[caption id="attachment_365042" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi (www.trisura.com)"][/caption]
TERSTRUKTUR, sistematis, dan masif! Tiga kata ini begitu populer saat pelaksanaan pemilihan presiden tahun 2014 silam, dimana terjadi pertarungan sengit antara dua kubu; Prabowo Subianto-Hatta Radjasa vs Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mungkin inilah pemilihan presiden paling keras sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia. Jokowi-JK keluar sebagai pemenang karena oleh mayoritas pemilih diyakini lebih berpihak kepada rakyat.
Terlepas dari pesta demokrasi yang sudah berlalu itu, istilah TSM yang kini sangat populer tersebut seringkali digunakan dalam berbagai persoalan, tak terkecuali dalam dunia bisnis. Pada kesempatan ini Penulis ingin mengulas tentang upaya-upaya terstruktur, masif, dan sistematis untuk mematikan bisnis ritel milik perorangan yang sementara berlangsung di Indonesia. Sebagai pelaku usaha ritel level usaha kecil menengah (UKM), penulis merasakan adanya proses “pembunuhan berencana” terhadap peritel lokal di berbagai wilayah di Indonesia, kondisi yang saat ini Penulis alami sendiri di Kota Batam, Kepulauan Riau.
Kita tahu, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat dua perusahaan waralaba ritel nasional yang bertarung sangat ketat di berbagai wilayah di Indonesia dalam bidang usaha minimarket. Bukan persoalan, mengingat itu merupakan pertarungan yang sangat berimbang, karena kedua perusahaan ritel tersebut sama-sama besar dan sama-sama terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Persoalan muncul ketika perusahaan ritel milik konglomerat (tercatat pula sebagai orang-orang terkaya di Indonesia) itu merangsek ke berbagai pelosok negeri dan berhadapan langsung dengan peritel lokal skala UKM. Tak sedikit cerita tentang peritel UKM lokal - yang menggantungkan periuk nasinya dari usaha itu - terpaksa gulung tikar akibat dimangsa dua raksasa kelas nasional itu.
Peritel lokal kelas UKM tak mampu bersuara nyaring. Percuma! Lagipula ini bukan isu seksi bagi para politisi dan pejabat pemerintahan. Mungkin alasannya; berapa banyak sih pelaku usaha ritel skala UKM Indonesia? Sehingga para politisi dan para pemegang kekuasaan dari pusat sampai ke daerah-daerah sama sekali tak terusik oleh ekspansi waralaba ritel ke berbagai pelosok negeri. Penguasa kita bukan saja tutup mata, justru membolehkan (memberi izin) waralaba ritel modern itu bersisian persis dengan peritel lokal kelas UKM. Tak hanya itu, dalam radius kurang dari satu kilometer terdapat empat sampai lima toko waralaba ritel yang tampaknya sengaja mengambil lokasi di antara toko-toko ritel yang sudah ada jauh sebelum kehadiran mereka.
Peritel lokal yang bertetangga dengan ritel waralaba itu bisa langsung menghitung hari-harinya menuju kebangkrutan lantaran tak mungkin sanggup bersaing melawan jaringan bisnis raksasa. Betapa tidak, mereka ditopang oleh manajemen modern, sumber daya manusia lebih baik, permodalan lebih kuat, dan terutama memiliki jaringan distribusi sendiri. Keunggulan memiliki jaringan distribusi sendiri karena mereka mampu memotong rantai tataniaga menjadi lebih pendek dan efisien, sehingga harga barang yang ditawarkan bisa lebih murah dibandingkan ritel UKM yang mengandalkan pasokan barang dari perusahaan-perusahaan distributor.
Bukan David vs Goliath
Muncul beberapa pertanyaan; (1) Bukankah perusahaan ritel waralaba itu justru memberdayakan masyarakat untuk memiliki usaha sendiri melalui sistem kemitraan? (2) Dengan demikian, bukankah mereka justru berperan besar dalam menggerakan ekonomi daerah, bahkan menggerakkan ekonomi nasional? (3) Bukankah ini justru sebuah peluang karena perusahaan ritel waralaba nasional juga mengajak peritel lokal untuk bergabung menjadi bagian dari mereka?
Benar bahwa masyarakat bisa menjadi terwaralaba melalui sistem kemitraan. Tetapi jika dicermati, langkah tersebut sebenarnya hanya “membangunkan uang tidur”. Artinya, masyarakat yang bergabung atau menjadi terwaralaba umumnya bukan mereka yang sebelumnya sudah menjalankan usaha ritel, melainkan orang-orang yang memiliki kelebihan uang tetapi tidak tahu mau diapakan uangnya. Apalagi menyimpan uang di bank tak lagi menjanjikan bunga menarik. Di samping itu, orang-orang bermodal itu enggan meninggalkan profesinya atau sudah memiliki usaha di bidang lain. Sehingga mereka memilih terwaralaba agar uang bisa bekerja untuk mereka tanpa perlu repot-repot memikirkannya, tahu-tahu setiap bulan ada dana mengalir ke rekeningnya.
Sangat berbeda dengan orang-orang yang selama ini menggantung periuk nasinya dari bisnis ritel kelas UKM itu. Jika usahanya gulung tikar akibat kehadiran toko waralaba kelas nasional, dipastikan mimpinya hancur bersama runtuhnya toko penopang hidupnya selama ini. Masih ada implikasi lainnya, antara lain; (1) Pemilik toko kehilangan kemampuan membayar distributor pemasok barang dan bakal terlilit utang. (2) Pemilik toko akan terlilit utang apabila tempat usaha satu-satunya itu masih dalam proses kredit dan/atau sedang dijadikan jaminan untuk memperoleh modal usaha dari perbankan. Tempat usahanya pasti disita oleh bank dan pemiliknya terjun bebas ke lembah kemiskinan. (3) Jika usahanya dijalankan dengan dukungan permodalan dari pihak bank (misalnya memperoleh dana Kredit Usaha Rakyat (KUR), maka si peritel UKM akan kehilangan kemampuan mencicil hingga terjadi kredit macet. (4) Karyawan-karyawan toko ritel UKM akan kehilangan pekerjaan mereka.
Jika demikian, pada satu sisi toko waralaba memberikan kontribusi bagi perekonomian sebuah daerah, tetapi pada saat bersamaan dia menjadi “pembunuh” terhadap bisnis serupa yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat biasa. Ini seperti teori balon a la Habibie - digencet di sana, maka gelembungnya pindah ke sini - dalam konteks ekonomi Singapura dan Batam. Bedanya, jika Habibie menyebutkan bahwa ketika daya dukung lahan di Singapura tak lagi mampu mendukung pertumbuhan ekonominya, maka Pulau Batam dapat berfungsi sebagai penerima gelembung pertumbuhan itu. Beda dengan “teori balon” tersebut, negara membiarkan perusahaan waralaba ritel nasional menggelembung hingga ke pelosok tetapi sekaligus menggencet peritel lokal kelas UKM. Mati kau!
Merupakan peluang usaha? Seorang teman Penulis menganjurkan agar bergabung saja dengan satu di antara dua waralaba ritel nasional. Bila Anda adalah pelaku usaha ritel, Penulis agak ragu Anda akan tertarik menjadi terwaralaba. Mencermati penawaran mereka, khususnya bila Anda bersedia tokonya di-take over - Anda harus mengeluarkan biaya hingga ratusan juta rupiah. Anda tetap harus membayar biaya franchise yang berlaku lima tahun sebesar puluhan juta rupiah, mengeluarkan biaya untuk renovasi bangunan dan pembelian peralatan dari franchisor, dan Anda wajib membayar royalti setiap bulan secara progresif atau disesuaikan dengan penjualan yang diperoleh. Jika dihitung-hitung, Anda akan tahu bahwa menjalankan usaha secara mandiri jauh lebih menguntungkan dibanding menjadi terwaralaba.
Tetapi jika Anda memutuskan untuk bertarung sendiri menghadapi mereka, agak mustahil Anda bisa keluar sebagai pemenang sebagaimana David (Daud) melawan Goliath. Daud yang masih belia dan bertubuh kecil mampu menumbangkan raksasa Goliath dalam pertarungan tidak seimbang karena sebuah keajaiban. Seperti tertulis di Kitab Suci; Tuhan membela Daud.
Sementara dalam kasus pertarungan antara para peritel lokal vs waralaba ritel kelas nasional, sangat mustahil dimenangkan oleh para peritel lokal. Peritel lokal tak hanya menghadapi satu raksasa, tetapi berhadapan dengan sejumlah jaringan bisnis raksasa berskala nasional. Sayangnya, pemerintah (dan DPR/D) yang semestinya berperan sebagai “pembela” - atau setidaknya menjadi pengatur dan wasit yang adil - justru membolehkan para raksasa itu hadir tepat di samping peritel lokal skala UKM.
Sampai kapan para pengambil kebijakan membiarkan “pembunuhan berencana” ini berlangsung?(*)
Artikel terkait: Pengusaha (Kecil) Harus Bermental Tangguh?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H