Artikel ini sekadar humor yang tak lucu ....
BEBERAPA hari lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap seorang bupati superkaya yang memiliki sederet mobil  mewah dan motor gede bernilai milyaran rupiah. Sang bupati bergelimang harta benda haram dari hasil korupsi/gratifikasi. Kabarnya  dia menarik fee antara 7-10 persen dari sejumlah proyek di wilayahnya.
Praktik ilegal dengan menarik fee seperti itu tentu berdampak pada kualitas proyek-proyek yang sedianya untuk kepentingan publik. Praktik semacam ini bukan cerita baru. Rasanya perilaku curang ini terjadi hampir di seluruh negeri. Â Tak heran banyak fasilitas publik sudah hancur tak lama setelah diresmikan penggunaannya. Â
Beberapa pejabat korup tersandung dan tertangkap KPK, tetapi sangat mungkin lebih banyak bedebah seperti itu yang belum  tersentuh. Mereka pun masih leha-leha menikmati kekayaan berlimpah dari hasil maling uang rakyat, sementara sangat banyak  saudara sebangsa hidup dalam kemiskinan sehingga terpaksa harus mencari rezeki sampai luar negeri sebagai Tenaga Kerja  Indonesia/Tenaga Kerja Wanita (TKI/TKW). Mereka sekaligus mempertaruhkan nyawa demi menghidupi keluarga di kampung  halaman. Â
Begitu banyak kisah memilukan para TKI/TKW kita di luar negeri. Jika sedikit "beruntung", keluarga masih bisa menerima  jenazahnya, tetapi banyak pula yang pulang tinggal nama. Belum lagi ancaman menjadi korban perdagangan organ tubuh  sebagaimana sinyalemen kuat yang beredar, bahwa sejumlah TKI/TKW asal NTT telah diambil organ dalam tubuhnya sebelum  jenazahnya yang penuh jahitan senar dikirim pulang ke kampung halaman.  Â
Kita sangat miris membaca kisah perjuangan Mochammad Zaini Misrin alias Slamet (47), seorang TKI asal Madura, Jawa  Timur. Dituding membunuh majikannya, Slamet yang telah menjalani hukuman penjara selama 13 tahun, akhirnya dieksekusi mati  di Arab Saudi, Minggu (18/3/2018) waktu setempat.
Kendati sedang terkungkung di balik jeruji besi, Slamet masih mampu menghasilkan uang dari hasil kerja sebagai tukang cukur  rambut. Uang hasil keringatnya untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Bandingkan dengan koruptor yang sudah mencuri  uang negara, tetapi negara justru harus rugi untuk memelihara mereka.
Barter dengan Koruptor
Pemerintah perlu memikirkan strategi mengurangi isi penjara yang dihuni para koruptor yang sudah terbukti dan berkekuatan  hukum tetap. Sudah mengakibatkan kerugian negara, hidup para bedebah tak berguna itu masih harus dibiayai oleh negara.  Mereka masih bisa makan-tidur, mandi sampai beol gratis, tetapi tak menghasilkan apa-apa jika dibandingkan dengan Slamet  yang tetap produktif. Â
Daripada memenuhi penjara dan malah merugikan negara, lebih baik negara memanfaatkan para begundal itu untuk hal-hal yang  lebih bermanfaat. Saya menawarkan solusi, bagaimana kalau para pelaku korupsi itu dibarter dengan para TKI yang sedang  terancam hukuman mati di luar negeri, terutama di Arab Saudi dan Malaysia. Jadi, setiap ada TKI/TKW yang terancam  hukuman mati, pemerintah menawarkan pertukaran/barter. Si koruptor dikirim ke sana untuk menjalani hukuman pancung  atau hukuman mati, sedangkan TKI/TKW kita bawa pulang agar berkumpul lagi dengan keluarganya.
Dengan cara itu kita memperoleh dua manfaat sekaligus, yakni kita bisa mengurangi jumlah pengkhianat bangsa sekaligus menyelamatkan para pahlawan devisa dari ancaman hukuman mati. Bayangkan, berapa banyak pahlawan devisa yang bisa kita selamatkan. (eddy mesakh)