Mohon tunggu...
Effendi Sutanja
Effendi Sutanja Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya Effendi Sutanja, pensiunan, dengan hobby membaca, menulis, jogging, penyair

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Bukan Democrazy

9 Oktober 2014   21:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:42 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai sudah pesta demokrasi pilpres, yang digantikan dengan pesta egoisme
elit partai yang berhasil memberangus peraturan pemilihan langsung kepala
daerah dan konon isunya peraturan tersebut akan dilanjutkan dengan pemi
lihan presiden periode 2019-2024 yang mungkin menjadi kewenangan MPR
seperti terjadi masa orde baru.

Sebagai seorang manusia yang "buta politik", saya merasa trenyuh karena
sejak 1998 sampai penghujung tahun 2014 saya menikmati pemilihan lang-
sung oleh rakyat : memilih seorang walikota dengan wakilnya, memilih se -
orang gubernur dengan wakilnya dan puncaknya saya dua kali turut serta
memilih Presiden dan Wakil Presiden dan pilihan saya ternyata cocok.

Sebenarnya apa pun keputusan Koalisi(yang apa pun namanya) bagi saya
sama saja, kecuali mereka dapat membuktikan kesejahteraan menyeluruh
bagi seluruh bangsa Indonesia, bila sebaliknya tentu kurang cocok bila me
reka masih menamakan dirinya tergabung dalam Dewan Perwakilan Rakyat
dan Majelis Pemusyawaratan Rakyat.

Seandainya dengan perubahan iklim politik ternyata tidak membuat rakyat
sejahtera barangkali penamaan tersebut lebih cocok menjadi dewan perwa
kilan elit politik dan majelis permusyawaratan koalisi.

Mengapa demikian ?
Sebab untuk apa menamakan diri sebagai wakil rakyat yang bermusyawa-
rah tetapi sedikit pun tidak mencerminkan kehidupan demokrasi dan kese-
jahteraan bagi seluruh rakyat.

Semoga prediksi saya salah dan Koalisi apa pun sebutannya ternyata tidak
ingkar janji, mengesampingkan egoisme dan keuntungan pribadi, memeliha
ra kerukunan bangsa dan bukan fitnah bagi mereka yang berseberangan
haluan, dan sebaliknya bila demokrasi menjadi terpuruk, jangan-jangan ge
nerasi mendatang tidak akan menemukan istilah kerakyatan demokrasi te-
tapi demo "crazy" !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun