Mohon tunggu...
eddy lana
eddy lana Mohon Tunggu... Freelancer - Eddylana

Belajar menjadi tukang pada bidang yg dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mungkinkah Bunga Itu Bersemi Kembali?

17 Juli 2021   23:00 Diperbarui: 17 Juli 2021   23:28 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Glance - Diolah dari sumber ilustrasi facebook.com/RuthPearsonUK

Astrid cuma menatap heran disertai sedikit tanya dikepalanya, ketika Arman memarkir mobilnya tepat dipinggir trotoar. Mobil itu terparkir tepat di seberang sebuah rumah bertingkat. 

Arman menatapnya dalam bisu membalas keheranan Astrid, lalu kepalanya tertunduk, bagai enggan membalas tatapan keheranan Astrid. 

Astrid memalingkan wajahnya kearah seberang. Dimana, dari posisi duduknya, Astrid bisa melihat keseluruhan rumah itu. 

Sebuah rumah besar berlantai dua dengan halaman cukup luas, dengan dinding tembok setinggi dua meter terpentang memagari nya. Tepat dibagian tengah dinding tembok itu terdapat pintu geser tak kasatmata dengan tinggi yang sama dan lebar delapan meter. 

Astrid menghela nafasnya panjang. Tak ada satupun dari detail rumah itu yang berubah. Dua buah pohon kelapa Kate' masih berdiri gagah dihalaman nya disertai pelepah nya yang kehijauan bercampur sedikit warna kuning tua. 

Semua seperti dulu. Malah dinding tembok halaman dan pintu geserpun, walau kentara sekali telah di cat baru tetapi masih memakai warna yang sama. 

 Perempuan itu menggigit bibirnya, dan tak mampu menahan saat sebulir air tiba-tiba menggelincir dari balik kelopak matanya. 

Lalu, tanpa dapat dibendung curahan airmata mengalir dari kedua belah kelopak matanya. Tubuhnya terlihat tersentak-sentak menahan luapan emosi yang sekonyong seperti sebuah terjangan gelombang dahsyat. 

Cukup lama, wanita itu terperangkap dalam genangan emosinya. Untunglah, kaca mobil yang agak gelap melindungi nya dari tatapan mata pelalu-lalang yang lewat disisi mobil. 

Dan Astrid tak bereaksi ketika beberapa tepukan lembut menyentuh bahunya . Sebuah sentuhan yang baru kali ini dilakukan Arman kepadanya sejak pertama mereka saling kenal. 

Dulu, rumah itu adalah miliknya. Sebuah tempat, dimana berjuta kenangan manis pernah singgah nyaris selama hampir empat puluh tahun didalam kehidupannya. 

Rumah itu cukup besar, dua orangtuanya tinggal satu atap bersama keluarga kecil mereka. Suaminya Johan adalah seorang konsultan yang mempunyai klien tak sedikit dan sangat dikenal reputasinya. 

Jadi, secara materi mereka tak punya masalah dengan melemahnya ekonomi akibat pandemi. Tetapi wabah itu sangat membuat mereka khawatir. 

 Berita mengganasnya pandemi makin menyita seluruh perhatian masyarakat. Menciptakan kengerian tersendiri. Akhirnya, mereka sekeluarga memutuskan untuk mengisolasi diri secara mandiri. 

Bukan hanya itu, bahkan prokes super ketat, telah dilakukan mereka sejak bulan pertama ditahun wabah ini mulai merebak. 

Merekapun menabukan keluar rumah tanpa hal yang sangat penting. Apalagi halaman rumah cukup luas untuk sekadar berolah raga ringan. 

Teknologi informasi demikian pesat. Sejak lama keluarga mereka pun telah terbiasa memesan apa saja secara on line, berbelanja kebutuhan dapur, cemilan, bahkan sayur mayur dan lainnya. Jadi ketika isolasi ini dipraktekan, tak lagi membuat mereka kikuk. 

Suaminya juga menerima usulannya untuk work from home. Lagi-lagi tekhnologi membantu hal itu. Secara visual Johan bisa berbincang melayani keperluan konsultasi para kliennya ataupun untuk hal lain. 

Rangga, anak lelakinya yang berumur 13 tahun. Sepertinya juga tak memprotes dengan prokes ketat keluarga mereka. Cuma ada sekali, Rangga pernah melontar tanya. 

" Apakah hidup di dalam penjara seperti ini juga Bunda? " Astrid tersenyum mendengarnya. 

" Bunda terlalu sayang pada keluarga kita, dan Bunda tak mau kebahagiaan kita direngut oleh wabah tak kasat mata itu " seperti kaset yang yang diputar berulang, dia kerap mengatakan kalimat itu pada anaknya, tiap kali Rangga menunjukkan rasa bosannya. 

Sampai pada suatu kenyataan, terkadang harapan bisa bertolak belakang dari apa yang diinginkan. Tiba-saja Astrid merasa harus memutuskan sesuatu. 

Beberapa bulan setelah merasa berhasil melakukan isolasi keluarga. Dia menyesali bahwa tindakannya yang mengeluarkan ART sebelum nya bukanlah  hal bagus. 

Padahal maksudnya cuma agar ART itu tak menjadi sumber penyebaran wabah yang ditakuti nya. ART sebelumnya adalah warga setempat yang datang pagi dan pulang sore. 

Ibunya yang menderita struk ringan memerlukan perhatian. Begitu pula Ayahnya yang beranjak Lansia. Astrid sungguh merasa cemas

Sudah dua minggu ini, Astrid didera  rasa kelelahan. Melayani kedua orangtuanya dengan situasi keadaan mereka, ternyata cukup menguras tenaganya. 

Seminggu kemudian, seorang ART baru telah mulai hadir dirumah besar mereka. Seorang gadis muda dari kampung seberang. Dengan perjanjian tiga bulan sekali baru boleh pulang. 

Astrid sengaja mencari ART yang telah menjalani dua kali vaksinasi, dan dia membiayai swab pcr ART  itu sehari sebelum masuk kerumah mereka, hasilnya negatif. 

Dia memang sengaja mencari orang yang sudah divaksin dua kali. Walau menghabiskan waktu bertele-tele dengan orang dari Biro pencari ART, akhirnya semua beres. 

Dua bulan berjalan, Astrid sekarang merasa lega.  Kini dia bisa sedikit berleha-leha dengan hadirnya ART baru. Dia bisa ngobrol ngalor-ngidul dengan sobat-sobat akrabnya, atau meluapkan aktivitas nyinyirnya di seliweran jejaring sosial. 

Tetapi, suatu hari dia mendapati, Ibunya mendadak batuk-batuk disertai demam. Langsung saja rasa curiga nya tertuju pada virus yang mewabah itu. 

Jantungnya bagai tersentak saat dokter Klinik yang dikunjungi memberikan berkas hasil tes swab dari ibunya. Oh Tuhan, beliau positif Covid19. 

Dan malapetaka itu tak ubahnya seperti sebuah kutukan dalam kisah-kisah di sebuah buku dongeng. Empat penghuni rumah ternyata dinyatakan terpapar dan positif. 

Kedua orangtuanya serta suaminya dan Rangga putra semata wayangnya, mereka harus segera diboyong kerumah sakit. 

Logikanya seperti terpasung, benaknya seolah tak mampu lagi berpikir, mengapa virus ini mampu menginfiltrasi ketubuh manusia secepat itu. Padahal mereka sangat ketat untuk tak kontak dengan siapapun. 

Astrid begitu naik pitam, saat mengetahui ternyata si ART sering menjumpai pacarnya didepan rumah. Padahal sudah ada perjanjian tak boleh keluar dan pergi kemanapun bagi si gadis ART. 

Tanpa pikir panjang, dia mempersilahkan ART itu untuk keluar dari rumahnya. Tanpa tes swab, Astrid berani memastikan bahwa gadis itu setidaknya OTG. Hampir sebotol disinfektan habis untuk menyemprot kamar eks ART nya dan beberapa botol lagi diseluruh rumah. 

Astrid begitu panik, bagaimana tidak? Suaminya komorbid dengan komplikasi diabetes yang walau terkendali, tetapi membuat hatinya cemas. Ayahnya pun memiliki riwayat hipertensi. 

Kecemasannya ternyata terbukti. Empat orang yang sangat dicintainya, tak mampu melawan keganasan virus bedebah tersebut. Berturut-turut mereka meninggalkannya. Dan  dia tak bisa menerima kenyataan itu. 

Dunia seperti kiamat, sebuah dinamit super dahsyat telah menghancurkan gundukkan batu karang dihatinya. Lama wanita itu terpuruk dalam kesendiriannya. 

Dan setelah itu semuanya luruh bagai tenggelam ke sebuah Samudra yang kelam, sunyi dan sepi. Ketika matanya membuka, tubuhnya sudah berada diatas tempat tidur disebuah Klinik besar. 

Kerabat dari Johan suaminya mengatakan betapa dirinya tak siuman selama dua hari. Astrid sama sekali tak bereaksi mendengar hal itu.  Matanya kosong menatap selang infus yang melekat dilengannya. 

Dua bulan  Astrid  berjuang melawan rasa putus asa yang dirasa hendak mencengkram nya. Berkian kali pula dirinya bolak-balik ke dokter untuk pemulihan kesehatannya, serta beberapa kali juga dia memaksakan diri untuk konseling ke seorang psykiater. 

Dihari pertama pada bulan ketiga, Astrid merasa kesehatannya kembali seperti semula. Cuma, ada sesuatu yang mengganjal dikepalanya, rumah itu selalu membangkitkan kenangan menyedihkan. 

Astrid sungguh tak tahu, apa yang harus diperbuatnya setelah rumah itu terjual. Untung saja seorang pria dari agen property yang membeli rumahnya memberinya pandangan dan saran, agar untuk sementara menghuni disebuah kamar apartemen. 

Astrid berdiri dibalkon kamarnya yang terletak di tingkat tiga sebuah Apartemen. Dari teras itu, pandangnya bisa menangkap setiap inchi kesibukan dibawahnya. 

Hilir mudiknya Bis kota,  mobil pribadi, motor-motor di jalur lambat. Serta lalu-lalangnya manusia dengan semua kesibukkannya. Seolah sebuah hiburan yang mengisi kepalanya, dan mengusir bayang-bayang pekat dan kegalauan yang selama ini selalu mengusik dirinya. 

 Setahun sudah dia tinggal di apartemen ini. Dia menyetujui saran seseorang untuk memilih hunian model begini. " Disekitar area ini banyak ke sibukkan, sedikit banyak bisa menghilangkan kesedihan ibu. " demikian sarannya pada Astrid. 

Disa menerima saran itu setelah berpikir dan observasi agak lama. Memang, saat itu dirinya selalu menghalau apa saja yang sekiranya dipikir bisa membangkitkan rasa sedihnya. Itulah sebabnya, dia hanya membawa sejumlah kecil barang pribadi dari eks rumahnya. 

Jadi, pertimbangan situasi ditempat barunya, yang kemungkinan bisa mengurangi kesedihannya bisa diterima. Dan nyatanya sudah setahun ini dia menghuni kamar apartemennya. 

Tiba-tiba suara dering telpon terdengar, terburu Astrid masuk dan menyambar HP nya. Panggilan dari Arman. 

" Ya.. ada apa Arman? "

" Punya waktu gak buat jalan keluar? Yah sekadar menikmati luang sebelum senja.? "

" Boleh.. " Astrid menerima tawaran Arman, pria agen property yang dahulu memberi saran agar sementara tinggal di apartemen. Dan kini sudah dianggap menjadi kawan dekatnya. 

Astrid bukan wanita dungu, sebelumnya, dia sudah mulai mempelajari dan menilai. Apa dibalik sikap baik pria itu pada dirinya. Adalah maksud tertentu. 

Arman pernah mempunyai seorang isteri dan seorang putra, tetapi Tuhan berkata lain. Istri dan putranya lebih dulu meninggalkannya, mereka berdua wafat mendahuluinya. Dan setelah itu Astrid serasa enggan untuk menggali lebih jauh. Yang penting Astri tak mau apabila nanti dianggap seorang pelakor. 

" Rumah itu belum ku jual, masih di huni oleh Pengontraknya. Aku ingin menghadiahi nya kepadamu, andai kau bersedia untuk mendiami nya kembali. " sekonyong suara Arman menyelak keheningan diantara mereka. 

Sejenak hati Astrid berdegup kencang. Arman mulai membuka wajahnya, celetuk Astri dalam hati. Rumah berharga sekian milyard ingin dihibahkan begitu saja kepadanya? Tidakkah telinga nya yang salah dengar, atau? 

" Tak percaya, jika rumah itu kuserahkan pada mu andai kau mau? " seperti tahu jika Astrid tak percaya pada ucapannya, Arman berucap lagi seolah menegaskan. Lalu, tanpa menunggu reaksi Astrid, lelaki itu menjalankan mobilnya. 

Bibir Astrid bagai terkunci. Benaknya berputar mencari tahu, pada sikap Arman yang dirasanya terlalu membuka. 

Nyaris setahun lelaki itu tak pernah sedikitpun bersikap seperti ini dengan menepuk bahunya. Mungkin maksud  nya untuk menenangkan hatinya. Tetapi Astrid berani bersumpah bahwa baru kali itulah Amran meyentuhnya. 

Ada sekira satu jam, ketika mobil itu sampai disebuah perumahan. Arman memasuki perumahan itu setelah berdialog sebentar pada satpam yang berjaga disebuah gardu. 

Akhirnya mereka berhenti disebuah rumah. Arman membuka pintu halaman dan memasukkan mobil kedalam. 

Tetapi, herannya, Arman tak keluar dari mobilnya. Malah tangannya langsung ditutupkan kewajahnya Lalu, lelaki itu terisak sambil menundukan mukanya. 

Astrid tak tahu harus berbuat apa. Diapun belum mampu menerka, mengapa Arman sekonyong bisa bersikap seperti itu. 

Tetapi tak lama, Arman memalingkan wajahnya setelah menyapukan sehelai tisu ke wajahnya. 

" Mohon maaf jika sikapku mengganggumu? "

Astrid menggeleng seraya mencoba melepas sebuah senyum. Ada sebuah perasaan aneh yang sekarang seolah membuatnya ingin sedikit lebih tahu tentang Arman dan mengapa dia bersikap begitu. 

Arman adalah seorang pengusaha property yang cukup kaya. Walau berusia tak jauh dari dirinya, tetapi kegantengan masih kentara tampak di wajahnya. 

Wanita manapun pasti tak akan menolak untuk berada disisinya setiap saat. Sekonyong, rasa malu timbul didirinya. Oh berpikir apa kamu Astrid? Astrid menundukan wajahnya, malu? 

" Kita punya nasib serupa Astrid. Isteri dan seorang anakku wafat juga karena virus itu. Mungkin dua bulan sebelum kejadian yang serupa menimpa keluargamu... " suara Arman begitu lirih, Astrid masih menundukkan wajahnya. 

" Hari ini dengan sengaja aku menciptakan suasana seperti ini. Terus terang aku masih terluka dengan kejadian yang menimpa keluargaku. Akupun tahu, suasana batinmu mungkin lebih prihatin dibanding diriku. " kali ini mencoba menengok kearah Arman dan menatapnya tajam. 

" Dan di kesempatan ini, setelah kita mengalami persahabatan panjang. Aku memberanikan diri untuk meminangmu menjadi isteriku.. "

Astrid cukup terkejut oleh permintaan Arman yang dianggapnya terlalu tergesa-gesa. Walau ada semacam surprise pada ketertarikan Arman pada dirinya. 

Mendadak wanita itu bingung pada diri nya sendiri. Apa yang harus dikatakannya pada Arman. Lelaki berada yang sekonyong ternyata menaruh hati padanya. 

Tiba-tiba terasa jemari Arman menggenggam erat jemarinya. Astrid tak berusaha menolaknya. Tetapi dalam hatinya sudah muncul sebuah sikap yang akan diberikannya pada Arman. 

Dia mungkin akan mengatakan, bahwa sampai hari ini, jiwanya nasih belum lepas sepenuhnya dari bayangan orang-orang tercintanya. 

Mungkin saja perkataannya itu akan sedikit melukai hati Arman. Tetapi dia juga akan menambahkan lagi, bahwa tidak tertutup kemungkinan baginya untuk menerima pinangan Arman. 

Dan di titik ini dia akan menambahkan kembali dengan sebuah catatan : membutuhkan waktu untuk sampai ketahap tersebut. 

Pertanyaannya, mampukah Arman menunggu ketika saat itu tiba? Sesuatu yang dia sendiri tak tahu jawabannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun