Mohon tunggu...
Eddie MNS Soemanto
Eddie MNS Soemanto Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Humor

Buku puisinya Konfigurasi Angin (1997) & Kekasih Hujan (2014). Saat ini bekerja di sebuah perusahaan otomotif.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ke nJanti Nanggulan

31 Agustus 2010   23:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:33 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ADA rasa sedih yang mendalam ketika mendapat khabar bahwa Simbah di nJanti telah meninggal dunia. Terbayang seketika raut keriput dengan tubuh kurus kering, tetapi mempunyai energi yang sangat luar biasa. Setahuku, walau cuma beberapa minggu kumpul dengannya, beliau tak pernah mengeluh.  Sampai akhir hayatnya pun ia tetap mandiri, tak mau merepotkan anak-anaknya. Bahkan beliau menolak untuk diajak tinggal di Sumatera menghabiskan masa-masa tuanya. "Saya ingin dikubur di sini saja," katanya.

Keinginannya untuk dikubur di tanah kelahirannya akhirnya kesampaian. Simbah wafat -berita yang aku dapat- karena usia lanjut. Ya, selamat jalan Simbah, semoga Tuhan memberikan tempat yang layak untukmu: sorga nan abadi.

Aku yang tercenung, ingat ketika dulu, begitu selepas SMA mempunyai keinginan untuk bisa kuliah di Jogja. Sederhana saja, kalau aku kuliah di sana, yang pasti aku tidak akan mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal atau kost, karena orang tuaku berasal dari Jogja tentu aku bisa nebeng (seperti halnya di Kompasiana juga nebeng) di tempat sanak-keluarga tersebut. Hahaha... sebuah niat sederhana yang belum tentu disukai oleh sanak-keluarga. Ternyata keinginan untuk kuliah itu pun kandas, karena aku tidak lulus Sipenmaru. Tetapi aku tetap berhasil ke Jogja. Dan komunitas yang pertama kali aku cari adalah komunitas yang sesuai dengan hobiku. Ya, puisi. Aku mencintai puisi. Dan Jogja adalah gudang dari para penyair.

Di Jogja, ditahun 90-an awal, aku berkenalan dengan penyair Ragil Suwarna Pragolapati. Aku ikut pesantren puisinya di Parangtritis bersama beberapa penyair muda Jogja. Dan malam pertama kegiatan itu sekaligus menjadi malam terakhir bersama komunitas tersebut. Aku diusir pulang oleh sang penyair yoga ini, karena lantaran mengucapkan sebuah kalimat yang berbau politik. Ternyata beliau ini -aku dengar khabar kemudian- (agak) anti dengan Orba. Tapi, ah, masa bodohlah itu. Aku senang diusir ke luar dari kegiatan itu. "Masa sih membuat puisi mesti bersusah-payah bersemedi segala di pasir pantai yang dingin dengan gedebur ombak yang entah," bathinku saat itu. (Tapi tak urung beberapa bulan kemudian, akupun dibuat tercenung kembali. Penyair Ragil Suwarna Pragolapati ini raib di Parangtritis, dan tak kembali sampai sekarang).

Apa yang kulakukan setelah itu? Sambil suka  keluyuran di Malioboro, dan lalu berkumpul dengan teman-teman dari Padang yang kuliah di UPN Veteran, aku coba-coba memasukkan cerpen ke harian yang ada di Jogja. Tercetus untuk kuliah di Asdrafi, Akademi Seni dan Film. Tapi, apakah orang tuaku setuju anaknya nanti jadi orang seni? Dan yang pasti niat itu pun tak jadi, karena aku keburu 'diusir' dari Jogja oleh para pemuda di desa K. Ini lantaran cerpenku yang terbit di Bernas, katanya menyinggung perasaan para pemuda di tempat aku nebeng, di rumah Pak Lik-ku. "Kami memang miskin, Mas, tapi tolong sampeyan jangan plintir ke sana ke mari kemiskinan kami ini."  teriak mereka sambil mereka melempari aku dengan batu-batu.

Untung aku diselamatkan oleh seorang pemuda yang masih keturunan keraton. "Mas, nanti kalau saya suruh lari, lari ya," katanya seperti berbisik. Aku ndak tahu, suruhan itu konyol atau bagaimana, yang pasti begitu ada kesempatan, aku lari sekencang-kencangnya, bahkan tak sadar aku telah sampai pula kembali di Padang (hihihi, pengecut juga aku ternyata). Dalam perjalanan pulang, aku masih penasaran, kenapa sih para pemuda itu kok tahu aku menceritakan mereka? Hmm... pantesan, sebuah nama gadis cantik di desa itu menjadi biang keladinya. Aku lupa mengganti nama itu. Tapi betulkah masalah kemiskinan yang menjadi topik kericuhan ini? Jangan-jangan, ini masalah kecemburuan asmara belaka? Ya, gadis itu memang cantik.

Tetapi, anak gadis semata wayang tempat temanku kost dekat UPN Veteran itu juga cantik. Bahkan terang-terangan ia suka berkirim salam lewat temanku. Andai saja waktu itu aku tidak menampik, 'ajakan berpacaran' anak ibu kost temanku, mungkin sekarang aku sudah jadi juragan kost di Jogja. Lha, anak semata wayang, harta warisan orang tuanya lari ke mana? Andai....@

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun