[caption id="attachment_366038" align="aligncenter" width="512" caption="Seorang anak jalanan tertidur di sebuah jembatan penyebrangan di Jakarta. (Foto: eddy mesakh)"][/caption]
DI tengah ramainya pemberitaan mengenai penyiksaan dan penelantaran sepasang suami istri terhadap lima anaknya di Cibubur, Jakarta, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan data cukup mencengangkan bahwa ada 4,1 juta anak telantar di Indonesia. (Sumber)
Rinciannya, sebut Kofifah, masing-masing 5.900anak ditelantarkan orang tua, 3.600 bermasalah hukum, 1,2 juta balita terlantar, dan 34 ribu anak jalanan. Jumlah tersebut hampir setara dengan total jumlah penduduk negeri tetangga, Singapura, yang hanya sebesar 4.353.893 jiwa. Jumlah anak telantar tersebut bahkan lebih banyak dari total penduduk Selandia Baru sebesar 3.998.817 jiwa. (Wikipedia)
Dengan jumlah penduduknya yang hanya segelintir, Singapura dan Selandia Baru mampu menjadi negara maju dengan tingkat perekonomian raksasa. Terutama Singapura yang miskin kekayaan alam dengan luas wilayah tak melebihi luasan tetangga terdekatnya di Indonesia; Kota Batam, Kepulauan Riau, mampu menjadi negeri yang makmur.
Penulis teringat sebuah artikel yang mengisahkan pertemuan Presiden pertama Ir Soekarno dengan pendiri Singapura Lee Kuan Yew pada Agustus 1960 di Istana Merdeka, Jakarta. Presiden kita bertanya kepada Lee, “berapa jumlah pendudukmu?” Lee menjawab, “Satu setengah juta.” Soekarno membalas, “Penduduk saya 100 juta.” Soekarno kembali bertanya, “Berapa mobil kamu punya?” Lee menjawab, “Sekitar sepuluh ribu.” Kali ini jawaban Soekarno tidak membandingkan Indonesia dengan Singapura tetapi hanya dengan Jakarta. “Oh, Jakarta punya lima puluh ribu (mobil).”
Ketika itu Lee adalah pengagum Soekarno. Hari ini, kurang lebih 55 tahun sejak pertemuan kedua tokoh tersebut, kita menyaksikan Singapura telah menjadi pusat bisnis internasional, bahkan sebagai satu di antara raksasa ekonomi dunia. Sementara Indonesia masih berkutat sebagai negara berkembang. Sampai-sampai jumlah anak telantar di negeri ini hampir setara dengan total penduduk negara kecil itu.
Sebagai warga Kota Batam yang cukup sering bepergian ke Singapura, ketika menginjakkan kaki di negeri Merlion serasa orang kampung dari udik datang ke kota. Perasaan ini sama seperti ketika masih kecil, seorang anak kampung, diajak ibu pergi berbelanja di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kemensos, menurut Kofifah, memiliki Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Program tersebut dilakukan agar dinas-dinas sosial melakukan pemetaan mengenai kasus-kasus anak seperti disebutkan di atas. Kita hanya bisa berharap jutaan anak telantar tersebut mendapat pemeliharaan yang baik dari negara karena mereka sebenarnya adalah potensi sangat besar bagi masa depan bangsa ini. Apalagi kita sedang menyongsong bonus demografi dalam beberapa tahun ke depan. Jangan sampai terjadi jumlah penduduk usia produktif bukannya menjadi penggerak perekonomian bangsa tetapi justru menjadi beban. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H