Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

PDIP Lebih Terbiasa di Luar Kekuasaan

14 Februari 2015   01:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:14 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo PDI Perjuangan (sumber:tribunnews)

[caption id="" align="alignnone" width="411" caption="Logo PDI Perjuangan (sumber:tribunnews)"][/caption] SEPULUH tahun menjadi ‘oposisi’ membuat para politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) lebih terbiasa berada di luar kekuasaan dan lupa bagaimana seharusnya bersikap sebagai partai penguasa. Para politisi PDIP tampaknya lebih menikmati posisi sebagai pengritik pemerintah dibanding sebagai partai penguasa. Pandangan ini hanya asumsi penulis setelah menyimak tingkah polah para politisi PDIP yang tampak lebih sering menyerang Presiden Joko Widodo yang tak lain kader mereka sendiri. Sebaliknya para lawan politik di Koalisi Merah Putih (KMP), yang sejak awal diperkirakan bakal menyulitkan, justru lebih terasa mendukung pemerintah sembari menikmati perilaku aneh para elite PDIP. Pentolan KMP Prabowo Subianto sebagai rival dalam Pilpres, malah menemui Jokowi dan sangat terasa adanya dukungan moril atas kekisruhan terkait pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Terasa lucu, mengingat PDIP telah mati-matian memperjuangkan dan menempatkan Jokowi sebagai pemimpin tertinggi di Indonesia tetapi kemudian lebih sering menyerang langkah-langkah Jokowi. Mantan Gubernur DKI ini pun terpaksa harus memainkan langkah kuda agar bisa melompati banyaknya rintangan para pion PDIP di depan-belakang dan kiri-kanannya.

Sebab, kecenderungan yang ada, para politisi PDIP lebih bersemangat memperjuangkan kepentingan (kemauan dan kehendak) partai dibanding mendukung pemerintahan Jokowi bagi kepentingan bangsa dan negara. Celakanya, PDIP berani bermain dalam isu sensitif dan paling dimusuhi rakyat, yakni korupsi!

PDIP sama sekali tak memiliki (menyediakan/menugaskan) satupun sosok pembela Jokowi, sebagaimana Ruhut Sitompul-nya Demokrat yang selalu cepat-tangkas membela Presiden SBY sekalipun memakai alasan “pokoknya!” Tampak jelas bahwa sebagian elite PDIP tak rela Jokowi ‘si anak bawang’ duduk di tampuk kekuasaan Republik, tapi mereka tak kuasa mengambil kembali mandat itu mengingat  kemenangan Jokowi lebih dikarenakan peran relawan non-partisan. Seolah ada penyesalan telah memberikan tiket Capres kepada Jokowi yang dianggap ‘tidak setia’ kepada partai dan lebih percaya kepada para pembisik yang dianggap para pengkhianat partai.

Perhatikan pernyataan politisi PDIP yang juga anggota Komisi III DPR, Junimart Girsang, yang saya kutip dari situs berita detik.com berikut ini; “Dulu beliau bilang menunda sambil menunggu proses hukum, tapi proses ini belum selesai kok sudah mau dibatalkan? Tentu konsistensi seharusnya jadi ciri. Saya yakin Presiden tak bisa didikte," ujar Junimart. "Ini artinya Presiden tak taat hukum. Tentu akan ada konsekuensi politiknya. Kami di DPR tidak akan tinggal diam juga!” imbuh dia.

Tak hanya Junimart, sejumlah elite PDIP seperti Plt Sekjen Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP PDIP Effendi Simbolon tak pernah berhenti merongrong Jokowi melalui sikap dan pernyataan-pernyataannya. Hasto lebih sibuk menyerang Ketua KPK Abraham Samad daripada memberikan masukan yang bijak kepada pemerintah mengenai polemik Komjen Budi. Selain mendesak Jokowi melantik Komjen Budi, Effendi Simbolon mengritik keras keputusan Jokowi menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri yang menurutnya atas bisikan ‘anak kecil’ bernama Andi Widjajanto (Seskab).

Situs berita Tempo.co melaporkan, Presiden Jokowi menelpon Ketua DPR Setya Novanto.Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Mahesa telah mengonfirmasi bahwa Jokowi menelepon Ketua DPR untuk memberitahu bahwa Komjen BG batal dilantik. Tapi oleh rekannya di Komisi III sekaligus politisi PDIP, Masinton Pasaribu, melontarkan pernyataan bahwa yang telepon Novanto bukan Presiden Jokowi melainkan Brutus (baca: pengkhianat). Seperti koleganya, Masinton pun ngotot Komjen BG harus dilantik menjadi Kapolri.

Politisi PDIP lainnya, Trimedya Panjaitan pun tak kalah sengit dan ngotot agar Komjen Budi segera dilantik. "Sikap kami tidak berubah, (Jokowi seharusnya) tetap melantik Budi Gunawan. Dia (Jokowi) kirim nama Budi Gunawan (sebagai calon Kapolri) ke DPR. Konsistenlah dengan apa yang dia kirim," ujar Wakil Ketua Komisi III itu.

Sikap para politisi PDIP justru lebih galak terhadap Jokowi daripada pentolan KMP seperti Fadli Zon (Gerindra) dan Fahri Hamzah (PKS). Ketua DPR Setya Novanto (Golkar) dan Tantowi Yahya (Golkar) justru memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Jokowi dalam memutuskan polemik Kapolri.

Jokowi sendiri, sebagaimana dikutip CNN Indonesia, menyatakan, dirinya bisa saja mengambil keputusan dalam 1x24 jam. “Sudah jelas masalah kita adalah korupsi yang bertumpuk dengan politik dan hukum,” ujar Jokowi. Dia menegaskan sudah ada proses tetapi perlu kalkulasi dan perhitungan yang betul-betul matang.

Atau KMP dan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) sudah bertukar posisi? (*)

ARTIKEL TERKAIT:

Membuka Kembali Kontrak Politik Jokowi-JK dengan Rakyat

Seperti Mengorek Receh di Laci Dompet

Tolong Jawab Pertanyaan Bung Karno!

Hasto vs Samad atau Cicak vs Banteng? #SaveKPK!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun