Si pengeluh. Begitu teman-teman menjuluki Abrar. Tiap hari, semua dikeluhkannya. Mulai dari presiden yang katanya tidak becus. Menteri yang katanya asal ngomong. Kepala daerah yang katanya tidak bosan-bosannya nggembosi uang rakyat. Sampai ke... hujan yang tak henti-henti. Dan kalau panas, waduh panasnya minta ampuuun. Sampai malas pergi ke mana-mana.
Semuanya dikeluhkan. Bahkan sampai kegiatan ritual pun ia jadikan bahan keluhan. Ceramah ustad yang tidak bermutu. Bacaan ayat sholat Imam yang kepanjangan. Sampai ia sendiri kehilangan sandal bututnya ketika Jumatan.
Semua teman terheran-heran. Begitu pun saya. Padahal dulu Abrar tidak begini orangnya. Sikapnya santun. Bahasa tubuhnya anggun. Senyumnya selalu menghiasi setiap langkahnya. Dan perkataannya menyejukkan.
Iseng, suatu kali, saya bertanya "apa kabar" kepadanya. Tahu apa jawabannya? Luar biasa! Abrar memberondong saya dengan keluhan-keluhannya. Kali ini lebih spesifik. Bangun pagi yang mulai payah. Sholat Subuh yang mulai bolong-bolong. Berangkat kantor yang mulai malas. Termasuk kerja yang mulai membosankan. Bla bla bla...
Saya tersenyum. Mencoba menghiburnya. Tapi naas, saya ternyata bukan tipe penghibur. Tipe pendengar pun tidak. Saya kerap menyela omongan Abrar. Hahaha. Lalu apa bedanya saya dengan Abrar? Satu Si Pengeluh, satu lagi Si Penyela.
Hidup sejatinya harus bisa menerima kekalahan dan atau kemenangan. Bisa dengan jernih melihat perbedaan-perbedaan. Bisa dengan senyum menerima kritikan. Dan, meminjam bahasa Paulo Coelho: "Hanya yang berikut ini patut dianggap sebagai kekeliruan-kekeliruan serius; tidak menghormati hak-hak orang lain; membiarkan diri sendiri dilumpuhkan oleh rasa takut; merasa bersalah; meyakini bahwa kita tidak layak menerima hal-hal baik atau buruk yang terjadi dalam hidup kita; menjadi pengecut."
Di akhir pertemuan dengan Abrar, ia membisikkan ke telinga saya. "Saya tahu saya digelari Si Pengeluh oleh teman-teman. Tapi kamu tidak tahu, sifat ini menular dari bos saya. Hampir setiap pagi dia mengeluh."
Nah lho. Ternyata mengeluh itu menular.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H