Eddie MNS Soemanto (No. 64)
PAK Dei kelihatan letih setelah menempuh empat jam perjalanan darat dari Pasaman ke Padang. Bulir-bulir keringat menetes dari wajahnya yang legam. Wajah itu masih menyisakan ketegasan di usianya yang sepuh.
Seperti biasa Pak Dei membawa oleh-oleh, tak tanggung-tanggung, sekarung hasil kebunnya. Begitu beliau suka bilang. Lalu ditambahi, "Musim ini hasil agak lumayan."
Bapak masih bersarung menemani Pak Dei. Disusul Ibu dengan gelas kopi dan cemilan buat Pak Dei. Biasanya Ibu suka berbasa-basi. "Pak Dei ini kalau ke sini suka repot-repot bawa oleh-oleh segala."
"Mbok Dei-mu yang suruh bawa." Ujar Pak Dei sambil menyeruput kopi yang dihidangkan ibu.
Aku terkesan dengan suara Pak Dei. Menggelegar. Barangkali di waktu mudanya dulu Pak Dei, dengan suara keras seperti itu, Pak Dei ditakuti orang. Bagi yang pertama ketemu mungkin saja. Tetapi kalau sudah ngobrol, pasti akan terkesima. Selain enak diajak ngobrol, orangnya juga lucu.
Dan saat ini aku lagi mencuri dengar dari belakang pintu kamar, Pak Dei lagi bercerita sama Bapak. "Man, lusa temani aku ke Medan lagi, ya?"
"Masih belum kelar-kelar juga urusannya, Pak Dei?" Jawab Bapak.
"Belum. Entah kapan aku menerima pensiunku." Seperti pasrah suara Pak Dei.
Kalau aku tak salah ingat, dari SMP sampai aku tamat SMA, Pak Dei bolak-balik Pasaman, Padang, Medan dan Jakarta mengurus pensiun veterannya. Aku tidak tahu pasti di mana tersangkutnya ke-administrasi-an pensiun veteran Pak Dei.
Aku pernah bertanya kepada Bapak, apakah Pak Dei pernah ikut berjuang untuk kemerdekaan? Kalau menurut cerita Pak Dei, begitulah, jawab Bapak. "Pak Dei ikut bertempur mengangkat senjata di belantara Sumatera melawan Belanda. Ia hampir mati karena ditembaki Belanda. Jalan pincangnya itu bukan karena jatuh, tetapi sebutir peluru pasukan Belanda berhasil menembus tempurung lututnya. Pak Dei tak mau hal itu dibesar-besarkan. Apalagi untuk disombongkan."