[caption caption="CABUT NYAWA - Papan larangan membuang sampah di pinggir jalan umum sekitar Perumahan Legenda Malaka, Batam Centre. Foto diambil pada Kamis, 1 Oktober 2015. (Foto: Eddy Mesakh)"][/caption]
TAK mudah mengubah perilaku masyarakat agar ikut peduli pada kebersihan dan keasrian lingkungan. Imbauan agar jangan membuang sampah di sembarang tempat, sudah tak mempan lagi. Lihatlah, oknum warga tak bertanggungjawab seenaknya membuang sampah di pinggir jalan umum yang termasuk ruang publik. Apakah sudah jadi gaya hidup?
Perilaku buruk ini bakal (atau malah sudah) menjadi budaya masyarakat Indonesia. Kalau sudah jadi budaya, kampanye sampai mulut berbuih-buihpun bakal sulit. Peringatan keras, ancaman pidana kurungan badan, hingga denda jutaan rupiah pun sama saja. Orang tetap membuang sampah seenaknya, terutama sampah rumah tangga.
Satu sisi ingin lingkungannya bersih, rapi, asri, tapi dirinya sendiri tak merasa ikut bertanggungjawab. Selalu pemerintah disalahkan dan dianggap tidak becus manakala dampak dari membuang sampah sembarang di ruang publik itu merugikan dirinya. Dia kesal ketika aroma busuk sampah mengganggu kenyamanannya. Dia marah ketika tumpukkan sampah menyumbat saluran air dan terjadi banjir. Dia lebih marah lagi ketika anaknya terserang diare dan akhirnya meninggal dunia atau minimal harus keluar biaya besar untuk pengobatan. Tapi dia tidak pernah memarahi dirinya sendiri ketika membuang sampah seenak perutnya. Sementara itu, akibat perbuatannya orang lain ikut menanggung akibat.
Tentu saja orang-orang terdampak perilaku buruk tersebut dibikin kesal. Sebagaimana sering kita lihat, biasanya mereka yang merasa terganggu kemudian memasang papan pengumuman pada tempat di mana masyarakat suka membuang sampah sembarangan. Umumnya berbunyi; “DILARANG MEMBUANG SAMPAH DI SINI” atau semacamnya. Tapi, tampaknya imbauan seperti itu tak mempan lagi, sehingga belakangan kita sering melihat larangan membuang sampah dengan kalimat ancaman, sindiran, bahkan makian.
Seperti yang dilakukan warga di dua lokasi di Kota Batam yang hampir setiap hari saya lalui, yakni daerah Legenda Malaka dan area sekitar Bandara Hang Nadim, persisnya di ruas jalan belakang Perumahan Permata Bandara. Papan larangan di Legenda Malaka tertulis; “YA ALLAH, CABUTLAH NYAWA YANG MEMBUANG SAMPAH DI DAERAH SINI”. Sementara di Permata Bandara tertulis; “DILARANG BUANG SAMPAH DI SINI, KECUALI ANJING”.
[caption caption="PAPAN PERINGATAN - Papan peringatan larangan sampah di pinggir jalan, sekitar belakang Perumahan Permata Bandara, Batam Centre. Foto diambil pada Jumat, 2 Oktober 2015. (Foto: Eddy Mesakh)"]
Kalimat pada kedua papan larangan itu menggambarkan keputusasaan dan kemarahan orang-orang yang merasa dirugikan oleh perbuatan para pembuang sampah yang tidak bertanggungjawab. Di Legenda Malaka menggambarkan mereka sudah putus asa dan frustrasi karena imbauan-imbauan sebelumnya sama sekali tak diindahkan. Sedangkan di Permata Bandara, lebih menggambarkan kemarahan yang meledak-ledak dari pihak yang memasang pengumuman tersebut. Lucunya, kendati sudah ada peringatan seperti itu, masih ada juga yang tetap membuang sampah di tempat tersebut.
[caption caption="PAPAN LARANGAN - Papan bertuliskan larangan membuang sampah di dekat Kompleks Puri Selebriti, Batam Centre. Kalau larangannya cuma seperti ini, dijamin pasti dicuekin. Foto diambil pada Jumat, 2 Oktober 2015. (Foto: Eddy Mesakh)"]
Pemerintah Kota Batam telah menerbitkan dua Peraturan Daerah (Perda) terkait kebersihan dan sampah, masing-masing Perda No 5/2001 tentang Kebersihan Kota Batam dan Perda No 11/2013 tentang Pengelolaan Sampah. Selain mengatur hak dan kewajiban, perda tersebut juga menjadi dasar untuk menindak para pelanggar.
Ancaman hukuman bagi yang membuang sampah di sembarang tempat, sebagaimana diatur dalam Perda No 5/2001, dipidana kurungan selama enam bulan atau denda sebesar Rp 5 juta. Sementara bagi pelanggar Perda 11/2013, khususnya yang membuang sampah sembarangan di jalan, taman, atau tempat umum, sungai, drainase, pantai, laut, dan sebagainya dikenakan denda sebesar Rp 2,5 juta. Tampaknya kedua Perda tersebut kurang sakti. Denda dan ancaman pidana yang cukup berat itu sama sekali tak digubris. Mungkin masyarakat menganggap ancaman dalam Perda itu sekadar “main-main” seperti orangtua menakut-nakuti si kecil agar jangan bermain di luar rumah karena bisa dimakan raksasa berkepala plontos.