[caption id="attachment_316494" align="alignleft" width="300" caption="Mahfud MD (mahfudsrimulyani.wordpress.com)"][/caption]
SAYA pernah menulis artikel berjudul: “Tenang, Ada Anies Baswedan dan Mahfud MD”. Ketika menulis artikel tersebut, saya percaya bahwa dua sosok itu adalah orang-orang baik. Orang baik biasanya sangat sulit melawan suara hati nuraninya. Ibarat pepatah, “bibit yang baik tak pilih tanah”. Maksudnya, orang baik itu ke manapun dia pergi atau di mana pun dia berada/berkumpul, akan selalu bersifat (bukan bersikap) baik.
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD berada di dua kubu berseberangan. Anies di kubu capres-cawapres Jokowi-JK dan Mahfud di kubu Prabowo-Hatta. Anies pernah berucap kira-kira begini; “Orang baik berkumpul dengan orang baik”. Anies memilih bergabung bersama Jokowi karena menurut penilaiannya, Jokowi adalah orang baik. Tapi ini bukan berarti tidak ada orang baik di antara orang-orang kurang/tidak baik dan sebaliknya. Demikian pula Mahfud ketika memutuskan mendukung Prabowo Subianto.
Keduanya sudah memutuskan pilihan mereka, dan untuk itu harus berjuang sepenuh waktu, pikiran, dan tenaga untuk memenangkan capres yang didukung. Meski begitu, saya percaya situasi panas Pilpres yang penuh intrik, kampanye hitam, sampai fitnah-memfitnah, tidak sampai merusak karakter asli keduanya. Karena itu, sampai hari ini, saya percaya baik Anies maupun Mahfud tetaplah sosok manusia baik.
Bagi pendukung Prabowo, mungkin pernah kehilangan respek terhadap Anies, demikian pula pendukung Jokowi terhadap Mahfud.
Misalnya Mahfud. Mungkin saja dia pernah bersikap atau mengeluarkan pernyataan yang terbaca tidak sesuai dengan sosok Mahfud yang kita kenal, itu harus dibaca dalam posisinya sebagai ketua tim pemenangan. Misalnya Mahfud pernah di-bully di twitter gara-gara menyebut kubu Jokowi melakukan perang cyber (kemudian diralat Sandiaga Uno bahwa yang dimaksud adalah psywar).
Ingat, ketika Tabloid Obor Rakyat memfitnah Jokowi habis-habisan, Mahfud juga meminta agar polisi menangkap dalang penerbit tabloid tersebut. Meminta agar pembuat Tabloid Obor diperiksa, disidik, dan diajukan ke meja hijau. Kita belum tahu persis siapa dalang Obor Rakyat sesungguhnya, namun bisa saja Mahfud memang tidak tahu jika ada skenario busuk seperti itu.
Demikian pula Anies yang mengecam keras isi tabloid busuk itu. Anies menilaiObor Rakyat yang memutarbalikkan fakta telah merusak sendi-sendi kebangsaan karena telah menyebarkan fitnah terkait isu SARA dan serangan itu tak sekadar soal Jokowi, tapi lebih dari itu. Harus ditangkap dan diadili, karena jika dibiarkan, akan menjadi preseden, di mana publik merasa tidak perlu takut melakukan hal-hal serupa, seenaknya melakukan tindakan hukum tanpa perlu bertanggungjawab
Dan kini, ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pemenang Pilpres dimana Jokowi-JK keluar sebagai pemenang, Mahfud menganjurkan agar menerima keputusan tersebut. Dia mengakui kekalahan dan menyerahkan kembali mandat kepada Prabowo. Mahfud berani berbeda sikap dengan Prabowo, yakni menghormati keputusan KPU. "Kalau tidak menghormati keputusan KPU, menghormati siapa lagi," begitu katanya.
Sebagai mantan Ketua MK, Mahfud menyadari betul bahwa dengan selisih delapan juta suara, upaya hukum di MK bakal sia-sia atau tak akan mengubah apa-apa. Dia pun memutuskan tidak ikut lagi dalam proses hukum ke MK dengan alasan etika sebagai mantan ketua lembaga tersebut. Jika Mahfud orang jahat, pasti dia sekuat tenaga mendorong proses hukum ke MK karena menguasai betul seluk-beluk di lembaga itu.
Kesimpulan saya terhadap keduanya; Anies plays as a good person in the right place and Mahfud was a good man in the wrong place. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H