menceritakan masalah desa ini pada kami,” kata Candi berhati-hati. Asromo tersentak ditodong seperti itu. Sessat ia seperti tak mampu menguasai diri.

Asromo menghunus sebatang rokok dari kemasannya, menyulutnya dan menghembuskan asap dengan cepat, seperti menghempaskan kejengkelan.

”Barangkali saya perlu mengingatkan saudara-saudara sekalian bahwa saudara-saudara sama sekali tidak berhak untuk mencampuri urusan desa ini,” kata Pak Lurah langsung menghujam. Bu Lurah sempat mendongak mendengar kata-kata suaminya dari kejauhan.

”Saudara Rio datang ke Kemiren dengan ijin tak resmi untuk mengerjakan penelitian tugas kuliah. Saudari Candi meminta ijin untuk mewawancarai penduduk desa dan memotret untuk mencari berita, dan sampai saat ini saya belum tahu kenapa orang asing ini masih ada di desa,” lanjut Pak Lurah, melirik Wolfgang.

”Itu benar. Tapi kami terusik untuk tahu kenapa Pak Lurah menutup-nutupi peristiwa yang terjadi pada Si Mbah kepada orang luar,” sela Rio.

”Itu urusan saya, urusan desa ini!” sentak Pak Lurah dengan nada meninggi. Bu Lurah tanpa ragu-ragu mengarahkan pandangan pada para tetamu untuk menguping.

”Kami tahu itu, Pak. Tapi mungkin Pak Lurah perlu tahu ada orang-orang yang memata-matai kami secara sembunyi-sembunyi sejak kemarin sore,” kata Rio.

”Itu bukan urusan saya!” makin tinggi kata-kata Pak Lurah.

”Baiklah, Pak,” sela Candi kemudian, ”Itu memang bukan urusan Bapak. Tapi mungkin Pak Lurah perlu tahu ini,” Candi mengeluarkan carik kumal kertas ancaman itu dan menunjukkannya pada Pak Lurah.

Takjub Pak Lurah membaca surat itu. Ada perubahan di roman mukanya. Ia berganti-ganti menatap Candi, Rio dan Wolfgang.

“Tamu-tamu Bapak di desa ini, dan seorang wisatawan asing diusir dan diancam mati. Apakah ini tidak mengusik Bapak?” tanya Candi.

Pak Lurah menggeletakkan surat itu di meja. Bu Lurah yang datang dengan sebaki cangkir teh dan kue kering berhati-hati menata cangkir di meja agar tidak menimbulkan suara.

”Silakan,” kata Bu Lurah perlahan. Candi mengangguk perlahan. Rio sempat memergoki mata Bu Lurah mampir pandang padanya.

”Saya tidak tahu apa-apa soal surat ini. Saya tidak berani memastikan ancaman ini ada hubungannya dengan peristiwa penganiayaan Si Mbah,” kata Pak Lurah kemudian, ”Tapi,” suara Asromo berlanjut, kali ini dengan tekanan yang tertelan tenggorkan, ”saya sangat sarankan agar isi surat ini dituruti. Saya tidak tanggung kalau ada apa-apa dengan kalian”

Candi menyandarkan diri di punggung kursi dan mengamati raut Asromo dengan baik. ”Pak Lurah ingin kami pergi malam ini?” tanya Candi dingin.

”Ya, demi keamanan dan keselamatan kalian. Kalau tak ada kendaraan, saya bisa mengusahakan carteran sampai kota kecamatan,” tutur Asromo, tak berani menatap mata tamunya satu persatu. Ia hanya mampu mengikuti asap rokok yang membumbung di hadapan mereka.

”Saya mohon adik-adik sekalian dan turis asing ini memenuhi tuntutan ancaman ini. Adik-adik tinggal berkemas dan pergi, tak sulit, bukan?” kata Pak Lurah lagi.

Candi menatap Pak Lurah sesaat.

”Baiklah,” kata Candi. Ia kemudian merogoh buku catatan, tape-recorder dan ballpen dari tasnya, ”saya berubah pikiran. Saya tidak lagi menulis tentang kerajinan di desa Kemiren. Sekarang saya lebih tertarik memberitakan misteri desa ini dan kisah tentang pengeroyokan soerang kakek dan tiga pendatang yang diancam akan dibunuh. Kejadian ini punya nuansa kriminal. Kejadian kriminal itu bagian dari ranah hukum publik di mana anggota masyarakat punya kewajiban moral untuk melaporkan dan mencegahnya. Kami wartawan adalah bagian dari masyarakat tersebut. Pembaca koran akan senang melahap berita macam ini,” tajam Candi menyorot Asromo. Asromo tahu ia sedang diintimidasi wartawati ini. Ia menyorot Candi dengan tatapan galau. Asromo menusukkan ujung rokok yang masih berapi di dasar asbak.

”Silakan nikmati teh dan kuenya. Kalian tunggu sebentar,” Asromo membalikkan badan dan masuk ke bilik tidurnya. Rio menyembulkan jempol dari bawah meja, memuji gertakan Candi. Wolfgang membisikkan sebuah pertanyaan pada Rio.

I don’t know yet. Masih belum tahu Pak Lurah mau apa,” balas Rio. Wolfgang manggut-manggut.

Beberapa meni kemudian Asromo keluar dari kamarnya. Langsung ia duduk tak jauh dari Candi. Berhati-hati ia meletakkan selembar amplop berwarna kusam. Sekilas isi amplop itu kelihatan tebal, lebih dari satu centimeter tebalnya. Asromo mendorong amplop itu ke hadapan Candi.

Candi menatap amplop itu. Untuk apa amplop itu disodorkan padanya. Apa isinya? Pentingkah?

(bersambung)

catatan :

sehr gut = frasa bahasa Jerman untuk 'bagus sekali'.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun