Mohon tunggu...
Effendi Sutanja
Effendi Sutanja Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya Effendi Sutanja, pensiunan, dengan hobby membaca, menulis, jogging, penyair

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masih Ada Ketulusan Di Tengah Carut Marut Ibu Kota

25 Mei 2014   02:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:08 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tiga bulan berselang saya ditugaskan Kantor ke Jakarta, tepatnya di Pasar Baru Ja-
karta Pusat.
Untuk menghemat biaya dan waktu saya menggunakan Komuter Line Bogor-Jakarta
karena di samping murah meriah juga tidak terjebak macet yang kerap terjadi.
Ketika tiba di Setasiun Sawah Besar saya menuruni anak tangga setasiun yang ter -
masuk terjal untuk orang seusia saya, dan kekuatiran saya terbukti karena penyakit
OA (osteoartritis) yang pernah saya derita dua tahun yang lalu kembali menyerang
sendi lutut bagian belakang.

Di tengah kesakitan yang amat sangat di tepi jalan yang ramai, seorang pemuda
menghampiri saya dan bertanya : "Bapak kenapa ?", mungkin ia melihat muka saya
yang pucat menahan sakit dan cucuran keringat membasahi pakaian saya.
Dengan telaten ia membimbing saya ke emperan toko sebab saya sangat kesakitan
ketika melangkah.
P (Pemuda) : "Bapak istirahat dan duduk dulu, ini minum" (sambil menyodorkan sebo
tol air mineral)
Saya terhenyak penuh curiga mengingat berita di media masa tentang kejahatan di
kota besar seperti Jakarta, tetapi pemuda ini tetap memaksa saya untuk minum dan
berkata : "Minumlah Pak, tidak apa-apa, supaya membantu menurunkan rasa kesa -
kitan Bapak ", dan saya terpaksa menuruti nasihatnya terlebih karena beberapa re-
kannya mendukung dan pemuda ini membimbing saya duduk berselonjor kaki.

P : "Bapak mau kemana ?" dan saya menjawab ada keperluan kantor di Pasar Baru
"Bisa saya bantu Pak ?" tukasnya ramah dan saya kembali was-was orang yang ba-
ru saja saya kenal tentu tidak mungkin saya langsung menaruh kepercayaan untuk
menyerahkan sejumlah uang. Dan saya menolak dengan halus sebab ada beberapa
hal yang perlu saya langsung tangani dengan pihak lain.

Ketika saya berkata bahwa saya bisa berjalan kalau ada tongkat penopang, pemu-
da itu segera pergi dan kembali membawa sepotong kayu dan memang pas untuk
saya gunakan menopang kaki yang sakit. Bukan itu saja ia memanggil ojek teman-
nya untuk mengantarkan saya ke tempat tujuan.

Dengan menahan sakit yang luar biasa saya sekuat tenaga duduk di jok belakang
ojek motor dan setibanya di Pasar Baru, tukang ojek berkata : "Sampai disini ya
Pak, nanti Bapak kembali ke setasiun banyak ojek yang lain", belum sempat saya
menjawab, ia menukas "Tadi saya hanya disuruh mengantar Bapak dan tidak usah
membayar apa-apa"

Saya termangu bukan karena penderitaan saya tetapi heran dan takjub di kota se
besar Jakarta mungkin terjadi kejahatan setiap waktu, ternyata masih ada orang
yang berhati mulia dan menolong tanpa pamrih.Dan saya pun terhenyak malu ka -
rena menaruh prasangka buruk terhadap sesama manusia.
Singkat kisah saya kembali ke Bogor setelah menelepon famili saya untuk dijemput
dan dibawa ke rumah sakit mengobati radang sendi ini.

Hari ini saya kembali ke Jakarta menggunakan kereta api dan turun di setasiun Sa-
wah Besar seperti biasa untuk tugas kantor. Dan selama dua bulan saya tidak me
nemukan sang pemuda penolong tersebut dan hari ini saya bertekad untuk menca
ri beliau sampai berhasil.

Saya bergembira karena sosok pemuda itu ternyata dapat saya jumpai setelah ber
selang tiga bulan di tempat yang sama.
Saya segera mengejarnya "Pak, pak, maaf bisa mengganggu Bapak ?"
Pemuda tersebut menoleh dan mungkin heran sebab wajahnya tidak mengenali sa
ya yang pernah ditolongnya.
Saya bertanya "Bapak pernah menolong saya tiga bulan yang lalu di tempat ini"
Ia segera menjawab "Oh, tidak, bukan, bukan saya", saya mengulangi pertanyaan
saya sambil menggenggam sejumlah uang di saku celana saya " Benar, Bapak per
nah menolong saya ketika saya sakit kaki"
Pemuda tersebut tetap menolak dan menyatakan bukan dirinya sambil berlalu ma
suk ke dalam pasar.

Saya kembali terperangah, malu, karena banyak orang yang lewat memandangi
saya dengan wajah bertanya-tanya, dan saya segera berlalu sambil meminta ma
af kepada pedagang kue yang berada di situ "Oh maaf, kalau begitu saya salah
mengenali orang"

Malam ini saya menulis kisah ini dan berdoa untuk pemuda yang saya tidak kenal
namanya, tetapi saya percaya Tuhan Yang Maha Kuasa tentu melihat dan semo
ga berkenan memberkati beliau dengan ketulusan hatinya menolong sesama ma
nusia yang tidak dikenalnya tanpa mengharap imbalan apa pun, dan malah mem
beri saya minum air mineral yang saya curigai tetapi bagi saya obat yang muja-
rab pernyataan kasih terhadap sesama manusia. Dan uang yang dibayarnya un-
tuk tukang ojek adalah pemberian yang sempurna dalam hidup saya.

Mudah-mudahan pemuda itu dapat mendengar kisah ini melalui teman-temannya
siapa tahu mereka adalah salah seorang Kompasianer yang membaca kisah nya-
ta ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun