[caption id="attachment_350549" align="aligncenter" width="504" caption="Dompet kesayangan saya bersama isi perutnya. Satu dolar dan satu ringgit masih tersimpan, sayang tigaperempat Rp 500 sudah hilang entah ke mana. (eddy mesakh)"][/caption]
SUATU ketika, saat sedang berada di kota lain, saya kehabisan uang. Sementara di dalam lambung saya tampaknya sedang ada konser heavy metal. Ada kartu ATM di dompet, tetapi saldonya seingat saya hanya sekitar Rp 15 ribu sekian (saldo minimal banknya Rp 10 ribu). Segera saya sms "orang rumah" (maksudnya istri) untuk mentransfer secepatnya. Masalahnya, lokasi ATM cukup jauh dari posisi saya ketika itu dan harus menumpang angkot. Ongkosnya?
Dompet saya memang tebal, tetapi penghuninya mayoritas kertas. Saya coba mengorek-ngorek isi dompet, siapa tahu ada satu dua lembar rupiah di sana. Setiap laci dompet - yang sudah saya pakai semenjak dua puluh tahun lalu - saya periksa dengan teliti dan sangat seksama. Tak ada satu laci pun yang lolos dari upaya "pengorekan" superketat itu.
Bingo! Saya menemukan tiga lembar uang kertas. Tapi kegembiraan saya mendadak sirna karena semua uang kertas itu tampaknya sangat sulit untuk digunakan transaksi. Kenek angkot bisa marah-marah kalau disodori satu dari tiga lembar uang kertas itu.
Alasannya, pertama, uang kertas senilai Rp 500 ternyata sobek dan cuma tersisa tigaperempat bagian. Kedua, selembar satu dolar AS yang sangat lecek dan kumal. Ketiga, selembar satu ringgit Malaysia yang kondisinya masih bagus, tetapi mau ditukarkan ke mana?
Ada peluang satu ringgit itu bisa untuk membayar ongkos angkot. Masalahnya saya pemalu - takut ketahuan bokek oleh kenek dan penumpang lainnya. Apa boleh buat, terpaksa saya harus berjalan kaki menuju ATM, hitung-hitung sembari mengulur waktu sampai transferan masuk. O iya, dolar dan ringgitnya masih tersimpan rapi di dompet saya (lihat foto), tapi Rp 500 peraknya entah tercecer ke mana.
Kasus lain. Saya sering menjadi kasir. Biasanya, dua-tiga hari jelang akhir bulan, antara tanggal 28-30, beberapa pelanggan datang belanja menggunakan koin recehan. Ada ibu-ibu membeli susu bayi kemasan paling kecil (150 gr) seharga sekitar Rp 13 ribu per kotak menggunakan koin recehan seratus, dua ratus, dan lima ratus rupiah. Ada juga bapak-bapak membeli rokok dengan receh denominasi sama. Dua-tiga hari kemudian, ibu-ibu dan bapak-bapak tadi sudah bisa berbelanja menggunakan lembaran rupiah berwarna biru dan merah yang kondisinya masih licin mulus. Pasti sudah gajian lagi!
Terkadang uang receh dianggap remeh. Meski diletakkan sembarangan, tercecer di kolong lemari, terselip di laci dompet, tersimpan di celengan yang bisa dibuka-tutup dengan mudah, rasanya tak ada orang yang membuang uang recehnya ke tong sampah. Uang tetap uang, ada nilainya, dan suatu ketika akan berguna, seperti contoh di atas.
***
Kemarin, Selasa 10 Februari 2015, saya membaca sebuah berita di Kompas.com berjudul; “Johan Budi dan Chandra Hamzah Dilaporkan ke Bareskrim Polri.” Hari-hari sebelumnya, setelah Bareskrim Polri menangkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto pada Jumat 16 Januari 2015 (diduga mengarahkan saksi untuk bersaksi dusta di MK tahun 2010), bermunculan pula sejumlah orang ke Trunojoyo untuk melaporkan para Komisioner hingga mantan Komisioner KPK.
Ketua KPK Abraham Samad dilaporkan oleh Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia M Yusuf Sahide ke Bareskrim Mabes Polri pada Kamis, 22 Januari 2015 atas dugaan pertemuannya dengan sejumlah elite PDIP jelang pemilihan presiden 2014. Samad dituding memanfaatkan jabatan Ketua KPK sebagai posisi tawar untuk dijadikan calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo. Senin, 9 Februari 2015, lagi-lagi Samad dilaporkan ke Bareskrim oleh LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia atas dugaan kepemilikian senjata api (Senpi) ilegal dan gratifikasi senpi.
Samad paling banyak disorot, mulai dari aksi blak-blakan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengenai pertemuan Samad-elite PDIP, munculnya foto mesra bersama Putri Indonesia, dan foto mesra lainnya bersama Feriyani Lim termasuk kasus dugaan pemalsuan dokumen kependudukan perempuan cantik itu pada tahun 2007 silam.
Sabtu, 24 Januari 2015, seorang pria bernama Mukhlis Ramlan datang bersama tim kuasa hukumnya ke Bareskrim untuk melaporkan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja terkait dugaan tindak kriminal pemalsuan akta perusahaan dan merampok 85 persen saham PT Desy Timber pada tahun 2006 di Berau, Kalimantan Timur. Ini kasus hampir delapan tahun lalu dan Mukhlis merasa sekaranglah saat yang tepat baginya untuk mencari keadilan.
Zulkarnain, Wakil Ketua KPK lainnya, juga dilaporkan oleh Fathur Rosyid dari Presidium Jatim Am Aliansi Masyarakat Jawa Timur. Menurut Fathur, saat masih menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Zulkarnain diduga menerima uang suap sekitar Rp 5 miliar untuk menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi dana hibah Program Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur tahun 2008.
Rupanya bukan hanya ketua dan para wakil ketua KPK yang dilaporkan, mantan Juru Bicara KPK yang kini menjabat Deputi Pencegahan KPK, Johan Budi, juga telah dilaporkan ke Bareskrim Polri. Johan dan mantan Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dilaporkan oleh Andar Situmorang, Ketua LSM Government Against Corruption and Discrimination (GACD) atas dugaan pertemuan dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin antara tahun 2008 dan 2010. Padahal, menurut Johan, kasus itu sudah selesai di Komite Etik KPK.
Beruntung masa jabatan Wakil Ketua KPK Busyro Muqqodas telah berakhir. Jika dia masih aktif di KPK, bukan tak mungkin ada pihak yang datang ke Bareskrim untuk melaporkan pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya. Siapa tahu ketika masih duduk di kelas satu SD, sekitar 50-an tahun silam, Busyro pernah menjewer kuping temannya sampai berdarah.
Lapor-melapor kasus-kasus lama para komisioner KPK bermunculan setelah komisi antirasuah itu menetapkan calon tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pada 13 Januari 2015
Menariknya, dalam sidang praperadilan Komjen Budi Gunawan terhadap KPK di PN Jaksel, Selasa 10 Februari 2015, seorang Kuasa Hukum Komjen Budi, Frederich Yunadi, menggunakan mimik wajah Samad dan Bambang yang terekam kamera televisi sebagai barang bukti. Keduanya dituding menunjukkan mimik wajah mengejek saat mengumumkan penetapan tersangka terhadap Komjen Budi.
Bagi saya, menjadikan mimik wajah seseorang sebagai bukti di pengadilan merupakan hal baru dan sangat menarik. Kebetulan beberapa hari lalu saya sempat mengomeli seorang sopir angkot gara-gara berhenti sembarangan sehingga saya nyaris menabrak bumper belakang angkotnya. Saat saya omeli, si sopir angkot memandang saya dengan mimik mengejek dan membuat saya semakin jengkel. Pelat nomornya belum saya catat, tetapi ciri-ciri angkotnya masih saya ingat. Jika berpapasan di jalan, akan saya catat pelat nomor angkot itu agar bisa dilaporkan ke aparat penegak hukum. Mudah-mudahan laporan saya diterima dan diproses secara hukum sehingga bisa menimbulkan efek jera terhadap sopir angkot lainnya agar jangan coba-coba memasang mimik mengejek terhadap sesama pengguna jalan raya.
Eh, uang recehnya masih ada? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H