Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei sudah lewat. Saya mestinya menulis artikel ini hari itu, agar pas nuansanya. Tapi tak apalah, tetap saja saya tulis sekarang meski sudah lewat tiga hari, sekadar mengenang jasa guru Bahasa Indonesia semasa saya di SMA; yang caranya membimbing siswa ‘keblinger pornografi’ bisa dijadikan inspirasi di masa kini.
Tahun 1980 akhir. Saya siswa I IPS-1, SMA Negeri Lawang (Malang), yang saat ini bernama SMPP (Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan) Malang di Lawang; entah kenapa pula namanya begitu. Saya suka menulis cerita pendek, yang biasa saya tulis tangan pada beberapa carik buku tulis, dan dibaca teman-teman sekelas.
Seorang teman, sebut saja namanya F punya ide. Dia bilang, “Kamu kan pintar bikin cerita. Aku punya mesin tik; kamu nulis cerita hot ya, pasti seru”.
[caption id="attachment_306111" align="aligncenter" width="338" caption="ilustrasi : www.ryanlove.katikleimola.com"][/caption]
Lantaran tertantang menulis cerita ‘pakai mesin ketik’ (yang saya sendiri tak punya) saya bersemangat. Dua malam (Sabtu dan Minggu) saya menulis cerita itu di kamar terkunci teman itu. Ia sediakan teh dan jajanan buat teman menulis dan ia setia menunggui. Kertas folio F4 kami potong jadi dua untuk menuangkan cerita. Anda bisa tebak, kisah berkisar pada wujud imajinasi liar remaja yang berpangkal pada miskonsepsi tentang seks. Isi cerita murni karangan saya, entah bagaimana caranya saya dapat ide; mungkin konstruksi cerita terilhami dari hasil nonton film-film Eropa (terutama yang dibintangi oleh bintang Italia cantik sexy Edwige Fenech) yang banyak beredar di bioskop tanpa sensor ketat. Tak perlu saya ceritakan petikan cerita karangan saya, pokoknya saru dan membuat pembaca menggigil. 42 halaman cerita itu kami jepret dengan stapler besar. Kami tidak berani memfoto-kopi cerita itu, takut dilaporkan pada yang berwajib. Buku cerita itu saya beri judul 'Nafas Tante Lila'; saya pakai nama samaran 'Rafael'.
Hari Senin, teman saya F secara diam-diam menggeletakkan buku itu begitu saja di tempat duduk beton di dekat WC siswa pria. Dua siswa memungut buku itu, mengernyitkan kening dengan mulut menganga, dan mulai membaca sembunyi-sembunyi. Pada hari pertama, total enam orang sudah membaca cerita itu, ada yang membaca sendiri ada yang barengan. Seminggu kemudian, hampir semua siswa kelas 1 (ada delapan kelas 1 di SMA saya) sudah membaca cerita itu; buku ternyata sudah difoto-kopi, aslinya entah kemana. Siswa kelas 2 dan kelas 3, dan sejumlah siswa putri sudah pula membaca serita itu. Mulai terdengar kasuk-kusuk senang dan keranjingan, dan mulai banyak pertanyaan begini : ‘Ada lagi nggak buku seerti itu?.
Sampai detik itu, tak ada yang tahu siapa penulis cerita itu. Yang mereka tahu, buku itu pertama kali ditemukan di depan WC siswa pria.
Akhirnya kabar beredarnya buku dan isi buku itu sampai di pengurus sekolah. Saya ingat, Wakil Kepala Sekolah, Pak C, yang mengurusi bidang pembinaan kesiswaaan, gusar luar biasa. Ia tahu buku itu pertama kali dibaca oleh siswa kelas I IPS-1. Semua siswa laki-laki dan perempuan I IPS-1 dikumpulkan di lapangan, di bawah terik matahari. Pak C minta kami mengaku siapa yang menulis dan mengedarkan buku cabul itu. Tentu saja tak ada yang tahu, tak ada yang bisa kasih informasi siapa yang pertama kali taruh buku itu di depan WC pria. Pak C minta agar kopian buku yang beredar segera diserahkan pada sekolah dan dibakar saat itu juga. Penggeledahan dilakukan di semua tas dan bangku siswa. Anehnya, tak satupun kopian buku ditemukan. Boleh jadi para siswa itu membacanya di rumah.
Saya sendiri ketakutan, F juga. Kalau dilaporkan pada polisi; habis sudah kami ini.
Pak C mengancam akan mengeluarkan siswa yang ketahuan membawa, membaca dan mengedarkan buku itu. Para siswa ketakutan, namun di balik itu, rasa ingin tahu malah membakar semangat untuk memburu buku itu, yang tentu saja kemudian dibaca diluar jam sekolah.
Di saat pulang sekolah pada hari itu, di tengah rasa was-was dan perasaan bersalah, tiba-tiba saya dihentikan Pak A, guru Bahasa Indonesia. Ia memaksa saya duduk di warung pisang goreng tak jauh dari sekolah.
Sembari minum teh dan mengunyah pisang goreng yang beliau bayar, Pak A menatap mata saya.
“Ed, orang lain mungkin tak tahu siapa penulis buku itu. Tapi saya tahu,” ujar Pak A kalem.
Saya lemas. Saya tahu ia tahu saya pelakunya.
“Setiap kali saya memeriksa tugas mengarang para siswa, saya paling suka membaca tulisan-tulisanmu. Berbeda dengan siswa-siswa lain, kamu bisa menulis dengan alur yang lancar, tatabahasa yang benar, dan pilihan kata yang beragam,” kata Pak A. “Saya mendapatkan kopian buku porno itu dan saya sudah membacanya. Apakah menurutmu saya tahu siapa penulisnya?”
Ketakutan dan malu luar biasa, saya hanya tertunduk, dan menjawab, “Saya yakin Bapak tahu”
“Baguslah. Saya tak perlu bilang Pak C siapa penulisnya meskipun saya tahu. Pesan saya, janganlah kau ulang itu. Meski cuma cerita, buku semacam itu sangat berpotensi merusak moral remaja dan menempatkan seks dalam pengertian yang tidak benar,” ujar Pak A.
Beliau kemudian mengeluarkan sebuah majalah dari tasnya; majalah cerita SENANG, yang terbit mingguan secara nasional dari Jakarta (sekarang tak ada lagi).
“Ini saya beri majalah cerita. Pelajari cerita-cerita yang dimuat di majalah itu, pelajari bagaimana menulis cerita yang menarik, menciptakan tokoh yang menarik minat baca dan menuangkan ide-ide selain seks dengan cara yang sehat. Di majalah itu juga ada alamat redaksi. Mulailah menulis, dan kirim tulisanmu ke majalah itu,”
Sesampai di rumah, majalah itu saya dekap, dan sekitar 20-an cerita pendek dengan berbagai tema mulai saya baca satu persatu. Benar kata Pak A, ada banyak peluang untuk menuangkan gagasan-gagasan menulis dengan berbagai tema cerita. Namun saya belum menemukan ide cerita untuk ditulis.
Tiga hari setelah para siswa dihardik-hardik Pak C di lapangan, muncul pengumuman di sekolah tentang lomba menulis cerita tingkat sekolah berhadiah tropi dan piagam penghargaan. Itu gagasan Pak A, yang dimaksudkan untukmembantu mengarahkan imajinasi siswa agar lebih positif, dan boleh jadi agar siswa tidak terlalu pre-occupied dengan bacaan porno yang masih beredar itu.
Lomba mengarang di sekolah memicu semangat saya. Meminjam mesin ketik F, dan menulis cerita sepanjang 8 halaman folio yang saya tuntaskan dalam satu hari, dan saya ikutkan lomba mengarang di sekolah. Karya karangan siswa sengaja dipampangkan di papan pengumuman tanpa nama penulis, kecuali nomor. Juri terdiri dari tiga orang, salah satunya Pak A. Penilaian juga ditentukan berdasarkan voting pilihan siswa.
Izinkan saya menyombong : saya pemenangnya, menyisihkan 70-an karya cerita lain.
Waktu menyerahkan hadiah, Pak A berkata, “Kirim ceritamu ke majalah SENANG”
Besoknya, saya poskan cerita saya ke redaksi majalah SENANG.
Saya girang ketika sebulan kemudian saya mendapat kiriman satu eksemplar majalah SENANG. Saya buka halaman demi halaman, dan ada nama saya bertengger mentereng dalam cerpen berjudul ‘Pemakaman Seekor Anjing’, sebuah cerpen horor.
Saya hendak menunjukkan hasil karya saya di majalah itu pada Pak A, guru Bahasa Indonesia saya. Sayang sekali Pak A hari itu tidak mengajar karena beliau sakit. Seminggu kemudian, datang kiriman wesel untuk saya, honor menulis sebesar Rp 10.000 dari majalah SENANG. Wow! Jumlah uang yang besar bila dibanding uang saku saya yang Rp 100.
Sekali lagi saya mencari Pak A di ruang kantornya. Tapi guru lain bilang Pak A dirawat di rumah sakit di Malang karena penyakitnya makin parah. Dengan uang honor yang saya ambil di kantor pos, saya naik Colt (angkot antar kota) dari Lawang ke Malang untuk menjenguk Pak A di Rumah Sakit Soepraoen Malang. Saya juga membeli sekilo jeruk manis buat Pak A. Jeruk manis dan fotokopian cerita yang dimuat di majalah SENANG saya taruh di meja dekat pembaringan Pak A. Saya tidak sempat bicara dengan Pak A karena Pak A ternyata harus masuk ruang ICU.
Esok harinya, saya mendengar berita menyedihkan. Pak A berpulang dengan tenang malam harinya. Saya benar-benar sedih. Saya tak tahu apakah Pak A sempat membaca kopian cerita saya itu. Tapi saya yakin beliau tahu saya telah melalukan hal yang benar dan lebih sehat. Saya sangat hormat dan salut atas gagasan-gagasan beliau dalam mengarahkan siswa; dari yang hina menjadi bermakna.
Saya memang tidak menjadi penulis yang baik dan berprestasi, kecuali 7 cerita bersambung di harian Jawa Pos, 1 cerita bersambung di harian Republika, satu cerita bersambung di majalah Liberty dan puluhan cerita pendek diSurabaya Pos dan Jawa Pos, dan Juara 1 Lomba Penulisan Bahasa Indonesia Kompasiana (di sini). Namun hal sederhana yang diajarkan Pak A sudah cukup menjadi penanda, bahwa gelombang natural negatif pornografi di kalangan siswa dan remaja mestinya bisa diredam dan dibelokkan ke arah yang lebih baik.
Hari-hari ini, lingkungan komunitas sekolah tengah dituduh sebagai rawan merebaknya aksi-aksi tak bermoral melalui beragam tindak pelecehan seksual. Para pendidikan tak boleh hanya menyalahkan maraknya konten-konten pornografi dan pornoaksi yang bisa dengan mudah diakses melalui jaringan internet yang kemudian menginduksi alam pikiran remaja. Para pemangku kepentingan sekolah harus mulai menggagas prakarsa-prakarsa operasional untuk membimbing dan mengarahkan siswa, guru dan komunitas sekolah lainnya, agar sekolah tak jadi ranah subur pelecehan-pelecehan seksual.
Gagasan Pak A, guru Bahasa Indonesia saya kala itu, meski sederhana, telah membuahkan perubahan perilaku yang bermakna. Bayangkan bila saat itu siswa-siswa sekolah saya jadi keranjingan bacaan porno! Bayangkan bila atmosfir sekolah berubah menjadi kawasan yang berpotensi memicu berbagai macam pelecehan seksual.
Salam pendidikan sehat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H