Mohon tunggu...
Effendi Sutanja
Effendi Sutanja Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya Effendi Sutanja, pensiunan, dengan hobby membaca, menulis, jogging, penyair

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Ada Diskriminasi untuk Etnis Tionghoa?

20 Februari 2015   03:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:52 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya baru saja menyimak tayangan Kompasiana Tivi (yang masih berlangsung ketika tulisan ini dibuat) yang memaparkan kebudayaan etnis Tionghoa dalam kesempatan perayaan Tahun Baru Imlek 2566 bersama budayawan Jaya Suprana.

Dalam telewicara salah seorang Kompasianer menyampaikan pernyataan tentang diskriminasi yang masih terjadi di kalangan etnis Tionghoa dengan memberi contoh Akta-akta Kelahiran, Perkawinan yang konon masih membedakan etnis dan agama. Pembawa acara dan Bapak Jaya Suprana tidak membahas secara detil masalah diskriminasi yang dilontarkan Kompasianer tersebut.

Dalam kesempatan ini saya merasa perlu meluruskan pendapat beliau tentang diskriminasi dalam pembuatan Akte-akte khususnya untuk etnis Tionhoa, karena sejak tahun 2007 pembatasan dan pembedaan Akte sudah di-
tiadakan, sesuai dengan peraturan Pemerintah yang dituangkan dalam undang-undang.

Mungkin Kompasianer tersebut sudah lama tidak berhubungan dengan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mengurus administrasi kependudukan, sehingga beliau tidak faham pembedaan tersebut sudah ditia
dakan (dihapuskan) Kini dalam Akte Kelahiran, Perkawinan, Perceraian dan Kematian hanya dicantumkan WARGANEGARA INDONESIA atau WARGANEGARA ASING.

Sebelum tahun 2007, memang ada pembedaan antara golongan Tionghoa dengan Staadblaad 1917-130 Jo. 1919-81 dan Staadblaad 1933-75 Jo. 1936-607 untuk penduduk asli beragama Nasrani serta Staadblaad 1920-751 Jo. 1927-564 untuk penduduk asli beragama Muslim.

Sebagai catatan tambahan sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia tanggal 16 September 1998 (yang waktu itu dijabat oleh B.J. Habibie) istilah PRIBUMI dan NON PRIBUMI telah dihapuskan dan dilarang penggunaannya dalam semua perumusan kebijakan pemerintahan.

Demikian, tulisan ini saya kirimkan untuk meluruskan hasil telewicara yg diselenggarakan Kompasiana Tivi hari ini.
Salam kebhinnekaan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun