MANAKALA banyak pejabat korupsi, banyak pegawai negeri pemalas dan tukang bolos, banyak dokter dan perawat pergi meninggalkan Puskesmas di pedalaman kosong melompong, pak guru Yakob Kawumbur (59), tetap setia mengabdi di daerah terpencil. Dia senantiasa menjalankan panggilan hidupnya dengan kesetiaan dan Penuh tanggung jawab. [caption id="attachment_146023" align="alignleft" width="300" caption="Terima Satya Lencana "][/caption] Pak Guru Yakob tak mengeluh kendati hidup di pedalaman dan sering meninggalkan istri dan lima anaknya demi mencerdaskan murid-muridnya. Ada kesadaran penuh di sana, bahwa di pundak murid-murid terpencil itu, anak-anak kampung itu, juga terletak masa depan bangsa ini, setidaknya masa depan kampung mereka yang terpencil dan tertinggal. Tak banyak sosok seperti dia. Pak guru Yakob tamatan SMA dan menjadi guru hanya berbekal ijazah persamaan Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Tidak ada gelar sarjana, tidak ikut sertifikasi guru, tapi dia menjadikan profesi guru sebagai ladang pengabdian. Menjalankan tugas dengan sepenuh hati dan tak kenal lelah kendati tantangan yang dihadapi tidak ringan. Dia asli dari Minahasa Utara, tapi mengabdi di Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel). Pak guru Yakob tak pernah mengeluh kendati harus membagi waktu dan tenaga untuk mengajar di tiga sekolah dasar berbeda. Pak guru Yakob harus berjalan kaki sejauh 90 kilometer dari satu sekolah ke sekolah lainnya, demi memberi pelajaran bagi anak-anak di kampung terpencil. Terkadang dia menumpang perahu katinting untuk bisa menemui murid-muridnya di pedalaman. Sebagai satu-satunya guru di sana, Yakob harus bolak-balik Onggunoi-Modisi, dua desa di Kecamatan Pinolosian Timur, Bolsel. Dia juga harus menguasai banyak ilmu pengetahuan sekaligus untuk mentranfernya kepada para murid yang hidup terisolir. Selama 27 tahun, sejak 1983, Yakob bergelut dalam dunia pendidikan demi mencerdaskan anak bangsa. Dia tetap menjalankan panggilan hidupnya kendati fasilitas pendidikan sangat memprihatinkan. Atas pengabdiannya itu, Yakob diganjar penghargaan Satya Lencana Pendidikan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tentu saja pak guru Yakob tidak menjalankan pengabdian demi memburu anugerah tertinggi bagi guru di Indonesia itu. Kendati sudah pernah mendengar akan mendapat penghargaan, pak guru Yakob mengaku dirinya tidak percaya, tak pernah terpikirkan olehnya. Penghargaan ini memang hanya diberikan kepada guru yang mengabdi secara tulus selama puluhan tahun. "Umar Bakrie" asli Likupang, Minahasa Utara, itu bahagia saat Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang menyematkan lencana dan menyerahkan penghargaan kepadanya di Manado Convention Center. (Tribun Manado, Rabu 19 Mei 2010). Pak guru Yakob sudah berusia 59 tahun. Berarti tahun depan dia sudah harus pensiun. Tentu kita sangat berharap ada sosok-sosok lain yang mau mengabdi sebagaimana dilakukan pak guru Yakob. Tak hanya di sektor pendidikan, tapi juga di sektor lain. Sebelum pensiun, pak guru Yakob yang kini menjabat Kepala Sekolah Dasar Negeri Modisi, Pinolosian Timur, mengusulkan beberapa hal agar diperhatikan. Dia berharap pemerintah memerhatikan akses transportasi penghubung desa-desa di Kecamatan Pinolosian Timur yang masih terisolasi. Minimnya sarana penunjang belajar-mengajar perlu ditingkatkan. Demikian pula nasib guru-guru bantu di pedalaman yang mengabdi dalam segala keterbatasan. (*) *) Tulisan ini juga dimuat di www.tribunmanado.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H