Minggu 22 Juni 2014 kemarin, untuk kesekian kalinya, saya melakukan one day trip ke kawasan wisata berhawa adem Bromo, khusus buat survai, cari tempat untuk acara outbound salah satu klien saya. Seusai survai, seperti biasa saya bertandang ke tempat rekan-rekan saya para pemilik penginapan, sopir jip dan pemilik kuda sewa.
Sopir jip yang saya sewa untuk antar ke savannah dan kawasan pasir berbisik di Bromo, namanya Suwadi, lelaki umur empatpuluhan, akrab dipanggil Adi.
“Bro,” kata saya, “nanti tanggal 9 Juli milih siapa?”
Adi tersenyum, “Nomor 2, bro!” katanya mantap.
“Kenapa?” tanya saya lagi.
“Yang saya tahu dia itu merakyat, dekat dengan orang kecil, bicaranya kalem, dan yang paling penting ndak korupsi,” ujar lelaki asal Probolinggo yang menikahi perempuan Ngadisari, Bromo. “Bosen saya melihat dan mendengar petinggi-petinggi korupsi!”
“Baguslah. Sama dengan pilihan saya,” kata saya. Kebetulan dalam tas punggung saya, ada sepuluh lembar kaos bergambar Jokowi-JK titipan rekan relawan kandidat presiden no 2. Senang sekali Adi menerima kaos itu yang langsung ia kenakan di balik jaketnya.
[caption id="attachment_312546" align="aligncenter" width="557" caption="Suwadi alias Adi, sopir jip Bromo, paling kiri (foto : Eddy Roesdiono)"][/caption]
Saya bertanya lagi pada Adi. “Kalau warga lain di sini kira-kira suka calon yang mana?”
“Hampir semua nomor 2, bro : pengurus penginapan, pengemudi jip, pedagang, pemilik kuda,”
“Pemilik kuda juga?” tanya saya.
“Ya, pemilik kuda sewa juga. Nanti kalau ndak percaya tanya saja”
Saya masih tak percaya Adi akan pilih seperti yang ia sampaikan tadi; jangan-jangan karena dikasih kaos, ia makin ngecap soal kandidat nomor 2.
“Bener sampeyan suka nomor 2,” tanya saya lagi pada Adi.
Adi mengeluarkan HP-nya. Lalu bicara pada saya, “Nih, lihat. Beberapa hari lalu saya dapat sms. Silakan baca,” ia membuka salah satu pesan. Di situ tertulis pesan yang berisi utak-atik nama calon nomor 1 yang entah bagaimana berarti INDONESIA dan PEMIMPIN,dan nama Joko Widodo yang diutak-atik menjadi PEMIMPIN CURANG.
“Sampeyan percaya pada bunyi sms itu, bro?” tanya saya.
“Of course not,” jawab Adi yang biasa bergaul dengan bule penumpang jip.
“Lihat jawaban sms saya untuk pesan itu,” Adi membuka jawaban sms yang ia kirim balik pada pengirim. Bunyi sms Adi : “Wah, ini blek campagyn ya? Jangan gitu dong!”. Yang dimaksud ‘blek campagyn’ tentu saja ‘black campaign’.
Kata Adi,banyak warga Bromo terima sms semacam itu, termasuk yang berunsur SARA. “Tapi orang Bromo itu ndak bodoh. Mereka bisa membedakan mana yang bener mana yang nggak bener,” kata Adi, yang—di luar dugaan saya—ternyata melek internet dan bisa heboh bicara soal gadget komunikasi, termasuk membicarakan anak perempuannya, kelas 2 SMA yang suka selfie.
Untuk soal kecintaan pada Capres no 2 Adi rupanya tidak ngecap. Di lokasi savannah di padang pasir Tengger, saya bicara dengan tukang kuda yang kudanya dinaiki anak perempuan saya. “Pak, sampeyan pilih siapa nanti?” tanya saya.
“Saya ndak tahu banyak soal kehebatan calon-calon presiden itu, tapi begitu melihat Jokowi, hati saya jadi hangat. Wajahnya mirip orang Bromo, ndeso, tapi memancarkan kehangatan. Bikin hangat hati kami yang biasa berada di tempat dingin ini”.
Kata ‘hangat’ saya dengar lagi di lokasi pasir berbisik di padang pasir. Kali ini dari mulut Ocik, pengemudi jip yang di sore dingin itu membawa sejumlah tamu bule. Setelah saya tanya pilihannya, saya beri ia kaos capres-wapres favoritnya, Jokowi-JK. Kaos langsung ia pakai, melapisi kaos tipis yang ia pakai sebelumnya.
“Terimakasih, Mas. Sekarang rasanyanya lebih hangat; bukan karena kain kaosnya, tapi karena gambar dua orang yang menghangatkan badan dan hati saya ‘kali ya?” tutur Ocik sembari minta difoto dalam pose ‘salam dua jari’.
[caption id="attachment_312547" align="aligncenter" width="344" caption="Ocik, sopir jip Bromo, merasa hangat dengan kaos Jokowi-JK (foto : Eddy Roesdiono)"]
Saya belum puas dengan pendapat ketiga orang itu. Di penginapan tempat saya mampir minum, yang semua pengurusnya saya kenal, saya berbicara dengan salah satu pengurus hotel yang tak mau disebut namanya. Ia bilang, “kami menaruh harapan besar pada capres nomor 2 agar dunia wisata di Bromo bisa maju. Lihatlah, kawasan ini menerima retribusi dalam jumlah besar dari pengunjung; turis lokal bayar Rp 32.000 dan turis asing bayar Rp 217.000 week-days and Rp 317.000 week-end, tapi fasilitas wisata masih kedodoran. Jalanan dari Probolinggo ke Bromo makin berlubang-lubang dan tidak terlihat upaya perbaikan. Kawasan Bromo sendiri sulit air bersih. Bromo sebagai kawasan tujuan wisata utama di Jawa Timur harus dibenahi, harus dapat dana perawatan seimbang dengan pendapatan. Banyak warga di sini menumpukan hidup dari pariwisata,” simpulnya.
Saya beri ia kaos terakhir yang saya punya. Matanya membundar dan segera ia kenakan kaos itu menggantikan hem batiknya. “Walah, hangat banget ya!” komentarnya.
Jadi, kesimpulannya; di Bromo yang dingin ini, Jokowi-JK mendapat sambutan hangat sekaligus menghangatkan hati warga.
Salam kampanye sehat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H