Bahasa Indonesia transaksional agaknya telah melahirkan banyak ekspresi baru yang bersifat viral;cepat menyebar dan digunakan selayak ungkapan standar.Ini pengalaman saya. Kebetulan pengalaman ini masih berada dalam periode waktu yang sama dengan catatan yang saya tulis dalam artikel Kompasiana ‘Lost In Translation’.
23 April 2014, dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Surabaya. Berangkat dari tempat kerja di Tebet menuju ke Bandara, saya hanya berbekal kode booking penerbangan Citilink yang baru saja disms-kan travel agent langgangan di Surabaya.
Sesampai di Bandara Soekarno-Hatta, saya mencari konter konter sales Citilink di terminal 1C untuk mendapatkan print-out tiket.Di konter Citilink, saya tunjukkan kode booking di layar HP saya pada seorang mbak petugas manis. Ia meraih HP saya dan berkata, “Dibantu KTP-nya, Pak!”. Saya mengeluarkan KTP, memberikannya pada si mbak. Si mbak kemudian sibuk tak-tik-tuk di kibor komputer dan sejurus kemudian ia mengangsurkan lembar print-out tiket saya, dan KTP saya.
Kemudian saya melaju ke pintu keberangkatan terminal 1C, mengantri di pemeriksaan x-ray bagasi, dan sampailah saya di check-in counter Citilink. Tak ada antrian, saya langsung menghadap si Mas petugas check-in sembari mengangsurkan lembar tiket saya. Si Mas penjaga menatap saya dan berkata, “Dibantu KTP-nya, Pak!”. Saya serahkan KTP, dan sejenak kemudian KTP kembali pada saya dengan selembar boarding-pass.
Saya langsung mengantri di pemeriksaan masuk ke Gate C, dihentikan petugas sekuriti yang akan memeriksa boarding pass saya. Saya serahkan boarding pass. Petugas berkata, : “Dibantu KTP-nya, Pak!”. Petugas kemudian mencocokkan nama di KTP dan di boarding pass.
Ketika saat boarding makin dekat, saya melangkah ke gate C2. Di pintu gate C2 ada dua petugas Citilink yang memeriksa tiket. Saya serahkan tiket dan mendengar si Mas petugas berkata : “Dibantu KTP-nya, Pak!”
Amazing! Dalam waktu satu jam, saya sudah empat kali diminta ‘membantu KTP saya’.
Gejala apa ini? Kenapa pula merebak penggunaan ekspresi-ekspresi ‘dibantu KTP-nya’, ‘dibantu tandatangannya’, ‘dibantu pindah duduk ke sebelah sana’, ‘dibantu antri dulu’? Tidak cukupkah ekspresi standar, sopan dan benar seperti : “boleh lihat KTP-nya?”, “bisa tandatangan di sini?”, “mohon pindah duduk ke sebelah sana”, “mohon antri dulu”?
Agaknya kata ‘dibantu’ telah dipandang sebagai lebih sopan, lebih enak diucapkan dan lebih luwes sebagai perangkat kalimat perintah atau kalimat permintaan sopan. Kata ‘dibantu’ juga tak perlu diikuti kata kerja seperti yang terjadi pada ‘dibantu KTP-nya’ yang maksud selengkapnya adalah “Tolong Anda bantu saya menunjukkan KTP Anda pada saya”. Boleh jadi, dalam proses penyebaran penggunaannya, ekspresi ‘dibantu’ terlebih dahulu dikuti dengan kata kerja seperlunya, misalnya ‘dibantu tegakkan sandaran kursinya”,‘dibantu tunjukkan KTP-nya” yang kemudian mengalami proses simplikasi menjadi ‘dibantu sandaran kursinya”,“dibantu KTP-nya”; sebuah hasil simplifikasi yang menobatkan kata ‘dibantu’ sebagai kata yang boleh disambung apa saja. Dan karena efek kemudahannya, jadilah ia komoditi ungkapan viral.
Pada titik ini, saya kagum pada kelenturan susunan kata-kata dalam bahasa Indonesia. Ayo coba kalau berani ubah ekspresi itu ke dalam bahasa Inggris, “Help your ID card please!”, pasti lawan bicara bakal kelabakan untuk memahami maksudnya. Itulah sebabnya, ungkapan serupa dalam bahasa Inggris, dari tahun ke tahun, tetap saja “Can I see you ID card please?”, “Can you sign here please?”, “Can you stand in line please?”. Mana berani bule berbahasa Inggris bilang, “Help queue please! Help your ID card please,” kalau mau nyuruh orang untuk antri atau minta lihat KTP.
Okay, balik ke ‘dibantu’. Apakah masyarakat bahasa Indonesia langsung faham ekspresi semacam itu? Bisa ya bisa tidak. Pada kisah saya di atas (di bagian check-in counter), di belakang saya, sepasang bapak-ibu lanjut usia menyerahkan lembar tiket. Petugas bilang, “Dibantu KTP-nya Bapak dan Ibu”. Si bapak tak langsung menjawab, berpikir sejenak, dan balik berkata, “Apanya yang dibantu, Mas?”
“Dibantu KTP-nya” Si Mas bertugas mengulang.
“Lho, memangnya KTP saya kenapa kok perlu dibantu?” ujar si Bapak tua.
“Maksud saya, bolehkah saya melihat KTP Bapak dan Ibu?” demikian kata si Mas petugas.
“Oo, gitu toh,” si bapak tua baru paham maksudnya.
Nah, jadi kita simpulkan saja, bahwa ekspresi-ekspresi baru yang terbukti bisa menggampangkan proses transaksional dalam tuturan memang cepat menular, terutama di kalangan muda dan kalangan yang adaptif terhadap gerak cepat perubahan bahasa dan tuturan sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H