[caption id="attachment_327754" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi (http://bonditkompor.blogspot.com)"][/caption]
BUKAN pemenangpemilu legislatif dan kalah dalam pemilihan presidenbukan berarti tidak bisa berkuasa. Partai Golkar, Gerindra, PAN, PKS, dan PPP plus Demokrat terbukti mampu melakukannya dengan membangun koalisi. Saya menyebut kelompok ini KMP Plus. Di bawah komando Prabowo Subianto, para elite itu sudah menguasai parlemen usai merevisi Undang-undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Mereka juga bertekad memegang kendali seluruh negeri melalui Pilkada oleh DPRD setelah mencabut hak pilih rakyat. Maka, dalam lima tahun ke depan, kita akan menyaksikan seolah-olah negeri ini punya dua presiden; presidennya rakyat dan presidennya para elite politik!
De jure, Presiden Republik Indonesia Periode 2014-2019 adalah Joko Widodo sebagai pemenang Pilpres. Namun dalam praktiknya ada sosok lain ikut mengendalikan pemerintahan melalui kekuatan politik. Sang “presiden” tidak memenangkan mandat rakyat melalui Pilpres tetapi mendapat kepercayaan dan loyalitas para elite, sehingga dia sangat berpengaruh dalam menentukan ke arah mana bangsa ini akan dibawa.
Satu Perahu Dua Kemudi
Ibarat perahu, republik ini bakal oleng sepanjang pelayarannya hingga 2019 karena perebutan kemudi negeri tidak selesai seiring berakhirnya Pilpres. Koalisi Indonesia Hebat pengusung Jokowi -Jusuf Kalla terlalu lemah dari segi jumlah anggota parlemen (207) dibanding KMP Plus yang menguasai 353 kursi. Rincian raihan suara Pileg dan jumlah kursi di DPR 2014-2019 masing-masing PDIP (23.681.471/109), PKB (11.298.957/47), Nasdem (8.402.812/35), dan Hanura (6.579.498/16). Sedangkan KMP Plus masing-masing Golkar (18.432.312/91), Gerindra (14.760.371/73), PAN (9.481.621/49), PKS (8.480.204/40), dan PPP (8.157.488/39) plus Demokrat (12.728.913/61).
Panasnya pertarungan politik di level elite akan terus menjadi sajian sepanjang lima tahun ke depan. Sajian pembuka sudah dihidangkan, yakni lolosnya Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sebagai pengganti UU Nomor 27 Tahun 2009tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. KMP Plus sudah memetik hasil dari beleid itu, yakni berhasil memborong seluruh kursi pimpinan DPR, yakni Setya Novanto (Ketua/Golkar), Fadli Zon (Wakil Ketua/Gerindra), Fahri Hamzah (Wakil Ketua/PKS), Agus Hermanto (Wakil Ketua/Demokrat), dan Taufik Kurniawan (Wakil Ketua/PAN).
PPP yang ‘hanya’ punya 39 kursi di parlemen tidak diberi jatah pimpinan Dewan, mungkin dianggap kurang berpengaruh. Bila nantinya PPP ‘berselingkuh’ dengan Koalisi Indonesia Hebat, mereka hanya akan berjumlah 246 kursi atau masih kalah 107 kursi dari KMP Plus. Tapi sepertinya KMP Plus akan berusaha mengikat PPP dengan memberinya porsi kecil memimpin satu atau dua dari sepuluh alat kelengkapan DPR. Mungkin PPP juga akan dijatah satu kursi pimpinan MPR.
Kemenangan besar lainnya adalah KMP Plus sukses melucuti hak pilih rakyat melalui Pilkada langsung setelah dengan mudah meloloskan RUU Pilkada di level parlemen. Kendati belum sah sebagai UU karena masih ada dinamika (di antaranya dua Perppu yang diterbitkan Presiden SBY yang menginginkan Pilkada langsung), RUU ini diprediksi akan tetap lolos ketika sampai di tangan DPR.
UU Pilkada menjadi jalan tol bagi KMP Plus untuk menguasai pemerintahan daerah hampir di seluruh Indonesia. Bila KMP Plus tetap solid sampai ke daerah-daerah, maka 31 gubernur akan menjadi ‘milik’ mereka. Koalisi Indonesia Hebat hanya ‘kebagian’ memimpin Provinsi Bali dan Kalimantan Barat.
KMP Plus benar-benar akan menjadikan Jokowi sebagai presiden boneka. Bukan bonekanya Megawati sebagaimana mereka tuduhkan selama ini, melainkan bonekanya KMP Plus. Jokowi akan dipaksa menuruti kehendak politik kelompok tersebut. Apapun hasil pembangunan di era Jokowi, gagal atau berhasil, KMP Plus tetap diuntungkan. Jika berhasil, Jokowi tak bisa mengklaim sepihak karena KMP Plus juga ikut memerintah melalui gubernur/bupati/walikota. Sebaliknya bila gagal, langsung menjadi sasaran tembak untuk merongrong reputasi Jokowi di mata publik.
Bukan blunder
Mendudukan sosok penuh kontroversi Setya Novanto sebagai Ketua DPR menuai reaksi keras publik. Nama politisi Golkar itu disebut-sebut dalam sejumlah kasus korupsi bernilai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Pernah berstatus tersangka dalam kasus cessie Bank Bali yang kemudian mendapat SP3 dari Kejagung, namanya disebut dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP, kasus korupsi Lapangan Tembak PON Riau, kasus Pilkada Jatim di Mahkamah Konstitusi, dan beberapa kasus lainnya. Sejauh ini Novanto tak pernah terbukti melakukan korupsi, sehingga tidak ada alasan hukum - kecuali alasan etika – untuk melarangnya menjadi pemimpin para wakil rakyat di Senayan.
Demikian pula penunjukkan Fahri Hamzah dan Fadli Zon sebagai Wakil Ketua DPR. Dua sosok ini seringkali di-bully di dunia maya akibat pernyataan-pernyataan mereka. Toh keduanyabukan pelanggar hukum. Bahkan termasuk katagori politisi tahan banting dan tetap vokal melontarkan isi kepalanya tanpa peduli apapun reaksi publik. Karakter seperti itu sangat berguna bagi KMP Plus dalam memperjuangkan agenda politik mereka.
Dua nama lainnya, Agus Hermanto (Demokrat) dan Taufik Kurniawan (PAN), akan lebih berfungsi sebagai perekat untuk mengikat Demokrat dan PAN tetap berada dalam koalisi permanen. Ingat, Agus Hermanto adalah adiknya Hadi Utomo (eks Ketum Demokrat 2005-2010), yang merupakan ipar Ani Yudhoyono. Agus pun sangat berpengalaman sebagai legislator di Senayan sejak 2004-2009 dan 2009-2014. Kali ini (2014-2019) merupakan periode ketiga dia lolos ke parlemen. Sedangkan Taufik Kurniawan merupakan orang nomor dua di PAN, yakni sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen). Sosok ini sedikit kontroversial karena disebut paling sering absen (tidak hadir) saat pelaksanaan Rapat Paripurna DPR 2009-2014.
Seolah pilihan atas nama-nama itu adalah blunder KMP plus. Tapi jika dicermati, mereka adalah pilihan tepat. Novanto,Fadli, dan Fahri bakal menjadi trio maut dan akan sangat efektif dalam menjalankan strategi Koalisi Plus untuk meraih target-target “perjuangan” ke depan. Dalam sejumlah pemberitaan, saya merangkum setidaknya empat agenda besar yang akan digapai, yakni (1) melucuti kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau setidaknya menguasai lembaga antirasuah itu; (2) mempersulit kebijakan dan anggaran yang diusulkan pemerintah – termasuk menggoreng isu kenaikan harga BBM; (3) memakzulkan Jokowi; dan (4) mengembalikan pemilihan presiden dan wapres melalui MPR.
1.Melucuti Kekuatan KPK
Langkah pertama yang akan dilakukan oleh KMP Plus adalah memperjuangkan revisi Undang-Undang No30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Apalagi beberapa politisi Parpol anggota KMP Plus memiliki catatan kelam terlibat berbagai kasus korupsi.
Sebenarnya usulan revisi telah disampaikan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ke DPR sejak September 2013, namun dimentalkan oleh para aktivis antikorupsi karena melihat adanya sejumlah poin yang bisa melemahkan KPK. Perlawanan para aktivis membuat DPR periode lalu tidak berani membahas revisi itu lebih lanjut. Tetapi sekarang kondisinya sangat berbeda karena DPR berada dalam genggaman KMP Plus. Sebagai Ketua DPR, Setya Novanto akan lebih sulit dijangkau institusi-institusi penegak hukum.
Terkait pelemahan KPK, Fahri Hamzah akan memainkan perannya, mengingat dia adalah sosok yang getol memperjuangkan pembubaran KPK sejak tahun 2011. Dia beralasan, dalam negara demokrasi tidak boleh ada lembaga superbody atau lembaga yang terlalu kuat. Fahri menggulirkan wacana itu ketika KPK hendak memanggil empat pimpinan Badan Anggaran DPR sebagai saksi terkait kasus dugaan suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Fahri semakin ngotot setelah KPK menangkap Presiden PKS Luthfi Hasan Isakh yang tersangkut korupsi sapi impor.
Fadli Zon menyokong via Gerindra. Sebagai pemimpin KMP Plus, Partai Gerindra secara tegas menyatakan sepakat merevisi UU KPK. Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Martin Hutabarat berkilah, revisi itu justru merupakan komitmen KMP untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam perundangan tersebut. Selain merevisi UU KPK, kelompok ini akan memanfaatkan wewenang DPR, yakni fungsi monitoring, budgeting, dan pemilihan pimpinan KPK melalui uji kelayakan dan kepatutan. Sehingga kalaupun nanti gagal merevisi UU KPK, mereka tetap bisa menguasai KPK melalui proses seleksi. Sebab, Ketua KPK ditentukan oleh DPR.
Tak hanya itu, melalui UU MD3, setidaknya KMP Plus berhasil menjauhkan anggota DPR yang terlibat masalah hukum dari jangkauan penegak hukum. Pasal 245 UU MD3; (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
UU MD3 memberi ruang bagi anggota DPR untuk meloloskan diri dari jeratan hukum, apalagi Mahkamah Kehormatan Dewan pun nantinya didominasi politisi KMP Plus. Mahkamah Kehormatan bisa saja tidak memberikan persetujuan atau minimal mengulur-ulur waktu sampai anggota Dewan yang tersangkut masalah hukum menyatakan siap diproses – setelah menghilangkan barang bukti (?)
2. Persulit Kebijakan dan Anggaran
Hanya berkekuatan 39,97 persen kursi di parlemen, Koalisi Indonesia Hebat akan selalu kalah dalam setiap pengambilan keputusan. Apalagi bila setiap rancangan undang-undang dari pemerintah digiring agar diputuskan melalui voting. Para legislator KMP Plus yang menguasai 60 persen kursi di DPR akan mempersulit, mengulur-ulur waktu, bahkan menggugurkan sejumlah program strategis Jokowi-JK saat pembahasan anggaran sebelum penetapan UU APBN. Pemerintah diprediksi bakal kesulitan menjalankan kebijakan-kebijakan strategis yang telah dijanjikan Jokowi-JK semasa kampanye Pilpres.
Mereka akan habis-habisan menggoreng isu kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Bisa saja mereka menyetujui pengurangan subsidi BBM manakala pemerintah ngotot atas alasan untuk memperbesar ruang fiskal agar bisa membiayai program-program pembangunan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Tapi sebelum sampai di titik itu, KMP Plus terlebih dahulu menolak kenaikan harga BBMM untuk menarik simpati publik. Setidaknya mereka bisa menuding balik Jokowi-JK dan partai pengusungnya sebagai kelompok yang tidak pro rakyat.
KMP Plus akan selalu mengganggu jalannya pemerintahan Jokowi-JK agar kemudian mendapat penilaian minus di akhir kekuasaan, atau kalau perlu gagal di tengah jalan, supaya ada alasan untuk dimakzulkan. Ini poin balas dendam atas kekalahan Prabowo-Hatta dalam Pilpres yang oleh KMP dianggap curang.
3. Memakzulkan Jokowi
Ini terlihat berlebihan dan juga tidak mudah, tetapi bukan tak mungkin. KMP Plus akan merancang “ganguan-gangguan kecil” melalui hak menyatakan pendapat. Kemudian berupaya melumpuhkan pemerintahan Jokowi-JK dengan mementahkan semua kebijakan yang perlu persetujuan DPR. Kita juga bakal menyaksikan KMP Plus memaksimalkan hak interpelasi untuk merusak kepercayaan publik terhadap Jokowi.
DPR akan lebih sering memanggil Jokowi untuk mempertanyakan kebijakan-kebijakan penting dan strategis yang telah dijanjikan Jokowi semasa kampanye, seperti Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, Tol Laut, mengurangi subsidi BBM, dan sebagainya. Akibatnya pemerintahan Jokowi-JK bakal terseok-seok dan gagal mewujudkan janji-janji kampanye. Pada kesempatan ini kelompok tersebut akan membangun opini seolah-olah Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Mereka kemudian mengusulkan kepada MPR (yang juga dalam genggaman) untuk memakzulkan (impeachment) Jokowi-JK sekaligus karena dianggap gagal memerintah.(Lihat UU MD3 Pasal 4 huruf a – f dan Pasal 36 - 40).
Lalu siapa penggantinya? Siapa lagi kalau bukan pasangan Prabowo-Hatta sebagai peraih suara terbanyak kedua (karena hanya ada dua paket) dalam Pilpres lalu. Hal ini sudah diatur dalam Pasal 51 ayat 1-6 (karena panjang, silakan disimak sendiri). Juga pada Pasal 52 ayat 1 dan 2 UU MD3 yakni; (1) Pemilihan 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan dengan pemungutan suara. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
4. Kembalikan Pilpres Melalui MPR
Agenda ini kemungkinan dilaksanakan menjelang jelang akhir masa jabatan DPR (2019). Cara-cara untuk merevisi UU Pilpres akan mengadopsi metode yang dilakukan ketika meloloskan UUMD3 dan UU Pilkada oleh DPR periode 2009-2014, yakni ketika perhatian sebagian besar rakyat sedang tertuju pada riuhnya pesta demokrasi lima tahunan. Alasan yang dibangun untuk revisi UU ini juga sama dengan revisi UU Pilkada, yakni pemilihan langsung adalah model demokrasi liberal, mahal, dan tidak sesuai dengan semangat Pancasila dan UUD 1945. Prabowo Subianto pernah mengatakan bahwa praktik demokrasi di Indonesia saat ini terlalu mahal dan tidak sejalan dengan budaya Indonesia. Wah!
Melihat situasi politik yang berkembang saat ini, kita patut waspada terhadap agenda KMP Plus. Semoga semua horror politik itu tidak terjadi dalam lima tahun ke depan. (*)