TERNYATA untuk menjadi orang nomor satu di kepolisian itu syaratnya gak banyak. Seperti yang dimuat Tempo (25 Juli 2010) kemaren: sederhana, harmonis, dan agamis. Tentu, syarat mutlak ya harus jenderal dulu plus (seperti yang saya baca di Tempo) penilaian itu dilihat juga dari gaya kepemimpinan, pembawaan sehari-hari, juga hubungannya dengan lembaga lain.
Sederhana? Ya sangat sederhana dan simpel sekali penilaian itu. Di Padang (dan mungkin di kota-kota lain) ada sebuah Rumah Makan Padang yang namanya 'Sederhana', tetapi tempatnya -menilik dari bangunannya- sangat tidak sederhana. Ini sesuai yang dilansir di Tempo, para calon kandidat Kapolri tersebut rata-rata tinggal di rumah mewah dan mempunyai kekayaan di atas rata-rata. Dari mananya sudut pandang sederhana itu? Kalau menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu - Zain, sederhana berasal dari kata Sanskerta yang berarti (1) bersahaja, tidak mewah, tidak luar biasa, (2) sedang, di tengah-tengah, (3) lugu, apa adanya, (4) tidak berbelit-belit dan sulit rumit.
Dari kata sederhana ini dan lantas membandingkan realitas yang ada dan tampak, sepertinya penilaian yang didapat itu sangat lugu banget. Atau tepatnya barangkali sangat paradoksal. Tentu kalau mewah yang ditulis di Tempo itu benar, bahwa mewah seperti itu adalah levelnya atau tingkatannya disebut 'sederhana' barangkali gak akan ada orang miskin.
Dan harmonis, mengukur harmonis ini dari dulu sampai sekarang, rasanya, seperti juga yang ada di kamus berarti selaras, serasi (rumah tangganya). Bisa juga diukur dari cara berpakaiannya dan dandanannya yang serasi, tidak norak. Boleh lah tolak ukur penilaian ini. Sebab kalau pun ada yang neko-neko, misalnya berselingkuh, biasanya dilakukan diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Tapi semoga orang-orang yang dikatakan kandidat itu tidak ada yang tersangkut kasus asmara buta ini.
Tapi agamis? Dulu, saya mempunyai bos yang suangat agamis sekali. Sholatnya itu sangat tepat waktu, walaupun jarang berjamaah dengan karyawannya. Walau sholatnya dilakukannya sendiri-sendiri di ruangannya. Tapi mulutnya? Wow, tak tergambar kalau dia rajin sholat. Memang sholat (dalam Islam) tidak menjamin seseorang akan bersikap arif dan beradab. Dus, penilaian agamis ini sepertinya mengandung juga unsur ke-bias-an. Sebab sejatinya, manusia itu adalah agamis, karena dia beragama (maaf, saya tidak menyinggung orang yang tidak mempunyai agama). Cuma apakah agama itu dia jalankan atau tidak, tentu terpulang kepada urusan dia kepada Tuhannya. Dan kandidat itu adalah orang yang beragama, dan apakah dia agamis, masih perlu bukti yang kuat untuk mengukurnya.
Semoga orang yang terpilih nanti juga termasuk orang beradab dan berbudaya.@8VIII10
* Sumbang saran di www.narasied.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H