Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pangkas Subsidi BBM, Jokowi Langgar UU APBN-P 2012!

26 November 2014   06:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:49 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lucky Hakim (sumber: http://cdn-media.viva.co.id)

[caption id="" align="alignnone" width="663" caption="Lucky Hakim (sumber: http://cdn-media.viva.co.id)"][/caption] BARU sebulan usia Pemerintahan Jokowi-JK, para Wakil Rakyat sudah ingin mengajukan hak interpelasi terhadap Presiden Joko Widodo. Setuju atau tidak, ini merupakan hak pengawasan dari DPR untuk meminta penjelasan atau pertanggungjawaban pemerintah atas keputusan atau kebijakan pemerintah terkait hal-hal penting dan strategis serta berdampak luas terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Secara prinsip, tidak ada yang salah dengan keinginan DPR menggunakan hak tersebut. Ini baik, karena sejatinya untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Persoalannya pada niat para wakil rakyat yang terhormat untuk mengajukan interpelasi. Apa niat mereka sesungguhnya? Kita mendukung apabila niatnya murni demi kemaslahatan bangsa ini, bukan yang lain!

Keputusan Presiden Jokowi memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM) merupakan pemicu bergulirnya ide interpelasi, mengingat BBM memenuhi syarat “strategis” dan “berdampak luas”. Apalagi presiden mengambil keputusan tersebut pada saat harga minyak dunia sedang turun.

Presiden Jokowi dinilai melanggar UU No 12 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2013  tentang APBN TA 2014. Adalah Wakil Ketua DPR sekaligus Penasihat Fraksi Partai Demokrat di DPR, Agus Hermanto, yang menyatakan bahwa keputusan Presiden Jokowi memangkas subsidi BBM telah melanggar Pasal 14 ayat (13 ) UU tersebut. (Sumber)

Ayat 13 berbunyi, “Anggaran untuk subsidi energi yang merupakan bagian dari Program Pengelolaan Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan berdasarkan realisasi harga minyak mentah (ICP) dan nilai tukar rupiah. “

Menurut Agus, ada persyaratan khusus apabila pemerintah hendak memangkas subsidi BBM, yakni apabila harga minyak dunia naik 15 persen dari asumsi harga BBM dalam APBN-P 2014 sebesar 105 dolar AS/barel. Ketua Fraksi Demokrat di DPR, Edhie Baskoso Yudhoyono (Ibas), juga menolak keputusan Presiden Jokowi yang dinilainya tidak tepat karena harga minyak dunia sedang turun.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Lucky Hakim juga menilai Presiden Jokowi melanggar UU APBN. Namun mantan aktor yang bermain dalam film berjudul “Lantai 13” itu, melalui akun twitter-nya, menilai Jokowi melanggar Pasal 7 ayat 6a UU APBN. Lucky menuliskan; “Pasal 7:pemerintah hanya dpt menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR bila harga minyak dunia neik hingga 15 persen di atas asumsi APBN.” (sic)

Lucky juga menulis status penegasan: "Baca UUD 1945 pasal 23 ayat 1,2, dan 3. intinya perencanaan, perubahan & pelaksaanan APBN harus persetujuan DPR. Kini kita tau siapa dia," tulis  Lucky.(sic) (sumber)

Melanggar UU APBN-P?

Sebelum membahas pelanggaran UU, mari kita perhatikan arah kebijakan subsidi dalam APBN 2014 yang mana telah disesuaikan dengan UU APBN 2014 itu sendiri dan artinya tidak bertentangan dengan undang-undang dimaksud.

Arah kebijakan subsidi dalam APBN 2014 sebagaimana termuat di situs resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia adalah untuk meningkatkan efisiensi subsidi energi dan meningkatkan ketepatan target sasaran dalam rangka peningkatan kualitas belanja. Khusus subsidi BBM yang dipatok sebesar Rp 210,7 triliun dalam APBN 2014, Kementerian Keuangan era Presiden SBY menyebutkan tiga langkah kebijakan yang dilaksanakan, yakni (1) melanjutkan program konversi BBM ke gas; (2) melanjutkan program konversi minyak tanah ke LPG tabung 3 kg; dan (3) melakukan pengendalian BBM bersubsidi dengan pola penyaluran tertutup.

Poin ketiga, yakni pola penyaluran tertutup, telah dilakukan dengan berbagai cara. Pernah ada semacam kartu kendali kemudian belakangan ada RFID (Radio Frequency Identification). Dalam praktiknya, pola distribusi tertutup menggunakan RFID, tak berjalan baik, akhirnya mangkrak dan malah menimbulkan persoalan baru antara Pertamina dan PT Inti sebagai pembuat RFID itu. (Sumber)

Jika pemerintahan baru bolak-balik dengan sistem pembatasan seperti itu, sampai selesai masa tugas mereka pun persoalan BBM bersubsidi ini tak bakal selesai. Sehingga memangkas subsidi secara signifikan dan mengalihkan langsung ke sektor produktif adalah cara terbaik. Dananya bisa dialihkan ke daerah, untuk membangun desa-desa, daripada lebih banyak dihabiskan orang kota untuk kendaraan mereka, diselundupkan oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab untuk menikmati manisnya disparitas harga, sampai menjadi mainan para mafia Migas.  (Topik ini akan dibahas dalam artikel terpisah)

Kembali ke pertanyaan, benarkah Presiden melanggar UU APBN-P? Saya tidak tahu UU APBN-P 2014 yang mana yang diacu Agus Hermanto dan Lucky Hakim, dan Ibas,  yang notabene adalah para “produsen” undang-undang di negara ini.  Setelah membaca pasal demi pasal dan ayat demi ayat pada UU No 12 Tahun 2014 serta penjelasannya, saya tidak menemukan kalimat-kalimat seperti disebutkan kedua wakil rakyat itu.

Agus menyebut persyaratan khusus apabila pemerintah hendak memangkas subsidi BBM, yakni jika harga minyak dunia naik 15 persen dari asumsi harga BBM dalam APBN-P 2014 sebesar 105 dolar AS/barel.  Saya tidak menemukan persyaratan khusus tersebut dalam UU APBN-P maupun di bagian penjelasannya. Bahkan dalam “Pokok-pokok Nota Keuangan dan APBN Perubahan Tahun 2014” yang terdapat di situs resmi Departemen Keuangan pun tidak menyebutkan secara eksplisit syarat “15 persen” itu. Entahlah jika ada aturan lain atau mungkin dinyatakan secara implisit.

Sebenarnya sebelum diubah, UU APBN 2014 memuat ayat yang mengatur soal persetujuan DPR, yakni pada Pasal 14 ayat (14) UU 23/2014, yang berbunyi; “Penetapan perubahan realisasi dan proyeksi  parameter subsidi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (13) dilaksanakan setelah mendapat persetujuan komisi terkait di DPR RI.” Namun ayat tersebut - Pasal 14 ayat (14) - telah dihapus dalam UU No 12/2012 tentang APBN-P 2014. Jikapun ayat tersebut tidak dihapus, dalam situasi dualisme DPR saat ini, kepada DPR yang mana pemerintah meminta persetujuan? Sementara proses pembangunan tidak bisa menunggu sampai para DPR itu menyelesaikan persoalan internal mereka.

Sedangkan pernyataan Lucky Hakim soal Pasal 7  ayat 6a UU APBN jelas keliru. Jika acuan Lucky adalah UU APBN-P, maka bunyi pasal 7 adalah sebagai berikut: “Anggaran Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 diperkirakan sebesar Rp1.876.872.758.707.000,00 (satu kuadriliun delapan ratus tujuh puluh enam triliun delapan ratus tujuh puluh dua miliar tujuh ratus lima puluh delapan juta tujuh ratus tujuh ribu rupiah), yang terdiri atas: a. anggaran Belanja Pemerintah Pusat; dan b. anggaran Transfer ke Daerah.”

Pun tak ada Pasal 7 ayat 6a dalam UU No 12/2014.  Jika yang dia maksudkan adalah UU No 23 Tahun 2013  tentang APBN TA 2014 (sebelum perubahan), lagi-lagi saya juga tidak menemukan seperti yang dituliskan Lucky. Pasal 7 UU tersebut berbunyi: “Anggaran Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 direncanakan sebesar Rp 1.842.495.299.913.000.00 (satu kuadrilium delapan ratus empat puluh dua triliun empat ratus sembilan puluh lima miliar dua ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus tiga belas ribu rupiah), yang terdiri atas; a. anggaran Belanja Pemerintah Pusat; dan b. anggaran Transfer ke Daerah.

Rupanya setelah ditelusuri, pasal dan ayat yang disebutkan Lucky,  sesuai dengan yang diatur UU No 4 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang Undang No 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012.   Berikut bunyi Pasal 7 Ayat (6a) seperti yang disebutkan Lucky: “Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.”

Jadi, apakah benar keputusan Presiden Joko Widodo melanggar UU APBN? Jawabannya benar jika UU APBN-P 2012 dan Pasal 14 Ayat (14) UU APBN 2014 masih berlaku sampai hari ini. Jika kedua UU tersebut tidak berlaku lagi atau tidak lagi menjadi acuan pengambilan keputusan oleh Pemerintah, maka tidak ada yang dilanggar Presiden Jokowi.

Kesimpulannya, keputusan Jokowi memangkas subsidi BBM dan mengalihkannya ke sektor ekonomi produktif tidak melanggar UU No 12 Tahun 2014 tentang  APBN-P.

Jalankan Putusan MK

Keputusan Jokowi memangkas Subsidi BBM tidak ada kaitannya dengan naik atau turunnya harga minyak dunia yang diatur oleh Nymex nun jauh di  New York  sana. Justru Jokowi sedang melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)  No: 002/PUU-I/2003 bahwa harga BBM dikendalikan oleh Pemerintah.  Ketika melakukanjudicial review terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, sembilan Hakim MK secara bulat menyatakan bahwa Pasal 28 Ayat (2) dan ayat (3) UU Migas bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945.

Atas Pasal 28 Ayat (2), berikut bunyi putusan MK: "Menurut Pemerintah ketentuan ini berbeda dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU Migas yang pada intinya menyatakan tentang penetapan harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 002/PUU-I/2003. Untuk menindaklanjuti putusan tersebut Pemerintah telah merevisi dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 dimana ditetapkan bahwa harga bahan bakar minyak dan gas bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah. "

Dalam hal ini, Pemerintahan Jokowi-JK tidak sedang berbohong atau membohongi rakyat bahwa pemerintah memangkas subsidi karena harga BBM sedang naik atau turun. Keputusan ini semata-mata untuk mengalihkan anggaran subsidi BBM yang bersifat konsumtif ke sektor produktif. Begitu, Mas Bro! (*)

ARTIKEL TERKAIT:

Ini Sumber Dana Rp 700 T untuk Membeli Mimpi Jokowi

Mafia Migas Perlu Terapkan Strategi Baru

Jokowi Berani Memutuskan Tanpa Keraguan Sedikitpun

Hatta Radjasa Tahu Siapa Bandit Migas

Indonesia Perlu Densus Antimafia Migas

Pak Jokowi, Rakyat Cuma Ingin Bahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun