Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Kontras Kornelis Langu dan Agustinus Tai

12 Juni 2015   07:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05 11054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti ketika kita menyaksikan film-film crime di televisi. Sebut saja serial Law & Order, yang menggambarkan bagaimana para polisi dan jaksa tak pernah main-main dengan motif dan alat bukti. "Saksi bisu" seperti sehelai rambut, bercak darah sekecil apapun yang sudah mengering, sampai jejak keringat pelaku dikais para penyidik dari tempat kejadian perkara untuk dicocokkan dengan para suspect agar tak ada peluang berkelit di persidangan. Menyelidiki secara seksama mengenai siapa yang paling memiliki motif. Demikian pula soal kepastian kapan persisnya korban meninggal melalui proses autopsi oleh tim forensik, di antaranya untuk mencocokan dengan alibi tersangka.  

Bahkan polisi dan jaksa tetap skeptis sekalipun sudah ada yang mengaku sebagai pelaku sebuah tindak kriminal. Tujuannya agar tidak menghukum orang yang salah sementara pelaku sebenarnya melenggang bebas dan bukan tak mungkin melakukan kejahatan serupa sehingga memakan korban lain di kemudian hari.

Baru-baru ini saya menyaksikan sebuah film rekaan bertema pembunuhan oleh keluarga dekat di Fox Crime (maaf kalau cerita berikut ini tak persis sama dengan adegan film itu). Seorang anak perempuan tewas mengenaskan dengan sejumlah luka tusukan di tubuhnya dan jeratan tali pada lehernya. Ada dua saksi yang diperiksa polisi dan jaksa, yakni ibu korban dan kakak perempuannya. Awalnya sang ibu mengaku bahwa dirinya tidak tahu siapa pembunuh anaknya. Sementara si kakak mengaku melihat pelaku masuk melalui plafon rumah kemudian menghabisi adiknya. Sang ibu mendadak memasukkan putrinya yang berusia 14 tahun itu ke rumah sakit jiwa (RSJ), dan hal ini menimbulkan kecurigaan pada penyidik. 

Penyidik tak percaya bahwa gadis 14 tahun itu mengalami gangguan jiwa. Mereka kemudian mendatanginya di RSJ untuk mengorek keterangan. Secara mengejutkan gadis ini menceritakan bahwa sebenarnya sang ibulah pelaku pembunuhan tersebut. Dia mampu menceritakan kronologinya secara detail sehingga penyidik mempercayai ceritanya, lalu mengarahkan penyelidikan terhadap sang ibu. Penyidik juga menduga ada kerjasama antara sang ibu dengan dokter jiwa yang menangani gadis itu untuk menutupi kasus tersebut, apalagi dokter selalu menyuntikkan sejenis obat kepada gadis itu. Belakangan, setelah didesak, sang ibu mengakui bahwa dirinya lah yang telah membunuh putrinya. 

Ternyata, dalam proses pemeriksaan selanjutnya disertai bukti-bukti forensik, penyidik mampu membuktikan bahwa pembunuh sebenarnya adalah sang kakak. Cerita sangat detail yang disampaikan kepada polisi tak lain menceritakan kembali perbuatannya, namun mengganti subyek (dirinya) dengan ibunya sendiri. Dia membunuh adiknya karena hal sepele; terlalu berisik! Sementara sang ibu, sebenarnya sedari awal sudah tahu bahwa pembunuh putri bungsunya adalah sang kakak. Namun karena pelaku adalah anak kandungnya sendiri, dia berupaya melindunginya dengan mengirimnya ke rumah sakit jiwa. Sang kakak memang menderita kelainan jiwa. Keterangan sang ibu klop dengan bukti forensik sebagai "saksi bisu" membuktikan bahwa pelaku pembunuhan adalah kakaknya sendiri. 

***

Kembali ke “duel” antara Kornelis vs Agustinus. Kita gembira dan bangga atas prestasi Kornelis mengharumkan nama bangsa. Sebaliknya kita geram dan marah atas pembunuhan keji dan pemerkosaan terhadap bocah perempuan dimana Agustinus mengakui dirinya sebagai pelaku kekejaman itu. Jika akhirnya dia terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai pelaku pembunuhan itu, maka Agustinus benar-benar sosok kejam dan tak berperikemanusiaan. Sungguh disesalkan, seandainyapun dia tak mampu berprestasi seperti Kornelis, minimal tidak melakukan perbuatan yang mempermalukan keluarga maupun menyakiti hati keluarga korban dan masyarakat.

Kita ikuti saja "drama" memilukan ini sampai selesai. Itu sa! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun