Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Berani Memutuskan Tanpa Keraguan Sedikitpun

20 November 2014   06:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:20 3441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416414383706385303

[caption id="attachment_336629" align="alignnone" width="630" caption="Presiden Jokow Widodo (sumber:rakanews.com)"][/caption]

PRESIDENJoko Widodo, atau kita akrab menyapanya Jokowi, tanpa ragu mengambil keputusan memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM). Tambahan Rp 2.000 per liter saat kita saat menebus dua jenis BBM -  premium dan solar -  dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Seliter premium menjadi Rp 8.500 dan solar Rp 7.500.

Menunjukkan Jokowi konsisten dengan perkataannya ketika masih berstatus calon presiden. Dia membuat keputusan tanpa keraguan sedikitpun, kendati dia pasti menyadari konsekuensi goyahnya perekonomian seperti ancaman inflasi dan melemahnya daya beli masyarakat. Demikian pula merosotnya popularitas yang selama ini lengket pada sosok dirinya.

Masih kurang tiga hari lagi baru genap sebulan menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia (Jokowi dilantik 20 Oktober 2014),  Jokowi sudah “menaikkan” harga BBM bersubsidi. Tidak menunda-nunda, tidak mengulur-ulur waktu, tidak juga memberi cukup ruang bagi polemik berkepanjangan oleh para pemerhati, pengamat, apalagi politisi.

Mengapa Jokowi begitu berani menghancurkan masa-masa bulan madu yang indah penuh saling puja-puji ini dengan mengeluarkan kebijakan tidak populer? Inilah yang kita sebut naluri seorang pemimpin. Sigmund Freud (1856-1939) sudah menjawabnya sejak lama. Menurut Freud, ketika seseorang merasa lapar, maka naluri (instinct) orang tersebut akan bekerja. Energi naluriah menggerakkan proses-proses rohaniah mengamati, mengingat-ingat, dan berpikir ke arah satu tujuan, di manakah makanan itu dapat diketemukan pada waktu-waktu sebelumnya, atau merencanakan suatu garis tindakan yang dapat menghasilkan makanan. Setelah urusan makan selesai, tidak ada lagi energi jasmaniah yang dilepaskan, naluri lapar menghilang. (Calvin S. Hall, 2000, hal 36-37).

Konteks Jokowi dan keputusannya soal BBM, bukan sebatas soal naluri untuk sesegera mungkin menyingkirkan kebutuhan jasmaniah secara pribadi – seperti memenuhi kebutuhan biologis/seksual, membunuh rasa lapar dan dahaga - tetapi soal bagaimana mencapai tujuan yang telah ditargetkannya  secepat mungkin. Namun demikian, sebagaimana jalan pikiran Freud, Presiden Jokowi tidak bisa langsung mengatasi semua persoalan ekonomi bangsa ini hanya dengan memangkas subsidi BBM.

Dia harus meraih tujuan perantara terlebih dahulu sebelum sampai ke tujuan akhir. Tujuan perantaranya adalah membangun infrastruktur, seperti pengembangan pelabuhan dan jalan-jalan raya yang saling terkoneksi untuk mendukung program tol laut, membangun irigasi, mencetak sawah-sawah baru, dan sebagainya. Setelah itu baru bisa mencapai pertumbuhan ekonomi tujuh persen sebagaimana dia janjikan saat kampanye Pilpres. Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar itu, diharapkan kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik.

Nah, daya dorong yang sangat kuat dalam diri Jokowi (dan Wapres Jusuf Kalla) untuk menyejahterakan rakyatnya – setidaknya mampu meletakkan dasar perekonomian yang kuat -  selama kepemimpinan mereka, membuat naluri pasangan pemimpin yang sama-sama berlatar belakang pengusaha itu untuk memanfaatkan segala kekuatannya dan mengabaikan segala macam penolakan/pertentangan yang muncul terkait keputusan memangkas subsidi BBM. Hasil penghematan sebesar Rp 120 triliun dari pengurangan subsidi itulah yang akan digunakan untuk meraih tujuan perantara sebagaimana disebutkan di atas. Ini, seperti dikatakan Freud, seperti seseorang yang sedang dilanda asmara menggebu-gebu, agak sulit baginya untuk memikirkan hal-hal lain. Jokowi-JK dan segenap kabinetnya begitu menggebu ingin memacu pertumbuhan ekonomi agar nanti rakyatnya bisa meraih kesejahteraan. (bdk hal 39).

Sikap Jokowi

Sebagai pengambil keputusan, Presiden Jokowi berani bersikap. Ini seperti dia memutuskan untuk melantik Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta manakala DPRD belum menyetujuinya. Jokowi berani bersikap tegas melantik Ahok karena dia memiliki sandaran kuat pada konstitusi yang memang mengatur demikian.

Baiklah, kita lanjut soal sikap Jokowi memangkas subsidi BBM. Kata John C Maxwell (2012), terkadang ada orang yang berusaha menyembunyikan, minimal menyamarkan, sikapnya terkait sesuatu hal. Tetapi itu tidak akan bertahan lama karena sikap itu akan selalu berusaha mencari jalan keluar, karena sikap adalah bagian dari jati diri seorang manusia. Jokowi memutuskan untuk tidak bertele-tele dan langsung mengumumkan pemangkasan subsidi BBM tanpa ragu sedikitpun. Inilah yang disebut sikap tegas seorang pemimpin berkarakter. Sekali lagi, sikap itu ibarat akar yang tersembunyi di dalam tanah, tetapi buahnya terpampang di luar dan mudah terlihat.

Jokowi bersikap tegas karena dia juga memiliki keberanian untuk berhadapan dengan konsekuensi yang timbul dari keputusannya. Maxwell mengutip pernyataan Larry Osborne seperti ini; “Hal paling mencengangkan tentang para pemimpin paling efektif adalah betapa sedikitnya persamaan dalam diri mereka. Apa yang dinyatakan seseorang dengan yakin disanggah dan diperingatkan oleh orang lain, tetapi ada satu sifat menonjol yang mudah dikenali, yaitu kesediaan mereka (pemimpin berani) menempuh risiko.”

Rasa takut akan membatasi efektifitas seorang pemimpin. Sejarawan Romawi, Tacitus, menulis, “Hasrat untuk merasa aman menghambat setiap usaha yang besar dan mulia.” Maka, apabila Presiden Jokowi takut memangkas subsidi BBM, maka sama dengan dirinya mengingkari janji-janji kampanye untuk menyejahterakan rakyat yang telah memilih dirinya.

Ada keyakinan dalam diri Jokowi bahwa keberaniannya ini adalah pintu masuk menuju jawaban atas janji-janji kampanye. Tetapi bukan sekadar untuk memenuhi janji politik itu, melainkan ada dorongan kuat dalam diri Jokowi untuk membawa keluar bangsanya sendiri dari keterpurukan dan ketertinggalan, padahal sudah 16 tahun menikmati reformasi, bahkan sudah 70 tahun merengkuh kemerdekaan dari penjajah. (*)

BACAAN:

Calvin S.Hall, Libido Kekuasaan Sigmund Freud, Tarawang Press, Yogyakarta, September 2000.

John C. Maxwell, The Maxwell Daily Reader, Buana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia), Jakarta , Oktober  2012.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun