KOMPAS, Jumat, 11 Desember 2009 halaman 29 memuat berita tentang SEA GAMES XXV yang tengah berlangsung di Vientiane Laos: Tim PSSI Memalukan. Ada yang aneh dengan berita ini? Kayaknya enggak deh. Kali yang rada aneh mungkin, sudahlah memakai tiga orang pelatih, asing lagi, masih juga menjadi tim ayam sayur. Masa sih sama Laos saja bisa takluk? (Pasti akan dijawab begini, “Laos kan tuan rumah, wajar dia menang karena pendukungnya banyak.”) Hahaha… jawaban asli orang Indonesia. Memangnya kalau jadi tuan rumah Indonesia juga jago? Teman saya yang duduk di sebelah saya nyeletuk, “Iya jago. Tapi jago kelahi.”
Judul di atas barangkali agak kasar atau vulgar. Tapi itulah gambaran hati saya melihat sepakbola orang Indonesia. Di berita kompas tersebut, disebutkan permainan tim nasional U-23 tersebut bermain tanpa pola. Aneh, mereka-mereka ini kan pemain bola bukan baru kemari dalam bermain untuk digabungkan menjadi sebuah tim, apalagi ditambah pelatih asing, kok bisa mereka-mereka bermain tanpa pola? Pelatihnya ngapain aja kok punya pemain bisa geblek seperti itu? Lagi-lagi teman saya yang duduk di sebelah saya nyeletuk lagi, “Sehebat-hebatnya pelatih yang dibayar oleh Indonesia, yakinlah, pemain bola orang Indonesia bakalan gak bisa hebat. Pemain bola Indonesia itu bermain bukan pakai otak dan teknik, tapi terbiasa pakai otot, itu pun hanya untuk rebut bin kelahi.” Kali berlebihan juga teman saya ini mengkritik. Atau jangan-jangan yang menulis berita ini berlebihan, sementara pemain tim nasional U-23 itu sudah bermain all out, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, masih juga dibilang gak pakai pola. Kasihan juga tim tersebut. Atau jangan-jangan pelatihnya yang gak benar melatihnya. Atau jangan-jangan pelatihnya bukan hanya tiga orang (oom-oom Uruguay) tersebut di atas, tetapi seluruh pengurus PSSI juga ikut menjadi pelatih, sehingga semua pemain kebingungan instruksi siapa yang mesti diikuti.
Sepertinya PSSI tidak juga mau bercermin. Hanya percaya kepada satu dua orang tentang bagaimana membuat sepakbola itu maju dan enak untuk ditonton. ‘Menghambur-hamburkan’ uang membuat proyek, membuat tim di luar negeri, tetapi hasilnya pun tidak berbekas sama sekali. FIFA pun dipentantang-pententengi. Lucunya, masih berani berharap menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 (Kompas, Jumat, 11 Desember 2009 halaman 35). “Masa sih berharap gak boleh, sob?” Iya ya, masa untuk berharap gak boleh? Berharap itu kan mirip-mirip dengan bermimpi. Untuk maju itu kita harus punya impian. Betul juga sob, untuk maju kita harus berani punya impian. Paling-paling, ini paling-paling ya, orang Indonesia itu buruk muka kan cermin yang dibelah, jadi kalau pun kalah, kalau pun gak maju-maju, sudah ada kambing hitamnya untuk dijadikan korban.
“Hei, sob, lu kan orang Indonesia juga.”
“Ya karena gua orang Indonesia makanya gua berani mengkritik begini. Ini buat kemajuan kita, kemajuan sepakbola Indonesia juga. Sekalian gua titip pesan, mbok ya cari pemain itu yang badannya tinggilah. Masa sih di Indonesia gak ada pemain bola yang tinggi-tinggi? Ayo maju sepakbola Indonesia!“121209
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H