[caption id="attachment_345601" align="aligncenter" width="630" caption="FLOATING MARKET - Pengunjung memadati pasar terapung (floating market) di Lembang, Jawa Barat, Sabtu, 3 Januari 2015. (eddy mesakh)"][/caption]
PELANCONG lokal atau domestik memang tak mendatangkan devisa bagi negara, tetapi tak bisa dipandang remeh soal kemampuannya menggerakkan perekonomian negara. Wisatawan lokal yang melancong ke objek-objek wisata di daerah lain, mampu menghidupkan mulai dari industri penerbangan, angkutan laut, angkutan darat, perhotelan, industri kreatif, dan banyak lagi.
Bila terjadi krisis finansial global atau misalnya pemerintah negara-negara yang merupakan pasar primer wisatawan mancanegara (Wisman) mengeluarkan travel warning terhadap kita, tentu sektor pariwisata dan industri kreatif kita hanya bisa bertahan hidup dari pergerakan wisatawan nusantara (Wisnus).
Jadi, di samping berjuang sekuat tenaga untuk mendatangkan devisa melalui turis asing, kita pun harus berusaha serius mengurangi keluarnya devisa bersama warga negara Indonesia yang melancong ke luar negeri. Perlu juga membangun kesadaran bagi segenap warga Indonesia untuk lebih mengutamakan berwisata ke objek-objek wisata di dalam negeri daripada melancong ke luar negeri.
Untuk itu, para pemerintah daerah harus giat mempromosikan objek-objek wisatanya kepada masyarakat di berbagai daerah lainnya. Tapi promosi saja belum cukup. Para pemangku kepentingan di daerah harus memberikan layanan kepada wisatawan lokal sama baiknya ketika melayani para wisatawan asing. Selain tak pernah lelah mangampanyekan Sapta Pesona, para kepala daerah melalui Dinas Pariwisata-nya masing-masing, wajib menyediakan berbagai fasilitas pendukung agar memudahkan Wisnus ketika melakukan perjalanan wisata ke daerahnya.
Soal destinasi wisata, Indonesia adalah surganya. Seluruh 34 provinsi di negeri ini memiliki objek-objek wisata nan indah dan menawan, mulai dari wisata alam, budaya dan adat-istiadat, peninggalan bersejarah, bahkan Indonesia satu-satunya negara di seantero Bumi yang memiliki hewan purba komodo.
Kekuatan Wisnus
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa pada 2013 kunjungan Wisman ke Indonesia sebanyak 8.802.129 orang dan menyumbang devisa sebesar 10,05 miliar dolar AS (sekitar Rp 120,6 triliun dengan asumsi kurs Rp 12 ribu/dolar AS). Pada 2014 (hingga November), jumlah kunjungan Wisman tercatat 8.520.077 orang. Belum ada publikasi BPS mengenai sumbangan devisa tahun 2014. Sementara menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) periode lalu, Mari Elka Pangestu, pergerakan Wisnus pada 2013 sebanyak 248 juta perjalanan dan tahun 2014 diperkirakan mencapai 255 juta perjalanan dengan pengeluaran sebesar Rp 180 triliun. (sumber)
Kita bisa menyaksikan sendiri dahsyatnya kekuatan Wisnus dalam mendorong perekonomian nasional. Ketika berlibur ke Bandung, Jawa Barat, beberapa hari terakhir, saya menyaksikan lokasi-lokasi wisata di daerah tersebut, seperti Pasar Terapung (Floating Market) Lembang dan Sari Ater (Ciater) Subang, dipenuhi ribuan turis domestik. Hanya terlihat satu dua orang turis asing di lokasi-lokasi wisata itu.
Di Floating Market, saya sempat berbincang dengan sejumlah pelancong yang datang dari Ambon dan Manado. Saat kami duduk di sebuah shelter, saya mendengar percakapan sekelompok orang seperti berlogat Manado, apalagi beberapa di antaranya berkulit putih seperti orang Minahasa. Saya kemudian bertanya, apakah mereka dari Manado? Ternyata mereka berasal dari Ambon. Ketika sedang antre di toilet dalam objek wisata itu, lagi-lagi saya mendengar perbincangan dua perempuan berkulit putih. Saya pun bertanya dan mereka mengiyakan berasal dari Manado. Orang-orang dari Ambon dan Manado itu mengaku sengaja datang ke Lembang untuk berlibur. Saat di Ciater, saya juga berbincang dengan sejumlah Wisnus asal Surabaya, Jawa Timur. Rupanya mereka datang dalam satu rombongan menggunakan bus pariwisata.
Sebagai masukan untuk pemerintah daerah, khususnya para pihak yang terkait langsung dengan industri pariwisata, agar tidak mengecewakan Wisnus yang datang berkunjung ke daerahnya. Jangan sampai para pihak seperti hotel, restoran, hingga sopir taksi, memandang rendah apalagi berlaku buruk terhadap para Wisnus. Sebab, tanpa dia sadari, kedatangan para wisatawan dari daerah lain itu justru sangat membantu perekonomian daerahnya.
Peta dan Informasi Wisata
Kata pepatah; “malu bertanya sesat di jalan.” Suatu ketika pepatah tersebut tak lagi berlaku bagi para pelancong, khususnya backpackers, saat hendak berkunjung ke lokasi-lokasi wisata di Indonesia. Pelancong tak perlu takut tersesat bila semua informasi yang dibutuhkan sudah tertera dalam peta tematik berisi objek-objek wisata yang akan dituju lengkap dengan bagaimana mencapainya, alat transportasi apa yang bisa digunakan, berapa lama waktu tempuh, hingga berapa biaya yang dibutuhkan jika menggunakan angkutan umum (angkot), taksi, atau alat transportasi lainnya. Ini bukan hanya untuk wisatawan asing, tetapi juga sangat bermanfaat bagi Wisnus ketika berwisata ke daerah lain.
[caption id="attachment_345602" align="aligncenter" width="461" caption="CIATER - Sejumlah pengunjung menikmati air panas di salah satu lokasi dalam kawasan wisata Sari Ater, Ciater, Subang, Jawa Barat, Minggu, 4 Januari 2015. (eddy mesakh) "]
Kita sangat menyadari hal itu, bahkan sudah lazim diterapkan oleh berbagai negara untuk menarik wisatawan sekaligus memudahkan para turis ketika datang berkunjung. Contoh terdekat adalah Singapura, negeri tetangga kita nan mungil itu. Seorang pelancong tak mudah tersesat karena sangat mudah mengakses peta kota di area-area publik, misalnya di stasiun-stasiun mass rapid trasportation (MRT). Ada juga brosur-brosur yang bisa diperoleh secara gratis di stasiun-stasiun MRT.
Bagaimana dengan kita, Indonesia? Kendati belum memiliki sarana transportasi secanggih Singapura, sebenarnya kita juga telah memiliki peta-peta lokasi wisata. Kekurangannya, akses untuk mendapatkan peta-peta wisata itu tak semudah di Singapura. Peta-peta wisata yang kita miliki tak dilengkapi informasi rute-rute transportasi lokal sekaligus berapa besar biayanya. Brosur-brosur objek wisata yang kita miliki umumnya hanya berisi informasi lokasi dan fasilitas yang tersedia di sana. Bagi pelancong yang membeli paket wisata, tentu mudah karena mereka tak perlu berhadapan dengan persoalan transportasi dan selalu ada pemandu wisata yang senantiasa cuap-cuap tentang segala macam informasi. Kondisi sebaliknya akan dihadapi oleh para backpackers seperti saya yang bermodal pas-pasan.
Sebagai contoh, saya bersama keluarga baru saja berlibur ke Bandung, Jawa Barat. Tanpa peta dan rute angkutan umum di tangan, akibatnya beberapa kali kami tersesat ketika berjalan-jalan di tengah kota. Agar tidak semakin tersesat, terpaksa menyetop taksi sebagai alternatif terakhir. Tentu saja biaya jalan-jalannya jadi membengkak karena ongkos taksi relatif mahal dibanding menggunakan angkutan kota biasa.
Sebenarnya kami bisa mengakses peta jalan di Kota Bandung melalui telepon genggam, dan ini sudah saya lakukan dengan mengakses peta wisata di situs Disparbud.jabarprov.go.id. Di situs tersebut, kita cukup meng-klik posisi atau titik dari mana kita berangkat dan ke mana tujuannya, lalu klik “Cari Route”. Akan muncul pada peta jalur terdekat yang bisa ditempuh yang ditandai dengan warna merah. Pada informasi di bagian bawah peta tertera informasi jarak dan waktu tempuh.
Harus diakui bahwa peta tersebut sangat bagus. Namun lebih ringan bila diakses via komputer (PC), tetapi sangat berat (lelet) ketika diakses melalui telepon genggam (HP). Apalagi layar HP saya yang hanya seukuran bungkus rokok, ditambah leletnya koneksi internet, membuat hal mudah itu terasa sulit. Lagipula, mengakses sebuah peta berukuran cukup besar dari internet juga sangat menyedot pulsa. Ada juga banyak informasi di internet tentang rute angkot di Kota Bandung, namun kami harus lebih rajin bertanya agar tak salah jurusan dan tak turun di lokasi yang salah.
Tentu akan sangat membantu apabila para pemerintahan di daerah menyediakan peta wisata di lokasi-lokasi yang mudah diakses dan gratis. Bisa berupa brosur-brosur yang ditempatkan di pusat-pusat perbelanjaan, ditempelkan pada papan-papan semacam papan pengumuman (dikasih kaca) di taman-taman kota dan tepi jalan umum yang ramai, maupun disediakan di kamar-kamar hotel hingga di taksi. Pada peta tersebut sebaiknya dilengkapi dengan jalur-jalur angkutan umum, nomor angkot, ciri-ciri angkot, jam operasi, dan berapa biaya dari satu titik ke titik lainnya. Hal ini sangat memudahkan masyarakat dari luar kota ketika hendak berkeliling di daerah yang dikunjunginya, sekaligus membantu si pelancong mengestimasi biaya transport yang dibutuhkan.
Mudah-mudahan masukan kecil yang sebenarnya sudah diketahui dan disadari ini bisa mendorong Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di era Pemerintahan Jokowi-JK untuk mengimplementasikannya di seluruh 34 provinsi se-Indonesia Raya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H