TIAP bulan Ramadan, biasanya masyarakat menggelar acara buka puasa bersama alias “bukber”. Acara bukber ini biasa dilakukan oleh instansi pemerintah, perusahaan, hingga ormas, dan paguyuban bersama kaum dhuafa maupun dengan kelompok masyarakat lainnya. Acara bukber sudah menjadi kegiatan ‘biasa’ alias sudah umum.
Tahun 2007, ketika saya masih menjadi bagian dari Harian Tribun Batam, pimpinan kami, Febby Mahendra Putra, melontarkan ide agar kami melakukan sesuatu yang berbeda. Mas Febby, begitu beliau akrab disapa, paling suka berpikir tidak umum alias out of the box. Idenya adalah menggelar acara sahur bareng.
Menurut Mas Febby, "Lebih baik sedikit berbeda daripada (cuma) sedikit lebih baik." Entah sudah ada yang pernah melakukan sebelumnya, tapi menurut saya, ide itu tidak biasa. Tak pake lama, ide itu langsung dieksekusi. Tim sahur bareng pun dikasih nama khusus; “Sahur Adventure”.
Rupanya banyak perusahaan tertarik untuk bergabung, mensponsori kegiatan unik ini. Banyak sumbangan mengalir dari para sponsor, baik dana maupun barang, untuk diberikan kepada masyarakat, terutama kaum dhuafa, di lokasi yang telah ditentukan.
Semua persiapan dilakukan layaknya kegiatan bukber, tapi waktunya saja yang beda. Kami harus begadang agar tak terlambat meluncur ke TKP. Kalau tak salah ingat, sahur bareng pertama waktu itu digelar di sebuah masjid di wilayah Batu Aji, Batam. Selanjutnya acara itu terus bergulir, antara lain sahur bareng petugas kebersihan se-Kota Batam di alun-alun Engku Putri Kantor Walikota Batam, sahur bareng masyarakat sekitar sebuah masjid kecil di Pulau Galang, di Tanjungsengkuang, dan sebagainya. Sejak itu, sahur adventure menjadi tradisi di koran kami tiap Ramadan.
Acara sahur bareng terasa lebih hikmat. Tak ada suasana formal. Kami merasa jauh lebih akrab dengan warga yang hadir.
Suatu saat, ketika sahur adventure di sebuah surau di Pulau Galang, kami para anggota tim harus duduk di depan bersama para ustadz dan tua-tua setempat. Saya juga harus duduk di depan. Bukan masalah, tapi saya sendiri bukan Muslim, sementara ada acara salat berjamaah. Lalu apa yang harus saya lakukan?
Saya berbisik kepada seorang tokoh masyarakat yang duduk persis di sebelah kanan saya. Beliau berasal dari Sulawesi Selatan. “Pak, saya permisi ke luar sebentar. Biar saya ikuti acara ini dari barisan belakang jamaah saja.”
“Oh.. tak apalah. Duduk saja di sini. Tak apa-apa.”
Akhirnya, meski merasa kikuk, saya duduk di barisan depan. Agar tak terlalu mengganggu kekusyukan jamaah, saya bergeser agak ke belakang dari barisan orang-orang di depan. Saya duduk di sana, mengikuti hingga acara salat berjamaahnya usai.
Setelah usai, saya keluar dan bergabung dengan teman-teman untuk membagi-bagikan makanan kepada seluruh peserta. Seorang kawan saya nyeletuk; “Para ustadz memang seharusnya duduk di depan, hahahaha….” (*)