Namanya Amin Syaifullah.
Tahun 2013 pria berusia 46 tahun ini punya kehidupan yang baik.
Ia membuka nasi goreng gerobak yang mangkal didepan sebuah komplek perumahan
di Tangerang, Banten.
Nasi gorengnya termasuk laris, setiap hari ia menghabiskan hingga tiga bakul nasi
dan belasan bungkus mie.
Amin pandai memasak, lagipula ia tidak pelit dengan bumbu.
Amin juga selalu memasak mie atau nasi gorengnya hingga matang, dengan api yang tak terlalu besar
sehingga bumbu bumbunya meresap kedalam masakannya.
Nasi goreng Amin porsi nya besar dengan harga relatif murah.
Nasi goreng telur sepiring hanya 9000 rupiah saja.
Tak heran pelanggannya terus bertambah, tak heran juga pemakaian gasnya relatif boros.
Setiap hari ia bisa menghabiskan 1 tabung gas besar 12 kilogram.
Hidupnya cukup makmur, dengan penghasilan bersih sampai 300 ribuan perhari,
ia bisa membayar dua pekerjanya. Masing masing 50 ribu perhari.
"bagi bagi rejeki lah... " begitu selalu ucapannya.
Tahun 2014 ini dimulai Amin dengan keluhan.
Pertamina memberi kado bagi rakyat kecil, harga Elpiji naik tinggi.
Hadiah istimewa bagi masyarakat indonesia ini, versi Pertamina, disebabkan oleh tingginya
biaya produksi gas elpiji.
Menurutsebuah berita di televisi,biaya produksi elpiji saat ini sekitar 10.700 per kilogram,
sementara Pertamina mengaku menjualnya hanya 5.800 perkilogram.
Biaya jadi makin tinggi karena Indonesia tak memiliki pabrik produksi yang memadai.
Sekitar 50 persen kebutuhan elpiji jadi Indonesia masih di Impor.
Pertamina pun mengaku tahun 2013 saja merugi sekitar5 koma 7 triliyun rupiah.
Lucu bahwa perusahaan yang bertahun-tahun memonopoli bisnis gas dan bahan bakar di negeri ini, bisa mengaku terus merugi.
Lucu bagaimana kita mengekspor gas, diolah diluar negeri lalu diinpor kembali dengan harga lebih mahal.
Lucu, membuat tertawa sedih sampai air mata ini keluar.
Petinggi pertamina bahkan punya alasan lainnya menaikkan gas di tabung 12 kilogram.
Menurut mereka, tabung 12 kilo penggunanya adalah kelas  menengah ke atas.
Amin sendiri bersyukur jika dimasukan golongan orang menengah keatas,
tapi ia malah merasa belum kaya.
Ketika separuh penghasilannya dikirimkan ke istri dan anaknya di Jawa Timur,
ia hanya punya uang bulanan sebesar UMK minimal kelompok buruh di Jakarta.
Dan untuk itu pun, ia harus bekerja nyaris setiap malam. Tidak, Amin yakin ia belum termasuk kaya.
Sebelumnya Amin membeli satu tabung gas 12 kilo seharga 90 ribu rupiah.
Sudah langsung diantarkan ke lapaknya. Kini ia harus merogoh kocek sampai 135 ribu rupiah.
Keuntungannya jelas berkurang, apalagi tinggal tunggu waktu sebelum harga bahan melonjak tinggi.
Seperti biasa dalam aturan pasar jika harga bahan bakar naik maka semua harga lain akan terimbas.
Amin bukan pengusaha kacangan. Ia sudah mulai berhitung.
Kalau keuntungannya berkurang 45 ribu rupiah saja dalam sehari,
dia tahu akan sulit mempertahankan pegawainya. Padahal ia tak tega memecat salah satu dari mereka.
Kalau dia memaksakan tetap dengan pegawai, maka keuntungannya akan merosot terlalu jauh.
Amin pun kebingungan.
Saat ditanya kenapa dia tidak beralih ke tabung 3 kilogram yang lebih murah karena
di subsidi, Amin hanya tersenyum. Ternyata ia hanya memikirkan pelanggannya.
"Gas 3 kilo repot. Bisa bisa saya ganti 3 kali setiap malam... kasihan pelanggan kalo nunggu.... "
Amin masih terus berjualan dengan kompor dua tungkunya. Demi bertahan hidup,
Ia memutuskan mengurangi porsi makanannya. Ia juga membesarkan api di kompornya
agar makanan lebih cepat matang. Demi mempertahankan pekerjanya,
Amin juga merelakan penghasilannya berkurang.
Walau menaikkan harga adalah tindakan paling mudah dilakukan,
Amin justru menghindarinya. Ia tahu pelanggannya adalah pekerja pabrik,
karyawan ber gaji kecil dan buruh harian. Tak tega ia membebankan kerugiannya pada mereka.
Tahun 2014, Amin mencoba meningkatkan efektifitas usaha kecilnya.
Ia yakin jika gerobaknya dikelola lebih profesional dan ekonomis,
keuntungannya tetap akan bertambah tanpa perlu menaikkan harga.
Ia menolak menyerah walau persaingan dan biaya produksinya terus melambung.
Di Tahun yang sama Pertamina akan kembali menaikan gaji para karyawannya,
mulai tukang sapu sampai direktur. Walau mengaku merugi di sektor gas dan tak memiliki pabrik
pengolahan, Pertamina tidak juga berniat membangun pabrik yang dibutuhkan.
(Mungkin mereka pikir buat apa? Toh penghasilannya tetap akan besar.
Toh kalau ada kerugian …. biar sajalah konsumen yang menanggung.
Biar sajalah orang-orang seperti Amin yang terkena imbas kerugiannya. )
Saya berdoa semoga Amin dan semua pemilik negeri ini bisa bertahan,
tetap optimis dan pantang menyerah.
Apalagi saya juga pelanggan rasa nikmat nasi gorengnya.
Mampang, Januari 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H