“When there is much pretension, much has been borrowed; nature never pretends.” Johann Kaspar Lavater – Teologian
“Dimana banyak kepura-puraan, banyak yang telah dipinjamkan; alam tidak pernah berpura-pura.” Johann Kaspar Lavater – Teolog
Pilpres 2014 telah dilaksanakan. Pesta demokrasi berjalan dengan tenang dan damai, meski di beberapa tempat tetap terdengar beberapa ketidaklancaran dan keanehan-keanehan yang cenderung menjadi suatu kecurangan.
Setelah pemilihan dilaksanakan dan TPS ditutup, maka kegiatan selanjutnya adalah menunggu hasil quick count untuk mengetahui siapa pemenang pilpres 2014, apakah pasangan nomor 1 atau nomor 2. Saya melihat, menunggu hasil quick count adalah hal yang sangat normal. Hal ini sudah terjadi berkali-kali, baik di dalam pemilihan presiden sebelumnya, pemilihan kepala daerah, dan terakhir pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang berlangsung belum lama. Bahkan, sebelum pemilihan presiden, pemilihan legislatif telah dilaksanakan, dan hasil quick count tidak berbeda jauh dengan hasil resmi dari KPU.
Sejak awal saya memperhatikan quick count, dari tahap ke tahap. Pasangan Jokowi – JK selalu unggul. Sampai kepada pemasukan data sebesar lebih dari 80%, pasangan Jokowi – JK memperoleh suara yang lebih tinggi dibandingkan Prabowo – Hatta. Setelah melihat data melebihi 80%, saya yakin dalam hati saya bahwa Jokowi – JK menang pemilihan presiden tahun ini. Mengapa? Karena ada beberapa lembaga survei kredibel (termasuk TVRI) yang memenangkan pasangan Jokowi – JK, di antaranya LSI yang sudah cukup saya kenal. Saya yakin di banyak pihak juga telah mengenal LSI. Selain itu, berdasarkan pengalaman saya terhadap pemilihan-pemilihan sebelumnya, hasil LSI kredibel dan memiliki margin yang sangat tipis dengan hasil resmi yang biasanya diumumkan. Tidak lama kemudian saya membaca berita di detik.com bahwa kubu Jokowi – JK telah melakukan deklarasi kemenangan hasil pilpres 2014. Saya bahagia melihat berita tersebut. Sejak awal, saya mempunyai keyakinan bahwa kubu Jokowi – JK akan memenangkan pilpres meski dengan margin yang tipis.
Yang mengejutkan, setelah jam 3 sore, pada saat saya tiba di rumah orang tua saya, saya mendengar dari kakak saya bahwa kubu Prabowo – Hatta baru saja mendeklarasikan kemenangan di dalam pilpres. Saya kaget. Pikiran pertama saya, atas dasar apa mereka mendeklarasikan kemenangan tersebut? Apakah bisa hasil survei ditafsirkan secara berbeda ataukah hasil survei tersebut ditolak dan memutuskan sendiri hasil pilpres? Ternyata, setelah saya mendengarkan berita di televisi, kubu pasangan nomor urut 1 ini mendeklarasikan kemenangan dengan dasar 3 lembaga survei, yaitu LSN, Puskaptis, dan JSI. Dua lembaga survei memiliki margin yang sangat tipis, meski tetap memenangkan kubu Prabowo. Namun, ada satu lembaga survei yang mempublikasikan hasil dengan margin hampir 5 persen, dengan kemenangan kubu Prabowo. Sungguh aneh dan membingungkan. Mengapa bisa ada perbedaan hasil? Kemudian, dilihat dari sisi media televisi, rujukan lembaga survei yang digunakan juga berbeda-beda. Namun, mayoritas hasil lembaga survei telah jelas memenangkan pasangan Jokowi - JK.
Tidak lama setelah itu, muncul keterangan dari Direktur Eksekutif PolTrack Hanta Yudha bahwa sebelumnya PolTrack telah dikontrak oleh salah satu televisi swasta. PolTrack kemudian menolak menjadi bagian dari lembaga survei karena adanya kemunculan tiga lembaga survei secara tiba-tiba. PolTracking lalu mempublikasikan hasil survei yang mereka lakukan melalui acara Mata Najwa malam ini dengan hasil kemenangan kubu Jokowi. Cerita di balik tiga lembaga survei ini menjadi semakin seru. Belum lagi, perbedaan hasil survei yang dijadikan rujukan oleh media-media televisi. Yang sangat kontras adalah antara RCTI dan TVOne di satu pihak dan media-media televisi lain di lain pihak.
Saya penasaran dan coba untuk mencari nama-nama lembaga survei tersebut pada daftar lembaga-lembaga survei yang telah terdaftar di KPU. Namun, saya tidak menemukan ketiga lembaga survei tersebut. Tidak lama kemudian, diberitakan bahwa Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia) juga turut mempertanyakan perbedaan hasil survei dari ketiga lembaga tersebut dan akan melakukan audit.
Yang menjadi perhatian dan pikiran saya adalah, mengapa elite-elite politik, yang terdiri dari orang-orang terpelajar, tidak bersikap elegan? Mengapa berpura-pura? Mengapa mengelabui rakyat? Mengapa terus berusaha menutup mata dan justru berpotensi memutarbalikan fakta? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkecamuk di dalam diri saya dan saya sangat kecewa melihat ada satu kubu yang tidak mau (bukan tidak bisa) menerima kenyataan. Tindakan mereka, menurut saya, hanya akan memecah belah rakyat. Tindakan-tindakan seperti itulah yang akan memprovokasi rakyat Indonesia dan berisiko menciptakan konflik di kalangan masyarakat.
Kejadian hari ini membawa saya kembali kepada kenangan quick count pilkada DKI Jakarta. Saat itu, saya ingat, setelah quick count jelas memenangkan Jokowi, meski belum mencapai 100%, Foke menelpon dan mengucapkan selamat kepada Jokowi atas kemenangan yang diraih. Saya kagum dengan sikap Foke yang elegan dan legowo terhadap kekalahannya. Sikap seperti Foke-lah yang saya ingin lihat dari para elite-elite politik. Namun, ternyata yang dipertontonkan adalah sikap yang merendahkan harkat dan martabatnya sendiri. Sungguh menyedihkan! Semua elite-elite politik bermain sandiwara, berdagelan, berpura-pura, bertepuk tangan, bernyanyi-nyanyi seolah-olah itulah kebenaran yang sesungguhnya. Seorang anak kecil sekalipun tidak melakukan hal itu. Ternyata, seorang dewasa, terpelajar, dan mempunyai tingkat kemakmuran yang di atas rata-rata, melakukan hal-hal yang kekanak-kanakan. Saya langsung teringat pada suatu kutipan, “An adult is a deteriorated child.” “Orang dewasa adalah anak yang memburuk”.
Hasil KPU didengung-dengungkan dan ditunggu-tunggu. Saya yakin semua pihak menyepakatinya. Namun, jika dilihat dari track record dan pengalaman pemilihan-pemilihan sebelumnya, telah jelas bahwa perbedaan margin hasil quick count dengan real count akan sangat tipis. Tidak perlu berpura-pura atau bersandiwara lagi. Jadilah seorang negarawan. Jadilah seorang warga Negara yang baik. Saya pikir itu yang penting, lebih penting dari kepentingan golongan atau kelompoknya.
Semoga bangsa Indonesia mendengarkan suara hati mereka dan menyadari serta menerima kebenaran yang sesungguhnya. Jangan sampai kita mau dipecah-belah! Mari kita lupakan yang telah berlalu, dan menatap masa depan yang lebih baik bersama!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H