Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jangan Berdebat dengan Seekor Anjing

22 November 2014   09:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:09 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416595684525699557

[caption id="attachment_337046" align="alignnone" width="598" caption="Ilustrasi anjing galak (sumber:wikimedia.org)"][/caption]

PERNAHKAH Anda berdebat dengan seekor anjing? Begini, misalnya Anda berdiri tepat di depan seekor anjing betina galak dan sedang memiliki anak. Si anjing betina yang selalu berusaha melindungi anak-anaknya dari berbagai ancaman, akan memandang Anda sebagai ancaman yang bisa mencelakai bayi-bayinya. Dengan cara apapun Anda bernegosiasi tak akan mungkin bisa. Si anjing paling kurang akan menggigit betismu.

Saya memiliki pengalaman pribadi berada dalam situasi itu. Ketika itu saya masih kelas II SMP.  Saya disuruh oleh tante saya untuk pergi menyampaikan pesan kepada temannya mengenai sebuah rencana kegiatan. Ketika sedang mengetuk pintu rumah itu, mendadak seekor anjing betina sudah berdiri di samping sambil menggeram dengan tatapan penuh amarah. Jarak kami tak lebih dari tiga atau empat meter. Tak ada rasa takut sama sekali, karena saya terbiasa dengan anjing. Kami bahkan pernah memelihara 18 ekor anjing sekaligus! Terkadang anjing-anjing kami juga menyerang orang yang berjalan di sekitar rumah, dan ada satu atau dua orang justru nekat menyerang balik anjing-anjing kami itu menggunakan apa saja yang bisa diraih secepatnya. Tindakan itu  membuat mereka berhasil lolos dari gigitan.

Saya menatap mata anjing itu dan berusaha melakukan negosiasi. “Tsiik..tsiik...tsikkk.. tsikkk,” kata saya kepadanya. Ternyata amarah si anjing betina bertambah.  Kini dia tak hanya menggeram, tapi nafasnya juga seperti tersengal-sengal dan mulai menggonggong sesekali dengan nada penuh amarah. Tampaknya kemarahan si betina semakin memuncak. Merasa terancam, saya berpikir untuk mengancam balik dengan menghentakkan kaki ke lantai. Tiba-tiba, dengan gerakan yang amat cepat, dia melesat mendekatiku dan entah bagaimana caranya, dia sudah menggigit betis kiriku. Kendati panik, saya  reflek menendang keras-keras lehernya dengan kaki kanan. Dia melepas gigitannya. Saat dia bersiap untuk melancarkan serangan kedua,  saya sudah berhasil meraih sebuah batu dari dalam pot bunga dan melemparinya. Batu itu persis mengenai kepala si betina. Dia langsung menjauh dan bergerak ke bagian belakang rumah. Belakangan baru saya tahu, anjing itu baru dua hari melahirkan. Pantesan galak banget.

Itu kisah nyata. Seandainya pada masa itu sudah ada telepon seluler, mungkin pengalaman buruk tersebut tak pernah terjadi.

Malcolm Gladwell (2007) punya penjelasan mengenai reaksi si betina. Menurutnya, semua mamalia, termasuk anjing,  memiliki otak bagian tengah yang biasanya mengambil alih otak bagian depan saat merasa terancam (hal 270). Sikap agresif si anjing betina itu, bukan karena dia memang pengen menggigit saya, melainkan karena dia sedang merasa terancam. Dia takut saya akan mencelakai bayi-bayinya yang baru lahir. Sebaliknya saya yang juga mampu bergerak cepat dan entah bagaimana bisa mengambil batu dari pot bunga sekaligus melempar tepat mengenai kepalanya.

Namun bisa juga terjadi situasi lain yang belakangan baru Anda sadari. Misalnya Anda tiba-tiba bisa berlari sekencang Usain Bolt. Atau malah lari Anda lebih kencang dibanding manusia tercepat sejagat asal Jamaika itu. Karena Anda sangat ketakutan, merasa terancam, akhirnya tembok setinggi dua meter bisa Anda lewati dengan sekali lompatan.

Gladwell menjelaskan bahwa manusia juga bisa bertindak agresif ketika berada dalam posisi terancam, sedang sangat marah atau ketika stress-nya berada pada titik ekstrem. Mengutip Dave Grossman, seorang letnan kolonel angkatan darat dan penulis buku On Killing, bahwa state of arousal yang optimal – rentang  ketika stress berfungsi meningkatkan kemampuan -  adalah ketika laju denyut jantung manusia berada antara 115 dan 145 kali per menit.

Ketika denyut nadi lebih dari 145 per menit, kata Grossman, “hal-hal buruk mulai terjadi. Kemampuan motorik yang kompleks mulai mogok.” Hal yang biasanya mudah kita lakukan, menjadi sangat sulit. Nah, ketika denyut jantung mencapai 175 per menit, mulai terjadi kerusakan kognitif. Otak bagian depan mulai mogok dan giliran otak bagian tengah mengambil alih peran. Pikiran manusia menjadi sangat fokus hanya pada satu titik ketika sedang terancam atau mengalami stress ekstrem itu tadi. Semua fungsi tubuh yang lain melemah; kehilangan pendengaran, penglihatan menjadi sangat fokus seperti sedang memandang sebuah terowongan sempit, dan merasa waktu berjalan sangat lambat. Inilah reaksi tubuh (otak) kita untuk membatasi jangkauan dan mengurangi informasi yang harus dicerna agar kewaspadaan bisa ditingkatkan. Saat itulah manusia – yang juga memiliki otak bagian tengah - menjadi sama galaknya seperti anjing betina pada cerita di atas. Tidak ada gunanya Anda menasihati apalagi berdebat dengan seseorang ketika dia sedang naik pitam, sangat stress, atau sangat ketakutan. Mungkin dia bisa mencelakai Anda.

***

Kondisi stress ternyata juga bisa bermanfaat pada situasi tertentu. Kisah berikut mengenai situasi genting ketika saya berburu dengan waktu penyelesaian skripsi tahun 2000 silam. Saya sudah menyelesaikan semua materi kuliah dan penelitian untuk penulisan skripsi pun sudah selesai di tahun 1999.

Usai penelitian, semua data teronggok begitu saja di kamar, karena saya menemukan keasyikan lain sebagai reporter sebuah koran lokal di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ketika itu saya memang kuliah sambil ‘ikut-ikutan’ menjadi wartawan. Celakanya, saya benar-benar keasyikan dengan dunia jurnalistik yang sangat menyenangkan itu. Apalagi, di masa itu Timor Timur - kami biasa meringkasnya dengan sebutan Timtim - baru saja lepas dari Indonesia karena mayoritas warga provinsi ke-27 Republik Indonesia itu memilih opsi kedua: merdeka!

Ya, pada 4 September 1999, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa Kofi Annan mengumumkan hasil referendum (jajak pendapat) dari New York, Amerika Serikat, bahwa 78,5 persen (344.580) penduduk Timtim memilih merdeka, dan hanya 21,5 persen (94.388) penduduk yang menginginkan integrasi dengan tawaran status otonomi lebih luas dari Pemerintah Indonesia.

Setelah referendum, timbul kekacauan. Terjadi saling bunuh sesama warga, bahkan sesama keluarga karena perbedaan pilihan politik. Maka terjadilah eksodus besar-besaran dari kelompok pemilih opsi pertama: pro integrasi. Kondisi Timor Barat pun terimbas oleh situasi genting di Timtim karena masuknya ratusan ribu pengungsi secara bergelombang.

Suasana sangat kacau dan lumayan mencekam, lantaran (mungkin) kejiwaan para milisi pro integrasi  masih terbawa situasi di Timor Loro Sae. Kadang-kadang para milisi itu lepas kontrol dan menembakkan senjatanya ke udara, membuat warga di Timor Barat agak ketakutan. Meski sama-sama hidup di daratan Timor, namun  ada perbedaan karakter dan budaya antara masyarakat Timtim dan Timor Barat. Semakin ke barat, budaya dan adat istiadatnya semakin berbeda. Bahkan beberapa kali terjadi bentrok antara penduduk lokal di wilayah Kabupaten Kupang dengan para pengungsi akibat perebutan sumber daya dan berbagai musabab lainnya. Pernah saya meliput sebuah bentrokan antara pengungsi dan warga lokal di  wilayah Tuapukan, Kabupaten Kupang.  Saling lempar batu, panah, ada juga tembakan senjata rakitan, dan sejumlah rumah dibakar.  Saat bentrokan meletus, aparat keamananpun tak kuasa mengendalikan situasi secara cepat lantaran dua belah pihak sama-sama sedang emosi tingkat tinggi.

Bagi seorang reporter, situasi tersebut sangat menantang dan justru ada banyak isu yang bisa diliput untuk diceritakan kepada pembaca. Hampir setahun lamanya saya keasyikan keluar masuk barak pengungsian untuk kepentingan liputan. Berbincang dengan anak-anak pengungsi, bercerita dengan ibu-ibu, dengan para milisi, hingga warga lokal mengenai bagaimana relasi mereka dengan saudara-saudara dari “negeri matahari terbit”. Benar-benar keasyikan dengan dunia jurnalistik,  penyelesaian skripsi pun mulai terlupakan. Desakan dari orangtua, dari kakak sepupu, dari beberapa dosen yang baik hati dan tidak sombong, serta  beberapa teman kuliah agar saya segera menyelesaikan skripsi. Kata mereka, sayang jika sudah capek-capek kuliah tapi ketika sudah tiba di akhir, malah tidak dituntaskan.

Waktu begitu mepet, sebagian data-data hasil penelitian sudah raib entah ke mana. Waktu itu saya hanya punya waktu sekitar dua minggu untuk menyelesaikan skripsi. Atas bantuan beberapa teman yang meneliti objek yang sama, saya berusaha mengumpulkan kembali data-data yang hilang, dan proses ini menghabiskan waktu seminggu. Berarti waktu saya tinggal seminggu untuk menulis skripsi tersebut.

Saya pun mengurung diri di kamar selama beberapa hari, dan luar biasa, skripsi itu selesai ditulis kurang dari seminggu dan bisa diserahkan kepada dosen pembimbing untuk dikoreksi. Dua pembimbing saya tidak menemukan banyak masalah dalam skripsi itu sehingga beberapa hari kemudian saya sudah bisa maju ujian. Hasilnya saya dinyatakan lulus ujian skripsi dengan nilai A.

Sebenarnya saya sendiri merasa heran bisa menyelesaikan penulisan skripsi dalam waktu cukup singkat. Mengapa bisa menulis secepat itu? Mengapa saya yang hanya mendapat nilai C untuk mata kuliah statistika bisa menyelesaikan analisis dan hitung-hitungannya lebih cepat dari kemampuan saya sendiri?

Membaca ulang tulisan Gladwell, saya kemudian menyadari situasi ketika proses menulis skripsi itu. Saya benar-benar fokus. Semua perhatian dicurahkan untuk menulis, dan nyaris tidak peduli pada hal lain. Itu lantaran adanya ancaman tidak bisa wisuda bulan itu juga (September 2000). Jika tidak selesai, maka saya harus menunggu sampai April tahun berikutnya baru bisa diwisuda. Dan apabila tak mampu mengejar target tersebut, maka kemungkinan besar fokus saya akan buyar dan penyelesaian skripsi itu dipastikan kembali mandeg.

Tetapi ada satu faktor lagi yang berperan cukup besar dalam proses itu, yakni kemampuan saya untuk menyusun kata dan kalimat secara terstruktur menjadi lebih baik karena terbiasa menulis berita setiap hari. Menurut Gladwell, itu merupakan hasil dari proses latihan terus-menerus. Namun, ketika menulis, kemungkinan besar saya melakukannya tidak dengan kesadaran penuh. Sebagian besar proses itu ‘dikerjakan’ oleh pikiran bawah sadar. Dan Gladwell menjelaskan lebih jauh bahwa otak manusia yang telah terlatih akan terbiasa untuk “berpikir tanpa berpikir”.

Bagaimana sistem itu bekerja? Menurut Gladwell, otak manusia adalah sebuah komputer internal  berkemampuan dahsyat. Kita bisa “berpikir tanpa berpikir”, adalah situasi yang berbeda dengan konsep bawah sadar ala Sigmund Freud, yakni sebuah tempat gelap dan suram yang penuh dengan hasrat dan memori serta fantasi yang terlalu rumit untuk dipikirkan secara sadar. Yang dimaksud Gladwell adalah bawah sadar adaptif (adaptive unconscious), di mana komputer raksasa di dalam otak kita secara cepat dan diam-diam mengolah begitu banyak data yang diperlukan. Penjelasan yang lebih mudah dipahami datang dari psikolog Timothy D. Wilson, dengan menggunakan analogi  pesawat jet modern yang bisa terbang dengan pilot otomatis hanya dengan sedikit atau tidak sama sekali input dari manusia.

Ini hanya sebuah cerita tentang pengalaman di waktu lalu dan tampak cocok dengan ulasan dalam sebuah buku lama yang barusan saya baca ulang. :D  Ada pesan yang hendak disampaikan, yakni ketika berada dalam situasi terdesak, potensi yang ada di alam bawah sadar kita akan bekerja  dan kita bisa membuat keputusan dalam sekejap. Kemampuan ini tidak muncul begitu saja, melainkan 'dia' sudah tersimpan pada superkomputer dalam otak kita sebagai sebuah pengalaman yang kemudian bermanfaat saat sangat dibutuhkan. (*)

BACAAN: Gladwell, Malcolm (2007); Blink – Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir, Ikrar Mandiriabadai, Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun