Perkembangan kualitas manusia diukur dari berbagai ketrampilan fisik dan non-fisik. Dari segi non-fisik, kualitas manusia dibobotkan di antaranya berdasarkan kemampuan intelektualitas, adaptasi, adopsi ide-ide baru, bahasa, dan numerik.
Dari laman www.ask.comsaya mendapatkan definisi ketrampilan numerik yang berbunyi demikian : “Numeric skills refer to the ability of one to processes and calculate numbers and numerical symbols. It involves understanding of rational and irrational numbers, number systems, and working with a range of patterns and functions to solve problems. Numeric skills also entail measuring, estimating and calculating physical quantities and exploring, describing and representing geometrical relationships in different life or workplace context” (Ketrampilan-ketrampilan numerik merujuk pada kemampuan seseorang untuk memroses dan melakukan hitungan angka dengan simbol-simbol numerikal. Kemampuan ini menyangkut pemahaman rasional dan irasional terhadap angka, sistem angka dan kemampuan untuk bekerja dengan berbagai macam pola dan fungsi angka untuk memecahkan masalah. Ketrampilan numeril juga menyangkut pengukuran, perkiraan dan penghitungan kuantitas fisik dan menyangkut pula eksplorasi, penjabaran dan pemaparan hubungan geometris dalam berbagai konteks kehidupan dan pekerjaan).
[caption id="attachment_315674" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi : www.letbabyplay.com"][/caption]
Dalam konteks hingar bingar Pilpres, jauh sebelum tanggal Pilpres 2014 sampai detik ini, bangsa kita sudah disibukkan dengan uji kompetensi numerik itu, mulai dari survei elektabilitas capres, quick count, exit poll, dan real count. Hampir semua lapisan masyarakat turut terlibat dalam ‘uji’ ketrampilan ini, larut dalam proses produksi angka, pembentukan persepsi melalui angka-angka, perdebatan soal angka, perseteruan karena angka, hujat menghujat karena angka, membangun pencitraan lewat angka-angka, berbohong lewat angka-angka.
Selewat Pilpres 9 Juli 2014, ‘ujian’ ketrampilan numerik makin berat lantaran ‘soal-soal ujian’ juga makin ribet, dan representasi angka-angka yang terbingkai dalam angka-angka quick count lembaga hirung cepat yang berbeda-beda berubah menjadi santapan numerik yang membuat masyarakat pening; lantaran logika hubungan geometris jadi berada di luar jangkauan nalar dalam hal bagaimana angka-angka tersebut dibangun. Bagaimana tak bikin pening? Angka 14 bisa salah menjadi 814, operasi penjumlahan sederhana atas angka-angka yang tak sampai tiga digit bisa salah hasil.
Menilik kemampuan manusia dalam hal numerik, hitungan sederhana bisa jadi salah bila si penghitung terlalu lelah, hilang konsentrasi, atau karena intervensi kepentingan, yang memang sengaja ditujukan untuk manipulasi hitungan. Berkenaan dengan salah hitung, salah tulis simbol angka, kita boleh katakan bahwa itu terkait dengan kondisi ketrampilan numerik manusia yang sedang dalam tekanan (kelelahan, teledor, hilang konsentrasi). Itulah sebabnya, dalam berbagai dokumen penting, simbol nominal angka harus disertai dengan penjelasan lewat kata-kata. Simak kalimat ini : “Pihak kami akan menyediakan 7 (tujuh) petugas yang akan berjaga secara bergantian sepanjang 24 (dua puluh empat jam)”.
Kata 'tujuh' dan frasa 'dua puluh empat jam' dalam kurung adalah upaya untuk menegaskan angka, agar tak salah tafsir. Contoh lain, dalam kuitansi, angka transaksi selalu disertai kata-kata : “Telah terima uang sejumlah Rp 2.560.550 (dua juta lima ratus enam puluh ribu lima ratus lima puluh rupiah) untuk pembayaran…..”.
Agar tak terjadi manipulasi angka, dalam surat kontrak, misalnya, angka yang menunjukkan kuantitas, kualitas atau besaran uang selalu dipepetkan langsung (tanpa spasi) dengan kata di depannya, misalnya : ‘Rp4.500.000’, “120lusin gantungan kunci’, “dalam14(empatbelas) hari kerja”, dan sebagainya.
Desain Formulir C1 buatan KPU telah menyepelekan kemungkinan menurunnya stamina ketrampilan numerik manusia (kalau bukan menyepelekan kemungkinan manipulasi), dan mengabaikan kemungkinan salah tulis oleh KPPS. Dalam Formulir C1 tidak tersedia ruang konfirmasi angka dalam bentuk kata-kata.
Bila sejak awal kolom konfirmasi angka lewat kata-kata ini tersedia yang menyertai kolom perolehan suara Capres 1, Capres 2, Total Perolahan Suara dan Total Suara Tidak Sah, maka akan lebih mudah bagi KPU untuk melacak konsistensi angka perolehan. Bila ada beda antara angka dan kata-kata, KPU tinggal bertanya pada petugas pengirim form C1 : "Yang benar yang mana, angka atau yang dengan huruf?" Dan dengan demikian, numerical error, human error atau ‘main-main’ dengan angka lebih cepat terdeteksi. Ini juga akan memudahkan masyarakat yang turut mengawal sajian angka-angka di Formulir C1.
Adakah petugas-petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) di Indonesia yang menangkap kekuatiran ini dan kemudian berprakarsa menambahkan sendiri jabaran angka dalam bentuk kata-kata di bawah angka perolehan suara masing-masing Capres?
Ada! KPPS-TPS 01 Desa Yahiem, Kecamatan Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua mempunyai cara jitu untuk menghindari manipulasi. Mereka menuliskan angka di sebelah kolom jumlah rincian perolehan suara sah. Pada TPS 01, di kolom di bawah nama pasangan No 1 tertulis kata –kata “tiga puluh lima” yang mengkonfirmasi angka perolehan 35 suara, dan di kolom di bawah nama pasangan no 2 tertulis kata-kata “tiga ratus tujuh belas” untuk mengkonfirmasi angka 317'. Kata-kata juga dituliskan untuk mengkonfirmasi total suara dan suara tidak sah. Beritanya di sini.
[caption id="attachment_315675" align="aligncenter" width="469" caption="Sadar kemungkian salah tafsir numerik : konfirmasi angka dengan kata-kata. Gagasan yang hebat KPPS-TPS di Papua (www.merdeka.com)"]
Salut buat anggota KPPS TPS ini. Warga bangsa di timur Indonesia ini layak diapresiasi; mereka mampu memikirkan sesuatu yang tak terpikirkan oleh KPU sekalipun.
Selebihnya, semoga stamina ketrampilan numerik petugas KPPS, KPUD, KPU terus terjaga, semoga masyarakat pendukung No 1 dan No 2 tidak terus-terusan terbingungkan dengan kinerja numerik lembaga berwewenang, dan yang lebih penting lagi, hasil angka-angka yang nantinya disajikan oleh KPU untuk menentukan pemenang pemilihan presiden berpijak pada kinerja dan logika numerik yang sehat, yang sebenarnya, tanpa intervensi siapapun.
Indonesia, let's play fair!
Tunjukkan bangsa ini punya kemampuan numerik yang bernurani untuk kepentingan bangsa yang sudah mulai pening mencerna angka-angka simpang siur!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H