Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Renungan Harkitnas oleh Mbah Dul dari Surabaya

20 Mei 2015   05:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:48 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abdul Sukur, tukang becak yang secara sukarela menambal jalan yang rusak di wilayah Surabaya. (Foto: kompas.com/Surya/Magdalena Fransilia)

[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Abdul Sukur, tukang becak yang secara sukarela menambal jalan yang rusak di wilayah Surabaya. (Foto: kompas.com/Surya/Magdalena Fransilia)"][/caption]

INI hari, 20 Mei 2015 kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-107. Peringatan Harkitnas 2015 mengusung tema "Melalui Hari Kebangkitan Nasional kita bangkitkan semangat kerja keras mewujudkan Indonesia Maju dan Sejahtera”.

Sejatinya ini sebuah hari besar yang sangat penting bagi perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 yang dimotori oleh Soetomo, Wahidin Soedirohoesodo, dkk, merupakan momentum awal kebangkitan nasional, yakni berseminya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme, yang kemudian menjadi pemicu gerakan pemuda melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Peringatan pertama Hari Kebangkitan Nasional dilaksanakan 40 tahun setelah berdirinya Boedi Oetomo, yakni pada 20 Mei 1948. Menariknya, pemilihan Boedi Oetomo sebagai “hari besar kebangkitan nasional” tak lepas dari peran Ki Hadjar Dewantara yang tak lain tokoh pendidikan Indonesia yang tanggal lahirnya, 2 Mei (1889), diabadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Ki Hadjar, dokter Radjiman, Ali Sastroamidjojo, Soekarno, dan M Hatta bersama-sama sepakat memilih peristiwa lahirnya Boedi Oetomo sebagai “Hari Kebangunan Nasional”. Ki Hadjar ditunjuk sebagai Ketua Panitia nasional untuk perayaan pertama yang bertujuan untuk mempersatukan semua elemen bangsa, terutama partai-partai politik yang ketika itu suka bertengkar satu dengan yang lain -situasi yang kurang lebih mirip dengan kondisi kita saat ini. (sumber)

Boedi Oetomo memiliki muatan penting bagi perjalanan bangsa ini. Dia bermakna mencapai sesuatu berdasarkan keluhuran budi, kebaikan perangai, dan kemahirannya. Maka di sini kita perlu berefleksi mengenai situasi negeri kita belakangan ini dikaitkan dengan semangat para pendiri negeri ketika memilih dan menetapkan hari lahir Boedi Oetomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Perhatikan para elite politik yang berkelahi, saling gugat demi memperebutkan legitimasi sebagai penguasa parpol. Para pejabat negeri yang ‘terbelenggu’ kepentingan sempit dalam menjalankan kepercayaan yang diberikan kepadanya, bahkan ikatan persaudaraan dan rasa persatuan di antara kita sebagai sesama masyarakat yang semakin longgar bahkan kian banyak perpecahan hanya karena berbeda suku, agama, golongan, dan alasan-alasan lainnya.

Mbah Dul

Di tengah kondisi cukup memprihatinkan itu, muncul sosok bernama Abdul Sukur alias Mbah Dul (65) dari Surabaya, Jawa Timur. Kakek renta ini hanyalah seorang pengayuh becak, miskin, dan mungkin tak paham apa itu Kebangkitan Nasional, apalagi sejarah Boedi Oetomo. Tetapi dalam kesehariannya Mbah Dul mempraktikkan semangat nasionalisme, yakni melakukan hal-hal “kecil” yang sesungguhnya besar manfaatnya bagi banyak orang.

Seperti diberitakan Kompas.com melalui dua artikel;Kisah Abdul Sukur, Kakek Pengayuh Becak yang Sukarela Tambal Jalan Berlubang dan Mbah Dul Tolak Semua Tawaran dari Wali Kota Risma.

Bayangkan, dalam 10 tahun terakhir Mbah Dul secara sukarela menambal jalan-jalan berlubang pada beberapa lokasi di Kota Surabaya. Mbah Dul ikhlas melakukannya. Dia tak mempersoalkan apakah jalan yang ditambal itu dilalui oleh orang beragama apa, suku apa, golongan mana, anggota parpol apa, kaya atau miskin, dan sebagainya. Mbah Dul hanya ingin agar jalan berlubang itu lebih nyaman dilalui orang dan tidak menimbulkan kecelakaan terhadap siapapun yang melintasinya.

Apa yang ditunjukkan Mbah Dul kurang lebih sama dengan sebuah artikel yang ditulis Prof Rhenald Kasali di Kompas.com berjudul; Mereka Cari Jalan, Bukan Cari Uang. Menurut Prof Rhenald, ini disebut “meaning”.

Prof Rhenald menulis, “meaning itulah yang dulu dilakukan oleh para mahasiswa kedokteran di Stovia yang mendirikan Boedi Oetomo yang menandakan Kebangkitan Nasional Indonesia. Bahkan, itu pula yang dijalankan oleh seorang insinyur lulusan ITB yang merintis kemerdekaan Indonesia, Ir Soekarno. Itu pula yang dilakukan para CEO terkemuka saat mereka muda. Di seluruh dunia, para pemimpin itu lahir dari kegigihannya membangun meaning, bukan mencari kerja biasa. Dalam kehidupan modern, itu pulalah jalan yang ditempuh para miliarder dunia. Mereka bukanlah pengejar uang, melainkan pengejar mimpi-mimpi indah, seperti yang diceritakan oleh banyak eksekutif Jerman yang dulu menghabiskan waktu berbulan-bulan kerja sosial di Afrika. "Tidak saya duga, apa yang saya lakukan 20 tahun lalu itulah yang diperhatikan pemegang saham," ujar mereka.

Sedikit berbeda pada konteks Mbah Dul. Dirinya mendasarkan pada keikhlasan. Dia sama sekali tak mengharapkan imbalan apapun di masa depan, karena tak ada “mimpi indah” yang dikejar melalui kegiatan menambal jalan berlubang. Terbukti dirinya menolak semua pemberian dari Walikota Tri Rismaharini atas jasanya selama 10 tahun secara sukarela menambal sejumlah ruas jalan berlubang di Surabaya.

Padahal sebagai ungkapan terima kasih, Walikota Risma menawarkan program bedah rumah agar rumah kumuhnya lebih layak huni. Pun dia menolak dikasih jabatan sebagai mandor proyek perbaikan jalan di Dinas PU Kota Surabaya. “Ayah saya mengaku ikhlas dan tidak berharap imbalan apa pun, karena itu dia menolak," kata Suwarni, putri kelima Mbah Dul, seperti dikutip artikel di atas.

Sikap Mbah Dul ini bertolak belakang dengan sikap sebagian besar dari kita. Ketika kita suka mengomel karena pekerjaan kita kurang dihargai, Mbah Dul malah menolak penghargaan dari Walikota. Ketika kita berlomba-lomba dan saling sikut untuk mengejar jabatan, Mbah Dul malah menolak jabatan yang diberikan kepadanya. "Ayah saya takut jika menerima sesuatu, akan mengurangi keikhlasannya menambal jalan," tambah Suwarni. Wow! Sebuah sikap sangat terpuji dari sosok Mbah Dul.

Mbah Dul, Anda adalah “renungan berjalan” bagi kami. Pria renta ini telah mempraktikkan semangat "Revolusi Mental" sejak jauh hari sebelum Presiden Joko Widodo mendengungkannya. Selamat memperingati Harkitnas, semoga melalui peringatan ini dan contoh konkrit dari Mbah Dul mampu membangkitkan semangat kerja keras mewujudkan Indonesia maju dan sejahtera sesuai tema Harkitnas 2015. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun