[caption id="" align="aligncenter" width="420" caption="Logo BKKBN (sumber:kompasiana)"][/caption]
GENERASI sehat, kuat, dan cerdas adalah jaminan masa depan bangsa. Hanya generasi seperti itu yang mampu mendorong sekaligus menopang bangsa Indonesia agar kuat dan mampu bersaing dalam berbagai bidang dengan bangsa-bangsa lain seantero dunia. Pertanyaannya; potensi apa yang dapat mendukung dan bagaimana caranya kita mampu membuat lompatan menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia sesuai Visi Indonesia 2030?
Potensi terbesarnya bukan kekayaan sumber daya alam, bukan pula letak geografis, yang selama berpuluh tahun dibangga-banggakan dan membuai bangsa ini hingga terlena dalam mimpi indah nyaris tak berujung. Dua potensi itu hanyalah faktor pendukung. Potensi utamanya berasal dari sumber daya manusia (SDM) berkualitas. SDM Berkualitas akan memiliki daya ungkit bertenaga superbesar, apalagi ketika bertemu dengan momentum demografi Indonesia yang akan terjadi antara tahun 2020 – 2030. Ya, menyimak data “Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035” oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan United Nations Population Fund (UNPF) tahun 2013, dalam rentang waktu tersebut komposisi penduduk produktif Indonesia mencapai level tertinggi melebihi populasi non-produktif. Dengan demikian, bila dipersiapkan matang, kita bisa menikmati manisnya buah dari bonus demografi (demographic dividend).
Buah apaan sih itu? Bonus demografi adalah ‘bonus’ yang dapat dinikmati sebuah negara ketika komposisi/proporsi penduduk usia produktif alias usia kerja (15-64 tahun) lebih besar dibanding proporsi penduduk usia tidak/kurang produktif, yakni 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas. Proporsi itu idealnya menggambarkan rendahnya angka ketergantungan (dependency ratio)penduduk usia tidak produktif terhadap penduduk usia produktif.
Mengutip data resmi proyeksi BPS, menurut mantan Menteri Kependudukan Prof DR Haryono Suyono, sesungguhnya populasi usia produktif sudah tercapai sejak 2010, yakni proporsi penduduk usia 15-64 tahun telah berjumlah lebih dari 65,5 persen dibanding tidak produktif (34.5 persen).
Data yang disodorkan Menteri PPN/Kepala Bappenas, Armida Salsiah Alisjahbana, lonjakan populasi mulai terlihat pada 2020, diperkirakan sebanyak271,1 juta jiwa. Dan pada 2035 populasi Indonesia mencapai 305,6 juta jiwa! Berpatokan dari jumlah itu maka diperkirakan jumlah penduduk usia produktif sebesar 213,92 juta jiwa (70 persen) berbanding 91,68 juta jiwa (30 persen).
Hindari Petaka Demografi
Tampak menjanjikan, tetapi awas, bonus demografi bisa berubah jadi bencana demografi bila kita tidak memiliki persiapan berupa rencana dan tindakan yang tepat, sistematis, dan cermat. Ledakan populasi tersebut akan menjadi petaka manakala mayoritas penduduk usia produktif kita berpendidikan rendah, tidak memiliki keahlian memadai, tingkat kesehatan buruk, dan terpapar narkotika. Bukan pertumbuhan ekonomi yang kita raih, justru semakin terperosok ke dalam jurang kemiskinan.
Itulah sebabnya pemerintah kita, melalui institusi-institusinya antara lain Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tak pernah berpangku tangan selama puluhan tahun. Menengok sejarahnya, BKKBN yang sebelumnya singkatan dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, sudah jungkir balik memperjuangkan kesejahteraan keluarga di Indonesia sejak 57 tahun silam, persisnya 23 Desember 1957, ketika masih bernama Perkumpulan Keluarga Berencana. Singkatnya, setelah beberapa kali berganti nama dan resmi menjadi lembaga milik negara pada tahun 1970, BKKBNmulai mencatat sejumlah keberhasilan diantaranya yang paling menonjol adalah program Keluarga Berencana (KB).
Sangat lekat dalam ingatan kita slogan-slogan kampanye KB berbunyi: “Dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja.” Tapi atas alasan etis terkait isu hak asasi manusia (HAM), kemudian slogan itu diganti dengan “Dua anak lebih baik”, dan sekarang kembali menggunakan tagline “Dua anak cukup”. Program KB harus diakui cukup berhasil mengangkat kesejahteraan, derajat kesehatan, dan pendidikan masyarakat, serta menekan populasi pendudukIndonesia.
Nah, bonus demografi yang akan kita nikmati beberapa tahun ke depan, merupakan buah dari kerja keras BKKBN melalui program KB itu tadi. Namun, semakin mendekati era di mana bangsa Indonesia akan memetik buah itu, ternyata masih harus menghadapi banyak hambatan dan tantangan. Artinya, kita harus bekerja ekstra keras agar bisa memetik bonus demografi sekaligus menghindari petaka demografi. Wajib hukumnya memberikan perhatian intensif terhadap penduduk produktif dalam sektor kesehatan dan KB serta pendidikan dan keterampilan, agar mayoritas populasi produktif terserap lapangan kerja dalam bidang jasa dan kewirausahaan. Bahkan, harus lebih banyak tenaga produktif terserap di sektor formal daripada informal seperti saat ini.
Seperti diungkapkan Kepala BKKBNProf dr Fasli Jalal, bahwa Indonesia harus bekerja keras untuk meraih manfaat optimal dari bonus demografi yang terjadi sekali saja. Proyeksi awal bonus demografi telah meleset dari target selama 24 tahun (2012-2035) menjadi hanya 10 tahun (2020-2030). Menurut Prof Fasli, sebelumnya jendela peluang (window of opportunity)untuk meraih sebesar-besarnya kesejahteraan mencapai 44 per 100 orang, berkurang menjadi 47 per 100 orang. Artinya 100 orang usia produktif menanggung 47 orang usia tidak produktif.
Merawat generasi
Terbayang hebatnya Indonesia ketika mampu memaksimalkan sepuluh tahun bonus demografi antara 2020-2030, di mana pada tahun 2030, sesuai Visi Indonesia 2030, pendapatan nasional kita berdasarkan PDB mencapai 5,1 triliun dolar AS atau 18 ribu dolar AS per kapita (Rp 216 juta/orang/tahun).
Dalam acara “Kompasiana Nangkring bersama BKKBN di Batam” yang berlangsung di de Arianis Café, Jl Engku Putri Komplek Carnaval Mall Batam Center, Rabu (8/10/2014), saya mengutip beberapa penjelasan yang diutarakan Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFE-UI)DR. Sonny Harry B Harmadi tentang apa yang wajib dihindari (dilawan) serta apa saja yang harus kita lakukan bila ingin menikmati bonus demografi.
Pertama, kita harus berjuang keras menjauhkan generasi muda kita dari bahaya narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza). Sebab narkoba adalah ancaman terbesar terhadap bonus demografi. Bagaimana kita bisa menikmati bonus demografi kalau generasi produktif kita pada teler dan otaknya kurang waras? Bukannya menikmati produktivitas mereka, justru jadi beban negara dan keluarga.
Catatan Badan Narkotika Nasional (BNN), hingga tahun 2013 narkoba telah merenggut 4,2 juta jiwa atau rata-rata mengakibatkan kematian 40 orang per tahun akibat penyalahgunaan narkoba. Prediksi BNN, angka kematian akibat narkoba akan terus meningkat hingga mencapai 5,1 juta orang di tahun 2015. Kerugian ekonomi negara akibat narkoba mencapai Rp41 triliun per tahun,terdiri dari biaya ekonomi dan sosial. Data lainnya malah menyebut kerugian akibat penyalahgunaan narkotika mencapai Rp 50 triliun per tahun.
Kedua, penduduk produktif harus terserap pasar tenaga kerja. Bukan asal terserap, melainkan harus lebih banyak masuk ke sektor formal. Saat ini mayoritas angkatan kerja masih berada di sektor informal, sehingga kita harus berusaha mentranformasikan tenaga produktif tersebut ke sektor formal agar lebih bernilai bagi negara, misalnya melalui pajak dan retribusi untuk keperluan membiayai pembangunan.
Di sini dibutuhkan peran pemerintah sebagai regulator yang baik agar tidak melahirkan peraturan-peraturan yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi. Pemerintah harus mampu melahirkan aturan-aturan yang jelas tetapi tidak menyulitkan pelaku usaha dalam hal perizinan, transparansi biaya perizinan (bebas pungli), bahkan memberikan insentif kepada pelaku usaha. Dan secara makro, pemerintah harus bisa menciptakan stabilitas ekonomi agar tidak merugikan para pelaku ekonomi.
Ketiga, meningkatkan kualitas manusianya melalui pemerataan pendidikan. Fakta yang terjadi sekarang, menurut DR Sonny, hanya satu dari sebelas orang yang mampu mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Selain itu, 70 persen lulusan perguruan tinggi di Indonesia adalah sarjana sosial dan hanya 30 persen sarjana di bidang science dan teknologi. Implikasinya, Indonesia belum mampu menghasilkan produk-produk berteknologi tinggi dan bernilai ekonomis tinggi sebagaimana capaian negara-negara industri maju. Maka, mengutip pernyataan mantan Menteri Kependudukan Haryono Suyono, kita harus memprioritaskan pendidikan, terutama menyangkut bidang ilmu murni dan terapan, ilmu komputer, dan elektronika, selain juga pendidikan budi pekerti dan pengetahuan global.
Keempat, memberikan gizi seimbang bagi masyarakat Indonesia. Mengapa banyak orang Jepang lebih sehat dan cerdas? Ini berkaitan dengan tingkat konsumsi ikan masyarakat Jepang yang mencapai 60 kilogram/orang/ tahun. Bandingkan dengan konsumsi ikan masyarakat Indonesia yang cuma separohnya, yakni 30,48 kg/orang/tahun. Ikan mengandung banyak lemak omega-3 yang mampu mendorong tubuh memproduksi lebih banyak sel otak sehingga berdampak pada kecerdasan, meningkatnya daya tangkap, dan daya ingat serta menjadikan tubuh lebih sehat dan kuat.
Kelima, pernikahan dini. Sebanyak 45 persen perempuan Indonesia menikah di bawah umur 18 tahun. Kondisi ini berdampak tidak selesainya pendidikan sampai perguruan tinggi. Juga berpengaruh terhadap kesehatan sang ibu dan anak yang dilahirkan serta kemampuan merawat dan mendidik anak-anak yang dilahirkan si ibu yang masih sangat belia.
Kapan panen?
Ayo, bonus demografi menanti kita di depan sana. Bila ingin menuai bonus itu maka seluruh komponen bangsa ini, mulai dari pemerintahan, partai politik, masyarakat sipil, hingga setiap rumah tangga, wajib mengarahkan segala energi, daya, dan upaya guna membangun kualitas manusianya. Para elite politik silakan meneruskan ‘peperangan’ kalian di parlemen, asalkan semua itu hanya demi mewujudkan Indonesia negara hebat, kuat, dan sejahtera sesuai Visi Indonesia 2030. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H