[caption id="attachment_332540" align="alignnone" width="640" caption="Ilustrasi pasar ikan (sumber:pixabay.com)"][/caption]
BU SUSI, jangan-jangan Pak Presiden Jokowi juga kurang makan ikan laut? Nanti kita ungkapkan agak ke tengah laut.. ups.. bagian tengah artikel ini.
Hukum pasar bilang, "Kalau berlimpah harga merayap, bila langka harga menjulang". Hampir semua kebutuhan tunduk pada 'aturan alam' itu, tak terkecuali ikan dan hasil laut lainnya. Kalau sudah sampai ke soal ikan, laut, dan segala isinya, pikiran ini langsung tertuju ke Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) itu. Susah sekali dibelokkan ke arah lain meskipun sudah dicoba lebih keras. Mungkin karena saya sendiri penikmat ikan laut sejak masih bayi, dan pernah lama hidup sebagai nelayan, jadi sangat tertarik pada isu-isu perikanan. (curhatnya cukup sampai di sini)
Tapi, mana bisa kita tunduk sepatuh-patuhnya pada hukum pasar? Kalau semua hal terkait penawaran-permintaan harus mengacu ke hukum pasar, bisa barabe dunia wal akherat. Kepala kita semua hanya berisi satu kata yang 'ditulis' beribu-ribu kali: UNTUNG... UNTUNG...UNTUNG...999, dan UNTUNG (10.000X). Bisa-bisa orang di pasar berantem sampai guling-guling di kolong lapak kalau pembeli dan penjual mati-matian mempertahankan 'haknya'. Yang beli maksa harus murah, yang jual ngotot musti mahal.
Supaya nggak melebar detil-mendetil soal teori ekonomi yang sudah tua tapi nggak kunjung lapuk itu, kita kembali ke soal: IKAN! Konon orang-orang Jepang dapat tubuh sehat, umur panjang, dan otak cemerlang karena rata-rata melahap 60 kilogram ikan laut setahun. Orang Indonesia cuma sampai separohnya, hanya 30 kg/orang/tahun. Padahal luas lautnya Jepang cuma seupil dibanding luas wilayah perikanan laut kita yang mencapai 5,8 juta kilometer persegi. Lebih buruk lagi orang Surakarta, kampung halamannya Pak Presiden Jokowi, ternyata hanya 8,5 kg/orang/tahun. Jangan-jangan Pak Jokowi sendiri dulunya juga kurang makan ikan, tapi kok bisa jadi presiden ya? (Maaf Pak Presiden, becanda doang!) (sumber)
Di satu sisi Ibu Susi pengen nelayan Indonesia sejahtera, di antaranya bisa menjual ikan dan hasil laut lainnya dengan harga tinggi. Ketika pulang kampung ke Pangandaran, kemarin, dia bilang, "Harga (ikan) di sini paling tinggi. Di sini tengkulak nggak jalan. Ini contoh pasar bebas. Harga bawal putih bisa Rp 250 ribu. Di sini ikan bisa dijual mahal. Pedagang kita bina," kata Susi. (sumber)
Apakah itu artinya Menteri Susi penganut berat sistem "pasar bebas" yang juga banyak pengecamnya itu? Tidak juga. Soalnya ada kata "tengkulak" dalam kalimat itu. "Di sini tengkulak gak jalan". Tengkulak itu sama dengan pedagang perantara. Kerjaannya membeli murah banget (di bawah harga pasar) dari tangan pertama , menjualkembali dengan harga tinggi kepada pedagang lainnya, akhirnya setelah melewati dua-tiga rantai tata-niaga, harga ikan melambung jauh di atas harga yang pantas.
Lalu pasar bebasnya? Pasar bebas yang dia maksud di situ adalah "bebas hambatan" dalam artian proses jual-belinya langsung terjadi antara nelayan dan pembeli. Jadi, ini tampaknya lebih pada memberikan kebebasan kepada masyarakat pelaku ekonomi untuk menentukan sendiri. Silakan situ jual mahal (banget juga tak apa) tapi kalau nggak ada yang mau beli gimana? Jadi harga sangat bergantung pada nilai keekonomian sebenarnya. Tidak ada yang dirugikan. Nelayan dapat harga pantas, pembeli tak kemahalan menebus.
Nah, supaya masyarakat Indonesia bisa konsumsi ikan sebanyak orang Jepang, tak ada jalan lain, kita harus mampu meningkatkan produksi perikanan kita - syaratnya tetap harus lestari (tidak over fishing) dan tidak merusak lingkungan. Pesan ini juga dilontarkan Susi kepada nelayan di Pangandaran dan itu berlaku untuk seluruh Indonesia, yakni dilarang menggunakan jaring "bermata" halus - apalagi pake bom dan pukat harimau - agar bibit dan telur ikan tak ikut terperangkap. (sumber)
Supaya konsumsi ikan laut masyarakat Indonesia meningkat, tak terkecuali masyarakat di kampung halamannya Pak Jokowi, maka di sinilah pemerintah memainkan perannya agar ketika produksi tinggi tidak meluber di pasar, tetapi juga tak langka pada situasi tertentu. Cuma itu? Hmmm... masih banyak lagi, sebagaimana dipaparkan Menteri Susi, yakni menekan illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) fishing melalui law enforcement di laut, introduksi Iptek kepada para nelayan tradisional, melindungi ekosistem laut, dan meningkatkan pemahaman soal pasar (market intelligence), meliputi  selera konsumen terhadap hasil perikanan, kompetitor, dan segmen pasar.
Melalui status facebook-nya tadi pagi, Presiden Jokowi pun bicara soal kelancaran distribusi, manakala dia bercerita mengenai sosok Bu Susi. (Ceritanya persis di bawah sini)