Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bawa Gerdema Gantikan Gerbades di NTT

21 November 2014   17:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:13 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416540205200164945

[caption id="attachment_336849" align="alignnone" width="656" caption="Skema Konsep Gerdema (Sumber: Hal 148 buku Revolusi dari Desa)"][/caption]

INI dia! Gerakan desa membangun atau Gerdema, sebuah konsep membangun negeri yang diperkenalkan DR Yansen TP, MSi, melalui buku bertajuk; “Revolusi dari Desa – Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat.” Konsep Ini semestinya sudah dilakukan Republik Indonesia sejak lepas dari penjajahan, yakni menggerakkan pembangunan dari desa. Patut disesali karena selama hampir 70 tahun sejak Republik ini resmi berdiri, pemerintahannya tidak pernah serius memandang desa sebagai soko guru perekonomian nasional. Padahal, jika desa-desa maju, akan menjadi penopang yang kokoh bagi pertumbuhan kota, bukan malah membebani. Ujungnya adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pakar otonomi daerah, Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, menyatakan bahwa pemerintahan modern, pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama. (Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan, 2007, hal 11).

Atas landasan pemikiran seperti itulah maka DR Yansen yang juga menjabat Bupati Malinau, Kalimantan Utara, berupaya melakukan inovasi pembangunan hingga lahirlah konsep Gerdema. Paradigma pembangunan ini lahir dari sebuah perenungan panjang dan mendalam untuk menjawab pertanyaan batin sang penulis: “Mengapa elite-elite lokal dan birokrasi pemerintahan daerah yang selama ini telah bekerja keras belum membuahkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat desa di Kabupaten Malinau?”

Pengalamannya sebagai birokrat selama 26 tahun mengajarkan kepada DR Yansen bahwa pembangunan tak akan memberikan efek apa-apa kepada masyarakat bila dilakukan dengan cara biasa-biasa saja. Sebagai birokrat sekaligus seorang intelektual, DR Yansen memahami betul bahwa seorang pemimpin harus melakukan langkah-langkah luar biasa atau revolusioner disertai kemauan keras, bersungguh-sungguh, dan tentu saja transparan. Bahkan itupun belum cukup jika pemimpin tidak percaya kepada rakyatnya. Maka dalam konsep pembangunan ala Gerdema ini, rakyat diberi kepercayaan lebih besar sekaligus dibebani tanggungjawab sebagai subjek pembangunan itu sendiri.

“Gerakan” dan “Percaya” menjadi kata dua kunci dari paradigma yang ditawarkan DR Yansen melalui buku ini, bahkan sudah dan sedang dipraktikkan olehnya di Kabupaten Malinau.

Mengawinkan dua revolusi

Kata “revolusi” sedang menjadi semacam trending topic di Indonesia. Ini gara-gara Presiden Joko “Jokowi” Widodo mendengungkan semangat “Revolusi Mental” yang bertujuan merombak secara cepat mental bangsa ini (tak terkecuali di kalangan birokrat), untuk melakukan pembaharuan karakter, baik oleh rakyat sebagai yang dilayani maupun birokrat sebagai pelayan rakyat. Sementara DR Yansen  juga  sedang menabuh “Revolusi dari Desa” – disebut juga Gerdema - yakni sebuah inovasi baru dalam  pembangunan berbasis masyarakat desa. Jokowi bilang jales veva jaya mahe – di laut kita jaya, DR Yansen bilang, dari desa kita sejahterakan segenap negeri.

Kampanye Revolusi dari Desa ini bisa juga dipandang sebagai sebuah upaya deregulasi terhadap birokrasi. Bukan deregulasi dalam artian merombak peraturan ini dan itu yang dinilai menghambat pembangunan, melainkan dalam praktik pembangunan, yakni menghapus mental suka dilayani yang puluhan tahun melekat pada para birokrat kita, dan mengembalikan kitah mereka sebagai pelayan rakyat. Sebab, dengan menerapkan konsep ini akan mendorong birokrat bekerja lebih keras dan serius bersama rakyat serta saling percaya.

Harus melalui revolusi, bukan reformasi. Karena sudah terbukti, reformasi telah 16 tahun berjalan tetapi faktanya tiada perubahan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Ada lima poin revolusi ala Gerdema, yakni (1) dalam penerapan konsep pembangunan, integrasi antara partisipatif dan teknokratik, (2) penyerahan urusan dari perangkat teknis daerah kepada desa, (3) konsistensi antara formulasi, implementasi, dan evaluasi, (4) pengelolaan dana pembangunan, dan (5) pelaksanaan otonomi secara penuh di desa sebagai komitmen membangun kedaulatan rakyat.

Dua revolusi dari Jokowi dan DR Yansen, bila dikawinkan maka akan melahirkan kesadaran dalam diri segenap masyarakat Indonesia, mulai dari birokrat dan aparat birokrasi hingga rakyat jelata,  dalam bersikap maupun ketika terlibat dalam pembangunan. Pemerintah percaya pada rakyatnya dan sebaliknya, rakyat semakin menghargai para pemimpinnya.

Gerdema vs Gerbades

Pernah ada sistem pembangunan dengan nama mirip Gerdema diterapkan oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 1988-1993, dr Hendrikus Fernandez (alm - tutup usia pada 6 September 2014). Ketika itu dr Fernandez memakai istilah Gerbades (Gerakan Membangun Desa). Satu lagi program sang gubernur yang dijalankan berdampingan dengan program Gerbades, yakni Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar). Kedua program ini sangat populer di masa itu, sehingga dr Fernandez pun dikenang sebagai “Bapak Gerbades” dan “Bapak Gempar”.

Sejak dahulu hingga kini Provinsi NTT akrab dengan cap daerah miskin dan tertinggal. Padahal, sesungguhnya ada banyak potensi lokal yang bisa digarap untuk memakmurkan rakyatnya. Gubernur Fernandez sebagai putra asli NTT tahu persis potensi yang dimiliki daerah itu. Sebut saja komoditas seperti kemiri, kopi, kelapa, vanili, dan banyak lagi. Sayangnya, kala itu, harga komoditas-komoditas tersebut sangat murah di pasaran akibat ulah tengkulak dengan sistem ijon, sehingga hasil panen tidak memiliki daya ungkit (leverage) terhadap pereknomian masyarakat. Untuk memutus praktik ijon, melalui program Gerbades, gubernur membongkar isolasi fisik ke berbagai pelosok desa dengan pembangunan jalan-jalan baru agar petani bisa menjual langsung hasil kebunnya ke kota.  Dan untuk mendukung para petani, gubernur menerjunkan para sarjana ke desa-desa untuk mendampingi para petani sekaligus sebagai tenaga penyuluh pertanian lapangan. Sedangkan program Gempar, gubernur mewajibkan para petani menanam sejuta anakan jambu mete yang kala itu bernilai ekonomi tinggi.

Inti dari kedua program Gubernur Fernandez ketika itu adalah mendorong pembangunan dari desa ke kota, bukan  sebaliknya. Sungguh disayangkan, ketika terjadi pergantian estafet kepemimpinan daerah, program-program pejabat sebelumnya tidak dilanjutkan atau setidaknya tidak menjadi prioritas pemerintahan berikutnya.

Adakah kemiripan antara program Gerbades dengan Gerdema? Kedua program tersebut terdengar mirip, apalagi sama-sama berfokus pada desa dan memakai kata kunci “gerakan”. Pun sama-sama membalik paradigma pembangunan, yakni membangun dari desa ke kota. Namun jika diperhatikan lebih jauh, sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar antara model Gerbades dan Gerdema. Pembangunan ala Gerbades – yang berlangsung di era Orde Baru – masih bersifat top down atau gerakan dari atas ke bawah, sementara program Gerdema, menggunakan pendekatan timbal balik (reciprocal development approach).

Hal terpenting adalah Gerdema memberikan kepercayaan besar kepada masyarakat, dalam hal ini pemerintah desa, untuk terlibat langsung atau aktif dalam gerakan membangun. Buktinya, Pemkab Malianu melimpahkan 33 urusan pemerintahan kepada desa dan menyerahkan  31 kewenangan kepada kecamatan. Esensi dasarnya adalah gerakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sementara pemerintah lebih berfungsi sebagai  pembimbing dan pengarah dan tentu saja siap membiayai usulan yang datang dari desa.

Gerdema bukan sekadar sebuah program pembangunan milik Bupati Malinau saja, tetapi merupakan sebuah model pembangunan inovatif, sehingga bisa diterapkan di mana saja di seluruh Indonesia. Sehingga para kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/walikota, diharapkan mencontoh model ini untuk diterapkan di wilayahnya masing-masing. Tak perlu malu dianggap menyontek program pemimpin daerah lain, karena sang penabuh konsep Gerdema ini bukan saja seorang birokrat tetapi juga seorang ilmuwan penyandang gelar Doktor (S3) yang diraih dari hasil kajian mendalam terhadap model tersebut.

Khusus Provinsi NTT yang pernah memiliki program Gerbades, bahkan hingga kini sebagian warganya masih merindukan program tersebut, saatnya mengadopsi model Gerdema yang berhasil dikembangkan DR Yansen di Malinau. (*)

Judul: Revolusi dari Desa – Saatnya dalam PembangunanPercaya Sepenuhnya kepada Rakyat

Penulis: DR Yansen TP M.Si.

Penerbit: Elex Media Komputindo (Kelompok Gramedia)

Cetakan/Tahun: I/2014

Tebal: xxviii/180

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun