Mohon tunggu...
Eddie MNS Soemanto
Eddie MNS Soemanto Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Humor

Buku puisinya Konfigurasi Angin (1997) & Kekasih Hujan (2014). Saat ini bekerja di sebuah perusahaan otomotif.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hujan dan Guns N' Roses

1 November 2010   18:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:55 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HARI ini, Senin, 1 Nvember 2010, menjadi hari yang sangat aneh. Hujan sepertinya main-main dan mengolok-olok. Hujan sebentar lalu berhenti. Hujan lagi, berhenti lagi. Begitu terus berulang-ulang, sampai malam, sampai jam berganti angka kecil dan mata mulai mengantuk. Ibarat orang mengisi bak penampungan air, penuh, lalu dipakai. Kosong, diisi kembali. Kosong lagi, diisi lagi. Begitu terus. Seperti siklus. Seperti roda, berputar. Guns N’ Roses benar tentang hal yang satu ini: November Rain. Seperti orang-orang meng-update statusnya, baik di FB maupun di Twitter: November Rain… November Rain. Tetapi banyak orang hanya basa-basi.

Gerimis mempercepat kelam. Kata Chairil Anwar dalam puisinya Senja Di Pelabuhan Kecil. Tetapi hari ini Gerimis silih berganti dengan hujan. Dan kelam silih berganti juga dengan terang. Apa bedanya kalau hatiku pun pilu. Baju tak kering dicucian. Penyakit flu dan selesma mengintai kita. Macet oleh hujan penyakit yang makin lumrah. Dan terlambat masuk kerja dan sekolah dengan alasan hujan, adalah cause yang basi. Sungguhpun begitu, Sapardi Djoko Damono tak bersetuju dengan Guns N’ Roses tentang hujan. Sebab Sapardi Djoko Damono punya Hujan Bulan Juni. / tak ada yang lebih arif / dari hujan bulan juni / dibiarkannya yang tak terucapkan / diserap akar pohon bunga itu.

Tetapi siapa yang lebih peduli dengan hujan, selain orang-orang yang tak punya kerjaan? Hujan juga memancing rasa takut di ujung malam. Jangan-jangan airnya sudah masuk ke dapur rumahku. Aku bukan Jakarta yang sok tangguh diredam air (hujan). Atau senekat banyak kota di Indonesia yang tak pernah peduli akan air (sisa) hujan. Hutan-hutan dibabat. Bantaran-bantaran sungai dijadikan tempat menyambung hidup yang sialan. Lalu, apakah kamu peduli dengan semua ini? Atau malah ikut-ikutan membuang sampah kehidupan ke kali. Toh apa bedanya antara ikut menjaga dan tidak peduli: Masing-masing dari kita, masing-masing dalam diri kita, mempunyai keterasingan sendiri-sendiri.

Hujan, seperti biasa, hanya tanda waktu, bumi sedang menangis. Duka oleh bencana. Tetapi oleh Sitor Situmorang… aku dan gerimis tersenyum / dalam senyummu! (Puisi Hujan Kota London). Memang sebaiknya kita tersenyum….@www.narasied.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun