Mohon tunggu...
Eddo Richardo
Eddo Richardo Mohon Tunggu... Penulis - Mantan Jurnalis media grup Jawa Pos

Ikhtiar, Menuju kehidupan yang hakiki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Asian Games Palembang dan Pisau di Pinggang

7 Juni 2018   12:43 Diperbarui: 7 Juni 2018   13:14 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan yang dilalui alat berat dan truk untuk membangun MRT ke Stadion Jakabaring mengalami kerusakan. (Dok.Pri)

Perhelatan akbar olahraga se Asia akan digelar di Jakarta dan Palembang, Asian Games XVIII, pada tanggal 18 Agustus s/d 02 September 2018. Para atlit, official, dan masyarakat akan menyaksikan berbagai macam pertandingan dalam ajang olahraga multi event tersebut dan berbagai hiburan yang akan disuguhkan di venue olahraga akbar tersebut. Puluhan ribu orang dari 45 Negara akan memadati venue Asean Games di Jakarta dan Palembang.

Perhelatan akbar tersebut juga dipastikan akan mendongkrak perekonomian masyarakat yang dapat memanfaatkan ajang akbar tersebut untuk menampilkan berbagai olahan tangan, makanan, souvenir dan lainnya yang dapat dibeli oleh pengunjung, atlit, official, dan setiap orang yang tertarik akan barang dagangan yang ditampilkan. 

Sebelum kita sampai pada hari dan tanggal perhelatan akbar tersebut, saya ingin sedikit menyampaikan sekelumit kisah saat berada di Kota Pempek tersebut yang mana memang pengalaman yang saya rasakan memang sedikit pahit dirasa dan semoga bermanfaat bagi para pembaca yang ingin menyaksikan Asean Games di Palembang. 

Jalan yang dilalui alat berat dan truk untuk membangun MRT ke Stadion Jakabaring mengalami kerusakan. (Dok.Pri)
Jalan yang dilalui alat berat dan truk untuk membangun MRT ke Stadion Jakabaring mengalami kerusakan. (Dok.Pri)
Premanisme dan Pisau di Pinggang

Pada medio tahun 1999, lulus SMA saya melanjutkan studi di Kota Rendang, Padang, Sumatera Barat. Pada waktu itu, setiap kali hendak berangkat atau pulang, saya harus melewati Kota Palembang melewati jalur darat. Pertama kali merantau untuk menimba ilmu saya pergi sendiri tanpa ditemani orang tua dan barulah setelah sampai di tujuan dijemput oleh kerabat. Kalau dari Pulau Bangka, saya yang tinggal di Pangkalpinang harus melewati jalur darat sekitar 3 jam untuk sampai di Pelabuhan Muntok, Bangka Barat yang kemudian menumpang Kapal Ekspres Bahari yang memakan waktu 4 jam dan kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan bus yang memakan waktu 12 jam. (Jauh ya,..naik pesawat dulu tak mampu,,hhehe).

Balik ke fokus utama, sewaktu sampai di Pelabuhan Boom Baru, Palembang, saya yang masih ingusan dan anak pulau tersebut hanya bisa pasrah dan bersabar terkena premanisme. 

Sesampainya di Boom Baru, ketika hendak menuju Pool Bus, saya yang menumpang angkutan mobil  carter ternyata tidak diantar ke Pool Bus yang sebenarnya namun diasingkan dulu di sebuah agen bus yang mana harga tiket bus tersebut bisa naik sampai 2 kali lipat. 

Pembangunan MRT yang menghubungkan bandara ke Komplek Jakabaring. (dok.Pri)
Pembangunan MRT yang menghubungkan bandara ke Komplek Jakabaring. (dok.Pri)
Tak hanya itu juga, selain harga yang sudah naik dua kali lipat, saya juga bukannya mendapatkan kursi utama namun kursi tambahan yang mana sangat menyakitkan karena tidak ada sandarannya alias menggunakan kursi plastik. (Bisa dibayangkan bagaimana rasanya duduk selama 12 jam perjalanan..hiksss..). Kejadian tersebut saya alami satu kali sewaktu pertama kali merantau dan kemudian saya Alhamdulillah mendapat informasi dari kerabat bahwa ada sopir mobil rental yang tidak bermain dengan agen bus bayangan namun penumpangnya diantar langsung ke Pool Bus resmi. 

Pada waktu itu juga, Palembang terkenal dengan pisau di pinggang. Saya juga sempat melihat bapak-bapak atau yang lebih layaknya disebut preman menyelipkan pisau di pinggang. Sungguh miris melihat kondisi tersebut karena walaupun sudah ada UU darurat tahun 1951 tentang senjata tajam, namun aparat terkait tidak bisa menindaknya. Karena takut dan tak mampu melawan, akhirnya saya hanya bisa pasrah dan menerima takdir dipalak dengan bungkus tiket bus.

Pameo waktu itu memang orang Palembang terkenal dengan pisau di pinggangnya. Setiap lelaki, pastilah membawa pisau di pinggang apabila pergi merantau. Pengalaman itu saya dapatkan dari orang tua saya sendiri, yang mana Almarhum ayah saya adalah warga salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Pisau berbungkus sarung kulit selalu dibawa oleh ayah saya sedari dari bujang hingga akhirnya merantau ke Pulau Bangka. Setiap kali melakukan perjalanan, pisau selalu dibawa dengan alasan untuk pengamanan diri dan menambah kepercayaan diri padahal waktu itu ayah saya adalah salah seorang penegak hukum yang bekerja di sebuah instansi vertikal. 

Namun untunglah, pisau tersebut masih aman dan tidak ''memakan orang'' dan saat ini pisau itu tidak diketahui rimbanya karena memang kemudian pisau tersebut digunakan oleh ibuku untuk peralatan dapur. Alhamdulillah juga, selama saya pulang pergi Padang-Palembang-Bangka, tidak terkena korban pisau di pinggang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun