[caption id="attachment_377854" align="aligncenter" width="624" caption="Foto udara proyek pembangunan Jalan Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa, Bali di atas laut dangkal, Jumat (10/5/2013). Proyek Jalan tol sepanjang 12 kilometer dengan nilai investasi sebesar Rp 2,48 triliun tersebut guna mendukung penyelenggaran Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik yang akan digelar di Nusa Dua, Oktober 2013. (KOMPAS/PRIYOMBODO)"][/caption] SETELAHdihitung-hitung oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ongkos untuk mewujudkan mimpi Presiden Joko Widodo membangun tol laut sebesar Rp 699,99 triliun! Kita bulatkan saja menjadi Rp 700 triliun. Jika ditambah dengan anggaran rutin perhubungan laut, maka total kebutuhan dana untuk proyek tol laut mencapai Rp 900 triliun! (sumber) Nilai ini hampir setengah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita yang rata-rata berkisar Rp 2.000 triliun. Konsep tol laut adalah penyediaan sistem distribusi logistik menggunakan kapal besar yang menghubungkan pelabuhan di jalur utama Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta, Surabaya, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Papua. Mengapa mahal? Sebab pemerintah berencana membangun atau memperluas 24 pelabuhan dan melengkapinya dengan berbagai fasilitas pendukung agar proses bongkar-muat lebih efektif. Setiap unit proyek tersebut diperkirakan menelan dana antara Rp 1 triliun sampai Rp 3 triliun. Juga akan didukung dengan puluhan kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus bernilai belasan hingga puluhan triliun. Dari mana Republik ini memperoleh anggaran sebesar itu demi membeli mimpi sang presiden? Apakah presiden kita sedang bermimpi di siang bolong?
Sudah pasti megaproyek tersebut tidak mungkin menggunakan anggaran sepenuhnya dari APBN. Kalau dibiayai dari APBN maka para PNS, TNI, Polri tidak bisa gajian, pembangunan infrastruktur lainnya dihentikan, negara tidak membayar cicilan pokok utang luar negeri maupun dalam negeri, dan sebagainya. Mungkin sepertiga penduduk negeri ini sudah mati sebelum proyek itu selesai. Artinya hanya sebagian kecil dari APBN yang bisa dimanfaatkan untuk membiayai tol laut.
Mengingat pemerintahan baru masih melanjutkan APBN 2014 peninggalan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), maka kita perlu melihat angka-angka tahun berjalan untuk melihat adakah dana yang bisa disisihkan untuk membiayai proyek raksasa tersebut. APBN 2014 dari situs Kementerian Keuangan (lihat gambar di atas) memaparkan rencana pendapatan negara sebesar Rp 1.667,1 triliun, sementara belanja negara mencapai Rp 1.842,5 triliun. Anggaran tersebut dibagi untuk belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.249,9 triliun (termasuk berbagai subsidi sebesar Rp 333,7 triliun) dan transfer ke daerah Rp 592,6 triliun. Defisit anggaran sebesar Rp 257,6 triliun. Artinya, jika patuh pada UU APBN 2014, tak ada lagi yang bisa dicomot untuk membiayai mimpi besar Jokowi. Namun Presiden Jokowi memilih untuk ‘tidak taat’ pada UU APBN 2014. (Benarkah? Akan kita bahas pada artikel terpisah). Dengan gagah berani Presiden Jokowi memangkas subsidi BBM sehingga memperoleh penghematan sekitar Rp 100 triliun (total anggaran subsidi BBM sesuai APBN 2014 sebesar Rp 210,7 triliun). Tetapi, menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, hasil penghematan tersebut akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti irigasi, pencetakan sawah baru, menambah besaran anggaran ke desa-desa, membiayai kartu-kartu sakti, dan sebagainya. Itu semua tidak ada hubungannya dengan program tol laut atau proyek ini tidak menggunakan APBN 2014. Lantas, apakah anggaran tol laut diperoleh dari APBN 2015? Mari kita simak ringkasannya saja. Rencana pendapatan negara dalam UU APBN 2015 disepakati oleh pemerintah dan DPR periode lalu sebesar Rp 1.793,6 triliun, sementara belanja negara mencapai Rp 2.039,5 triliun. Terdapat defisit sebesar Rp 245,9 triliun. Defisit ini bisa terpangkas menjadi hanya Rp 105,9 triliun, karena menurut Menkeu, tahun depan pemerintah bisa memperoleh setidaknya Rp 140 triliun dari pengurangan subsidi BBM. Untuk diketahui, total anggaran subsidi pada APBN 2015 sebesar Rp 344,7 triliun terbagi atas subsidi BBM, LPG, dll sebesar Rp 276,01 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 68,68 triliun. Gambaran angka-angka di atas menjelaskan kepada kita bahwa meskipun sudah memangkas subsidi BBM, pemerintah hanya memperoleh sedikit dana untuk membiayai tol laut. Lalu duitnya dari mana? [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="APBN 2014 (sumber: kemenkeu.go.id)"]
APBN 2014 (sumber: kemenkeu.go.id)
[/caption]
Otak pengusaha Jangan lupa bahwa Jokowi, Jusuf Kalla, dan Susi Pudjiastuti adalah para pengusaha yang sukses di bidangnya masing-masing. Itu artinya ketiga sosok tersebut terbukti memiliki kemampuan mengelola bisnisnya dan mereka tahu bagaimana memperoleh dana serta mampu mengelolanya secara efektif. Mengapa nama Susi ikutan di sini? Sebab banyak kebocoran kita di laut dan dari laut pula kita bisa memperoleh banyak pemasukan dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Susi berperan menutup kebocoran sekaligus menambah pemasukan negara dari laut dan perempuan hebat ini sudah mulai membuktikannya. Langkah yang sudah dilakukan Jokowi dan timnya adalah mengurangi subsidi BBM yang selama ini membebani anggaran negara (mengurangi defisit anggaran sekaligus mengurangi beban neraca perdagangan), menghapus rapat-rapat di hotel, hingga moratorium penerimaan PNS. Langkah-langkah penghematan ini jika diakumulasi jumlahnya cukup besar sehingga minimal bisa menutup defisit anggaran. Ini seperti sedang menyehatkan keuangan sebuah perusahaan. Ketika perusahaannya sudah sehat, maka langkah selanjutnya adalah melakukan kegiatan produktif, bahkan mulai merencanakan ekspansi. Jangan heran pula ketika menghadiri APEC Economic Leaders Meeting di Beijing, ASEAN Summit di Myanmar, dan G-20 Leaders Summit di Brisbane, Presiden Jokowi lebih tampak sebagai seorang sales dibanding seorang Kepala Negara. Jokowi ingin secepatnya mengumumkan langsung sekaligus ‘menjual’ visi dan program maritimnya kepada para pemimpin dunia dan investor asing. Jika ‘jualannya’ laku, nilai Rp 700 triliun menjadi tak seberapa. Apalagi Jokowi tak sekadar jual kecap lalu selesai, tetapi langsung menggerakkan para menterinya untuk menindaklanjutinya. Kita harus optimistis bahwa para investor akan berbondong-bondong datang menanamkan investasi di sektor kemaritiman yang sejatinya sangat menjanjikan. Adapun upaya lainnya adalah dengan menyehatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Apabila ada BUMN terus merugi, tidak ada jalan lain, pasti ditutup oleh Jokowi-JK. Mendongkrak pendapatan Sembari menghemat anggaran dan mengundang investor asing, Jokowi dan timnya juga melakukan berbagai pembenahan antara lain menutup bagian-bagian yang selalu bocor dan berupaya meningkatkan pendapatan negara. Langkah pertama, pemerintah akan menggenjot penerimaan negara dari pajak maupun bukan pajak (PNBP). Rencana penerimaan pajak dalam APBN 2015 dipatok sebesar Rp 1.380 triliun, akan ditingkatkan dengan cara menggali semua potensi penerimaan yang ada. Sementara PNBP di APBN 2015 yang hanya sebesar Rp 410,3 triliun, juga bakal digenjot, antara lain dari sektor perikanan dan kelautan serta pertambangan (non Migas). Kita ketahui bersama, praktik illegal mining dan pembalakan hutan sangat marak. Mereka mengeruk kekayaan dari perut bumi kita dan mencuri kayu kita tanpa memberi nilai tambah bagi negara. Konon kabarnya ada juga mafia dari luar negeri yang membiayai pertambangan ilegal mineral dan batubara di Indonesia. Semua ini akan diperketat oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Kehutanan. Khusus penerimaan dari pajak, Pemerintahan Jokowi menargetkan tambahan pendapatan sebesar Rp 600 triliun. Menurut Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany, saat ini potensi pajak baru tergali 30-40 persen. Berarti sekitar 70-80 persen wajib pajak tidak membayar kewajibannya kepada negara. Kata Fuad, mestinya ada 61 juta warga negara membayar pajak, faktanya baru 25 juta yang membayar (36 jutanya ke mana?). Maka siap-siap saja Anda (wajib pajak) yang termasuk dalam 36 juta itu didatangi petugas pajak. (sumber) Menkeu sendiri menegaskan, pihaknya akan berlaku tegas terhadap para wajib pajak badan (perusahaan) yang jumlahnya mencapai 5 juta tetapi yang rutin memenuhi kewajiban hanya 500 ribu. Maka 4,5 juta perusahaan yang selama ini mengemplang pajak bakal berhadapan dengan penagih pajak yang lebih galak. Kemungkinan besar Menkeu juga segera mengganti Dirjen Pajak dengan sosok yang lebih galak agar mampu mengoptimalkan potensi penerimaan negara dari sektor ini. (sumber) Dari sektor kelautan dan perikanan, sudah mulai terlihat gebrakan yang dilakukan oleh Menteri Susi dalam memberantas illegal fishing. Perempuan yang dipandang sebelah mata oleh pakar kelautan ini berjanji akan meningkatkan PNBP dari sektor kelautan dan perikanan sebesar Rp 25 triliun per tahun. Sumbernya antara lain dari pungutan terhadap kapal-kapal berbenda asing di atas 30 gross ton (GT) yang selama ini beroperasi di perairan Indonesia. (sumber) Nilai tersebut belum seberapa dari seluruh potensi dari sektor kelautan kita. Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo menyebut, dari laut kita bisa memperoleh Rp 1.710 triliun per tahun, meliputi perikanan, pariwisata bahari, energi terbarukan, mineral di dasar laut, minyak dan gas bumi, pelayaran, industri maritim, dan jasa kelautan. (sumber) Langkah kedua, pemberantasan mafia minyak dan gas (Migas). Pada 31 Oktober 2014 lalu, Presiden Jokowi sudah menandatangani perjanjian kerja sama pembelian minyak dengan Wakil Presiden Angola Manuel Domingos Fincente. Dengan pembelian minyak secara langsung (antarpemerintah/G2G) dari Angola, diperkirakan pemerintah bisa menghemat anggaran sebesar Rp 11 triliun per tahun! (revised - sebelumnya ditulis Rp 30 triliun per hari) Langkah ini sekaligus memangkas peran Petral (Pertamina Energy Trading Limited), anak perusahaan Pertamina yang disebut-sebut sebagai “anak nakal” dan konon kabarnya menjadi sarang para mafia Migas. Demikian pula penunjukkan eks komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amien Sunaryadi sebagai Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Ini merupakan upaya pembersihan SKK Migas dari dalam. Pembenahan di sektor Migas juga diperkuat dengan hadirnya Faisal Basri yang ditunjuk sebagai Ketua Tim Reformasi Tata kelola Migas agarsemua transaksi sektor Migas transparan. Dari langkah tersebut, tampaknya cepat atau lambat, pemerintahan periode ini akan menutup Petral. Jika tidak ditutup, minimal pusat operasi perusahaan ini akan dipindahkan lokasinya ke Pulau Batam agar lebih mudah dikontrol dan diaudit. Sebab, selama ini Petral yang konon kabarnya telah digenggam para mafia Migas, lebih suka membeli minyak dengan harga lebih mahal dari para broker serta seringkali membeli tanpa tender. Praktik busuk ini sudah menjadi rahasia umum, bahkan pernah dilontarkan secara blak-blakan oleh Said Didu, mantan Sekretaris Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Celakanya, menurut Said, mafia Migas justru kongkalikong dengan pihak-pihak di pusat kekuasaan. Melalui sejumlah upaya tersebutlah Jokowi akan memperoleh dana Rp 700 triliun (bahkan jauh lebih besar) untuk membiayai mimpi besarnya bagi Indonesia. Tapi sebelumnya, Jokowi perlu merealisasikan pembelian BBM secara langsung dari Angola agar kita semakin yakin pada gebrakan-gebrakannya!(*)Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Money Selengkapnya