Mohon tunggu...
Eddie MNS Soemanto
Eddie MNS Soemanto Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Humor

Buku puisinya Konfigurasi Angin (1997) & Kekasih Hujan (2014). Saat ini bekerja di sebuah perusahaan otomotif.

Selanjutnya

Tutup

Money

Uang Psikotes

16 Juli 2010   17:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:49 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

FITRI, satu dari ribuan pencari kerja dan (mungkin sangat) butuh kerja di Jakarta, menulis di Surat Pembaca Kompas tanggal 16 Juli 2010, bahwa dia melamar di sebuah perusahaan dan mengikuti wawancara. Setelah wawancara dia diharuskan membayar Rp.700.000,- untuk biaya psikotes. Karena mungkin sangat butuh sebuah pekerjaan, Fitri, membayar Rp.500.000,- diawal dan akan melunasi pada saat yang bersangkutan dinyatakan lulus.

Yang menjadi pertanyaan Fitri ini, kenapa harus bayar? Jujur saya jawab, kenapa mau? Apalagi setelah Fitri ini melihat profil perusahaan ini se-sampai di rumah, bahwa perusahaan yang dilamarnya ternyata sejak tahun 2009 banyak pencari kerja yang kecewa dan merasa tertipu dengan perusahaan tersebut. Apa lacur? Melayanglah uang Rp.500.000,- yang mungkin sangat berguna sekali bagi Fitri untuk membeli kebutuhan lain.

Bayangkan dalam sebulan ada seratus pelamar yang ‘dikerjai’ oleh perusahaan macam itu, Rp.50.000.000,- uang gampang masuk kas. Bagi pelamar macam Fitri, belum jadi pegawai saja sudah digerogoti, kononlah, kalau memang perusahaan itu ada, apa gak mungkin jadi sapi perahan para pekerjanya? Gaji di bawah UMR, telat pula dibayar. Tunjangan-tunjangan lain praktis tak ada, (sebab karyawan atau pekerja adalah orang-orang kontrakan). Karena perusahaan benar-benar menerapkan prisnsip ekonomi: modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Cerita model begini tidak sekali ini kita dengar. Orang-orang ‘hebat’ mencari celah dari mungkin keluguan dan ‘kedunguan’ orang lain dengan cara paling simpel: membuka lowongan pekerjaan tapi pekerjaannya di antah berantah.

Tapi di sini pulalah dituntut ilmu pengetahuan dari para pelamar. Gunakan pengetahuan itu untuk mencari info, dan bertanya ke sana ke mari tentang sesuatu yang dilamar. Jangan asal terbuai dengan nama megah perusahaan berlokasi di tempat mentereng, lalu beranggapan perusahaan itu bonafit. Bonafitnya mungkin betul, tapi bonafit dalam menipu orang. Melamar anak orang saja belum tentu pula kita harus membayar langsung, masa ini yang butuh karyawan dia, kita pula yang harus membayar jasa psikotes. Mestinya sebagai calon karyawan di sini kita harus berpikir kritis, buat bayar jasa psikotes saja mereka tak punya uang, gimana nanti mereka menggaji kita? Nah lo…. Lupakan melamar pada perusahaan macam begini.@18VII10

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun