LANGSUNG saja ke pertanyaan: Apakah pemilihan presiden 9 Juli 2014 juga menggunakan teknis pemungutan seperti di Amerika Serikat? Maksudnya, apakah ada daerah yang pemungutan suaranya secara e-votingmenggunakan voting machine? Apakah suara yang dikumpulkan dari TPS dan  dikirimkan secara berjenjang hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) disampaikan menggunakan fasilitas teknologi informasi? Bukankah suara yang dihitung secara manual oleh KPU berdasarkan Form C1 berhologram yang telah ditandatangani oleh penyelenggara dan para saksi dari kedua calon presiden?
Deretan pertanyaan itu saya sampaikan kepada Tim Prabowo-Hatta. Karena sebagai rakyat Indonesia, saya merasa telah dibuat bingung oleh logika yang dibangun, bahwa dugaan kecurangan dalam Pilpres di antaranya ada penggelembungan suara oleh puluhan hacker/peretas asing.
Ketua Tim Koalisi Merah Putih Perjuangan untuk Kebenaran dan Keadilan Letjend (Purn) Yunus Yosfiahmelontarkan tudingan bahwa ada 37hackerasal Korea dan Tiongkok menggelembungkan suara Pemilu Presiden 2014. Jumlah suara yang dimanipulasi para peretas itu tidak main-main; "Sekitar 4 juta suara dimanipulasi," kata Yunus di Jakarta, Selasa (23/7/2014).
Karena pihak Prabowo yang kalah, tentunya hasil kerja para peretas itu dinikmati oleh pasangan Jokowi-JK yang dinyatakan menang oleh KPU. Juga berarti bahwa tim Jokowi-JK telah menyewa para peretas asing itu untuk kepentingan memenangi Pilpres.
Baiklah. Anggap saja demikian. Berarti yang paling mungkin diutak-atik oleh para peretas adalah website KPU yang memuat data-data hasil Pemilu. Di sana ada data scan C1 yang bukan tak mungkin telah diganti oleh para peretas. Lagi-lagi, meskipun hal ini terjadi, toh bukan data scan C1 Â itu yang dipakai, melainkan data dari C1 Plano berhologram yang sudah diteken oleh penyelenggara di TPS dan seluruh saksi. Pun perhitungannya dilakukan secara manual. Jadi bagaimana logikanya para peretas itu mengubah angka-angka di kertas C1 Plano berhologram? Atau ada teknologi baru yang memungkinkan peretas mengubah data yang tertera pada kertas?
Seperti yang dituduhkan Yunus Yosfiah, para peretas itu telah memanipulasi suara golput di beberapa kecamatan di Jateng, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Utara. Bagaimana caranya? Logikanya berarti para peretas menggelembungkan suara golput  dan itu diambil dari suara sah milik Prabowo-Hatta. Ini sangat membingungkan.
Jumlah pemilih sah (sesuai DPT) sudah ditetapkan jauh-jauh hari, yakni total nasional sebanyak 181.224.161 pemilih yang terbagi ke 478.829 TPS di seluruh Indonesia. Bahkan DPT ditempelkan di kantor desa/kelurahan seluruh Indonesia. DPT juga dipampang di TPS ketika hari pemungutan suara. Jadi sangat mudah membandingkan perolehan suara masing-masing pasangan, suara tidak sah/kertas suara rusak, dan golput. Ini ketahuan di tiap TPS; berapa memilih, berapa surat suara rusak, dan sisanya masuk katagori golput.
Jika merasa suara Prabowo-Hatta telah dicuri dan dimasukan dalam katagori golput, Pak Yunus dkk cukup membandingkan C1 dari saksi-saksi mereka dengan C1 berhologram di KPU.
Terakhir, jangan lupa klarifikasi ke Pemerintah Korea Selatan soal tuduhan keterlibatan warganegara mereka sebagai peretas yang mencuri suara Prabowo-Hatta. Siapkan juga klarifikasi yang sama untuk Pemerintah Cina yang mungkin juga akan mempertanyakan hal serupa. Sebab, Kedutaan Besar Korsel sudah menanyakan hal ini ke Bareskrim Mabes Polri dan dijawab tidak ada satupun warga mereka yang ditahan berkaitan kasus itu.
Rasanya tak sabar menanti penjelasan soal berbagai kecurangan Pilpres kali ini, sekaligus ingin tahu bagaimana para peretas itu bekerja untuk memenangkan Jokowi-JK. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H