[caption id="attachment_393124" align="aligncenter" width="624" caption="Massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, membawa poster dalam aksi di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat (23/1/2015). Aksi ini merupakan respons atas penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, oleh Bareskrim Mabes Polri. (Kompas.com/Roderick Adrian Mozes)"][/caption]
BELUM lama ini, sejumlah penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadir di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk proses penyelidikan (pengumpulan bukti permulaan) sebuah kasus dugaan korupsi di daerah tersebut.
Kawan saya, seorang aktivis antikorupsi, menuturkan, para penyelidik itu sempat datang ke kantor mereka, sebuah LSM yang juga bergerak di isu-isu antikorupsi. Para penyelidik itu berbincang akrab dan ramah terhadap kawan saya itu dan para aktivis di kantor LSM tersebut. Sebagai tuan rumah, tentu saja para aktivis menyuguhkan minuman ringan kepada para petugas KPK dari Jakarta itu. Para petugas itu menikmati minuman mereka masing-masing.
Setelah para petugas KPK itu pergi, para aktivis merapikan meja. Mereka kaget, karena di bawah setiap botol minuman ringan terdapat uang senilai minuman yang disuguhkan. Minuman ringan itu, menurut kawan saya, harganya tak sampai Rp 10 ribu. Para aktivis itu menjadi tak enak hati, tetapi memaklumi sekaligus kagum pada sikap para pegawai KPK itu.
Pegawai KPK bukan malaikat. Namun, setiap pegawai pada lembaga antikorupsi ini diwajibkan melaksanakan kode etik tanpa toleransi sedikitpun atas penyimpangannya. Akan dikenakan sanksi tegas bagi pegawai KPK yang melanggar. Itulah mengapa para pegawai KPK itu tetap membayar minuman demi menghindari gratifikasi sekecil apapun (Lihat Pasal 12 B uu No 20/2001 tentang Gratifikasi). Mereka wajib menjunjung tinggi kode etik profesi sebagai pegawai KPK demi menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas. Pun menjaga integritas, yakni bersikap, berperilaku, dan bertindak jujur terhadap diri sendiri dan lingkungan.
Belajar dari Antasari Azhar
Pada 27 Mei 2008, ketika masih menjabat Ketua KPK, Antasari Azhar pernah berkunjung ke Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Dari Tanjungpinang, Antasari singgah di Kota Batam. Kehadiran Antasari di Batam sempat menimbulkan masalah dugaan pelanggaran kode etik. Bahkan masuk dalam 17 poin pelanggaran kode etik yang dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Bagian Pengaduan Masyarakat dan Pengawasan Internal KPK, tahun 2009 silam.
Saya ingat persis, ketika itu Pemimpin Redaksi kami di Harian Tribun Batam memerintahkan beberapa reporter dan fotografer untuk membuntuti dari jauh ke manapun Antasari bergerak. Begitu tiba di Pelabuhan Ferry Telaga Punggur (dari Tanjungpinang), seorang pengusaha sudah menyambut dengan mobil mewah dan pintu mobil sudah dibukakan untuk Antasari. Sang Ketua KPK tidak menolak secara langsung, melainkan dia berputar menjauhi mobil itu kemudian menumpang sebuah taksi.
Beberapa rekan kami membuntuti taksi tersebut yang meluncur menuju restoran Sri Rejeki, Nongsa. Di restoran itu Antasari bertemu dan berbincang dengan dua pengusaha Batam yang bergerak di sektor properti. Pertemuan itu diabadikan oleh fotografer kami. Tetapi tidak jelas apakah mereka menjamu Antasari makan siang atau tidak, karena momen tersebut dipotret dari jarak cukup jauh. Meja makan pun tidak terlihat karena terhalang oleh dinding yang menutupi setengah bagian bangunan restoran dimaksud.
Pertemuan itu kemudian ditafsirkan oleh sejumlah pihak bahwa Antasari telah dijamu makan siang oleh para pengusaha di Batam. Antasari mengakui pertemuan itu, namun membantah dijamu makan siang. Menurut Antasari, dirinya bersedia bertemu dua pengusaha itu untuk mendengar keluhan mereka bahwa pengusaha/investor di Batam sering dipersulit.
Perhatikan kasus itu. Hanya bertemu dan berbincang dengan pihak yang diduga bermasalah saja, seorang pegawai KPK, dalam hal ini Antasari Azhar, telah dipersoalkan oleh publik. Di sini publik menganggap Antasari telah melanggar poin kedua kode etik yang mengatur tentang interaksi Pegawai KPK, yakni “Melakukan kegiatan lainnya dengan pihak-pihak yang secara langsung atau tidak langsung yang patut diduga menimbulkan benturan kepentingan dalam menjalankan tugas, kewenangan, dan posisi sebagai Pegawai Komisi.”
KPK memasang standar sangat tinggi terhadap para pegawainya dan sejauh ini hanya sedikit kasus pelanggaran kode etik yang terdengar dari komisi antirasuah itu. Dan mata publik memang lebih tajam menyorot tindak-tanduk mereka. Bandingkan bila yang melakukan pertemuan dengan dua pengusaha itu adalah petinggi dari institusi penegak hukum lainnya. “Akh... sudah biasa!” (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H