Mohon tunggu...
eddy lana
eddy lana Mohon Tunggu... Freelancer - Eddylana

Belajar menjadi tukang pada bidang yg dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jalan Terakhir

29 September 2021   12:43 Diperbarui: 29 September 2021   12:50 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Lelaki tua itu masih melangkah tertatih, walau sebelah dari kakinya sudah harus sedikit diseret. 

Hari masih agak gelap dan gaung suara azan pun sudah lama melenyapkan. Sejenak kedua bibirnya mengurai se-cubit senyum. Di kepala nya mereka-reka apa reaksi yang akan terjadi apabila "mereka" mendadak menyadari bahwa lelaki lanjut usia yang selama ini tinggal bersama mereka telah raib dari rumah. 

"Mereka" mungkin masih asyik terbuai mimpi, ketika dirinya keluar sembunyi-sembunyi dari rumah besar yang selama ini di huni bersama "mereka"

"Mereka" adalah ( kedua anaknya yang telah berkeluarga, serta cucu-cucunya yang selalu membuat nya kerap tertawa karena kenakalan anak-anak ). 

Ini bukanlah keputusan yang mendadak. Dia sudah memikirkan hal seperti ini mungkin sepuluh tahun dibelakang sebelumnya. 

Menjadi tua serta tak berdaya bukanlah pilihan. Lelaki tua itu paham sangat dan amat mengerti. Paham, bila suatu waktu kelak hal seperti ini bakal terjadi di dirinya. 

Tak lagi ada mata melirik atau menyapa seperti dulu saat tulang-tulangnya masih kuat ber aktivitas.  Sewaktu kekuatan fisiknya masih sangat diperlukan untuk menafkahi keluarganya. 

Tugasnya dirasa usai sudah. Kedua anaknya telah berkeluarga dan masing-masing sudah mempunyai putra dan putri. 

Sebenar nya, tak ada alasan untuk lelaki lanjut usia itu untuk ber buat seperti ini. Yaitu meninggalkan rumah besar dimana selama ini dirinya diperlakukan sebagaimana mestinya. 

Padahal kedua anaknya selalu memperhatikan dirinya. Tak bosan mereka selalu bertanya jika ada sesuatu yang misalnya dibutuhkan. Tetapi tetap saja ada rasa yang mengganjal di dada nya. 

Bisa saja kedua anaknya hanya berpura-pura seperti sangat memperhatikannya, walau mungkin mereka sebenarnya merasa terganggu dengan kehadirannya. Begitulah rasa curiga yang selalu me ngerancu di pikirannya. 

Apalagi, isteri mereka bukanlah anak kandungnya. Bisa juga para istri mereka sebenarnya ikut terganggu oleh kemunduran fisik tuanya yang juga kerap dirasa menimbulkan kerepotan-kerepotan.

Misalnya, belakangan ini ketika tidur dia kerap  pipis tanpa sadar. Atau memasak air untuk mandi tetapi lupa mematikan kompor sehingga menyebabkan dasar panci bolong terbakar. Sesekali juga dia lupa menutup kran air di kamar mandi. 

Pada akhirnya kesimpulan-kesimpulan itulah yang membulatkan semua rasa curiga yang selama ini seolah muncul satu demi satu. 

Sudah setahun ini dirinya terpaksa menerima keadaan. Kakinya yang harus tertatih jika melangkah, ruas tulangnya pun kerap dirasa kian ringkih. Belum lagi, tubuhnya yang terkadang kerap menggeletar dan mengganggu tidurnya. 

Kini, lelaki tua itu sampai pada sebuah keputusan  terakhir nya. Sudah tiba waktu baginya untuk meninggalkan rumah dan pergi sesuai dengan apa yang telah dipikirkan dan direncanakan nya sejak sepuluh tahun lalu. 

Berpikir hal itu, sejenak bibirnya membentuk sebuah senyum kecil. Ya nyaris sudah sepuluh tahun ini di kepalanya telah berlangsung proses tentang apa yang harus dilakukan, andai ketidak berdaya-an bagai di-rasa mengejek di setiap detik kehidupannya. 

Sementara itu langkahnya yang tertatih masih ter-ayun lemah menapak jalan yang menuju jalan utama. Dan tepat di jalan Utama nanti, diseberang mulut jalan ini ada sebuah halte kumuh. Dimana dia bisa menunggu sebuah angkutan Kota yang memang biasa mondar-mandir seliweran  pada jalan utama ini. 

Halte itu bahkan sudah ditandai dengan sebuah garis bulatan merah spidol pada selembar kertas road-map rencana nya. Dan ditambah lagi sebuah bulatan merah yang menandai sebuah Terminal Bus di Kota ini yang akan dicapainya nanti dengan tumpangan angkot itu. 

Si lelaki tua kembali tersenyum kecil, jauh dalam hatinya dia memastikan bahwa tak ada rasa penyesalan dibalik kepergiannya ini. Semua telah diperhitungkan. 

Tak semua orang berani melakukan tindakan seperti apa yang dilakukan nya saat ini. Dahulu, semasa muda, lelaki itu adalah pemuda petarung jalanan. Dan mati baginya cuma lah sebuah kepastian. 

Dia termasuk korban poligami yang dilakukan Ayahnya, ekses dari i sebuah keluarga broken home. Sebagai anak pertama dia sempat dibanjiri kasih sayang oleh Ayahnya. 

Dan semua kasih sayang itu mendadak lenyap saat Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Dia Depresi, apalagi ditambah oleh penderitaan Ibunya yang seolah tak mampu menerima kenyataan itu. 

Sejak itulah, dia malang- melintang menghabiskan masa remaja nya secara ugal-ugalan, Minum, berkelahi dan semua kelakuan negatif lainnya. Dia pernah mengalami keberanian yang maksimal plus dibarengi ketakutan  yang maksimal juga. 

Untung saja, pelariannya yang gelap itu lenyap saat seorang gadis mampu meluluhkan hatinya. Dia menikahi perempuan itu, dan bertekad dalam hati tak akan mengulang kelakuan Ayahnya untuk ber-bini lagi. 

Sayangnya, dua belas tahun yang lalu sang isteri harus pergi lebih dulu akibat penyakit gula yang kronis. Kala itu, dia sempat limbung, kehilangan pendamping  yang sangat dikasihi nya. Untungnya cucu-cucu manisnya telah hadir dan sempat menghibur dirinya dari kepergian sang isteri. 

Nah! Tanpa sadar langkahnya telah sampai di mulut jalan kecil yang bermuara ke jalan utama. Dan diseberang sana, sebuah halte berdiri seolah menanti kedatangannya. 

Menumpang angkot dia akan sampai ke terminal. Lalu dia akan memilih Bus mana yang akan dinaikinya, dan  pilihannya sudah terbenam di kepalanya, sesuai dengan rencana seperti di road-map nya. 

Seperti rencana yang telah lama berkubang di kepalanya itu. Bus yang ditumpangi nanti akan melewati sebuah kawasan hutan jati, dimana dia akan turun disitu dan melaksanakan niatnya.

 Tangannya meraba kedalam tas ransel yang dibawanya. Cuma memastikan bahwa semua yang dibawanya masih ada disitu, selembar plastik tebal transparan berukuran 3×3 serta sejumlah makanan dan air minum. 

Ditengah hutan nanti, dia akan menggelar plastik 3×3 nya dan menggunakannya sebagai tempat berbaring nya yang terakhir. Ya yang terakhir, desisnya  mantap dan yakin. 

Makanan yang dibawanya cuma cukup untuk hari ini. Lalu, setelah itu dia mulai berpuasa. Lelaki tua itu telah mem-perhitung kan, setelah tubuh kurusnya tak makan selama beberapa hari pasti kesadarannya lambat laun bakal menghilang. Dan dia pasti akan mampu melewati proses itu sampai kematian datang menjemput. 

Jauh di dalam hatinya, dia meminta maaf pada kedua anaknya, atas perbuatannya yang mungkin akan memukul perasaan  mereka. Cuma ke kukuh-an tekad untuk tak membuat susah anaknya saja yang telah membulatkan niat itu di dadanya. 

Dan selembar surat yang diletakkan di dalam kamarnya pasti akan membuka pengertian mereka, pada alasan dibelakang perbuatan Ayahnya ini. 

Anak  dan cucu yang kusayang

Maafkan Ayah sebelumnya. Karena pergi tanpa izin dari kalian. Ayah sangat mencintai kalian. Itulah sebabnya Ayah harus pergi agar tak merepotkan kehidupan kalian. 

Sebelumnya Ayah ingin mengucap Terima kasih atas penerimaan kalian pada diri Ayah selama ini. 

Kemampuan fisik Ayah belakangan ini semakin anjlok. Sehingga Ayah merasa, bahwa ini adalah saat yang tepat untuk pergi. 

Percayalah Ayah melakukan ini semua dengan perasaan ikhlas dan legowo.  Tak ubah seperti hari kematian yang cepat atau lambat pasti akan Ayah terima. 

Ttd

Ayah yang selalu menyayangi kalian. 

NB:  Handphone dan semua identitas Ayah , di letakkan diatas meja. 

 Di atas Bus yang melaju, wajahnya tak beralih dari kaca jendela. Rumah-rumah dan semua pemandangan dibalik kaca itu seolah berlarian saling mengejar. 

Sejenak hidungnya menghirup setarikan nafas panjang, lalu menghembuskan nya dengan sebuah sentakan pendek, seakan ingin menghempaskan sesuatu yang selama ini telah mengendap lama dari dadanya. 

Kemudian yang di nantinya tiba. Pemandangan diluar kaca jendela kini berganti dengan pohon pohon jati. Berarti tempat yang ditujunya telah tiba. 

Hutan jati itu cukup lebar dan terhampar cukup panjang di tepian kiri jalan. Tak lama kemudian dia meminta sang Kondektur untuk berhenti. 

Bus itu kemudian melaju kembali, meninggalkan si lelaki tua yang sejenak termanggu. Pandangnya bergerak kian-kemari seakan mencari sesuatu. 

Sampai akhirnya, bentuk sebuah gardu sederhana tertangkap samar oleh matanya yang memang sudah kurang awas. 

Nah itulah penanda bahwa dia telah sampai tepat di tengah perkebunan itu. Dari gardu itu kakinya akan di langkahkan masuk sampai area dimana kumpulan semak masih rimbun. Lalu belok ke kiri atau kekanan, mencari lokasi yang dianggapnya tepat untuk melakukan niatnya. 

Tiba-tiba secercah suara jernih dan bening menghentak didinding telinga nya.  Dan suara itu rasanya tak asing bagi telinganya. 

 "Kakek.. Kakek..!! "

Kepalanya pelahan menoleh kebelakang. Hentakan rasa terkejut seketika menyentak ingatannya. 

Dan didepan matanya, terlihat malaikat-malaikat kecilnya sedang berlari kearahnya. Kedua tangan mereka terbuka lebar,tiga orang cucu nya denan segera memeluk tubuhnya. 

Orang-tua itu masih terpana. Telinganya sudah sedikit tuli dan tak mendengar sama sekali saat tadi sebuah mobil berhenti tak jauh dibelakang nya. 

Di depan mobil berdiri kedua anak dan isterinya. Bibir mereka seakan hendak tertawa saat pandang mereka bertemu. Anak pertamanya maju mendekati. 

" Bapak mau kemana? " Tanya nya sambil tersenyum. Anak keduanya ikut menghampiri. 

" Kami sudah tahu rencana bapak semua. Road map bapak sudah kami baca sejak lama " Tambahnya menyusul pertanyaan kakaknya. 

Tiba-tiba perasaan bersalah memenuhi dada si lelaki tua. Kepalanya menunduk seolah malu, membiarkan kedua anaknya memeluk tubuh ringkih nya. 

" Bapak jangan berpikir negativ, kami tak akan menghapus pengorbanan bapak untuk menghidupi dan memperlakukan kami. Seumur hidup pun kami tak akan mampu membalas budi bapak" Ujar anak pertamanya lirih. 

" Kami sudah mengikuti bapak sejak bapak naik angkot" Jelas seorang menantunya. 

" Bapak janji ya, tak akan meninggalkan kami lagi. Dan perlu bapak ingat dalam hati, bahwa kami sangat menyintai dan ingin mengurus bapak sebagaimana bapak dan ibu dulu mengurus kami. "

Si lelaki tua termanggu, menundukkan badan sedikit dan memeluk cucunya. Dia tak mampu menahan air mata nya saat melihat di kedua bola mata kedua anaknya digenangi lelehan air mata. 

Dan dia tak mampu lagi menahan isak tatkala kedua menantu nya mendekat di-iring wajah penuh kasih. 

Lelaki tua itu tak menolak saat dia digiring menuju mobil. Sementara kedua tangannya ditarik oleh dua cucunya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun