Mohon tunggu...
Eddie MNS Soemanto
Eddie MNS Soemanto Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Humor

Buku puisinya Konfigurasi Angin (1997) & Kekasih Hujan (2014). Saat ini bekerja di sebuah perusahaan otomotif.

Selanjutnya

Tutup

Money

Doa

3 Februari 2015   05:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:55 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HARI ini, di ujung Januari 2015, saya sampai di rumah pukul 22.00 lewat. Dari kantor tadi ada perasaan tak enak pada lambung saya. Antara mules dan -maaf- pengin puk. Jadi begitu sampai di rumah, saya langsung menuju kamar mandi. Sedikit terhuyung tak lupa saya menyambar buku Paulo Coelho yang belum selesai saya baca. Kebisaan membaca sambil puk saya adopsi dari melihat gambar sebuah rumah mewah, di mana di kamar mandinya ada semacam rak untuk menaruh buku-buku. Terbaca di gambar tersebut, pemilik mempunyai hobi baca sambil puk. Saya pun mencoba, eh keterusan?
Hari ini, di ujung Januari 2015, hari yang sangat melelahkan.  Bukan badan, tapi pikiran. Bukan pikiran, tapi badan. Nah, bingungkan? Makanya saya sebut melelahkan.
Hari tidak mendung tidak juga panas. Tetapi sesekali gerimis jatuh juga. Saya urungkan niat untuk memandikan kendaraan. Sayang duitnya. Sekarang sekali mandi bisa mencapai limapuluh ribu. Tak jarang mandi itu pun tak bersih. Saya kadang-kadang berpikir, apakah betul doa si empunya cucian kendaraan adalah doa minta hujan?
Doa minta hujan? Rekan saya mencap saya sedeng. Setiap orang kemungkinan besar punya rapal doa (yang sama) yang selalu dipanjatkannya kepada Tuhannya. Kau pun pasti begitu, kata rekan itu kepada saya.
Ya, saya ingat, pertama kali berdoa, saya diajarkan oleh ibu saya. Doa akan membuat kita kuat, kata ibu. Juga penuh harapan. Maka teruslah kamu berdoa, walau Tuhan belum (mengabulkan) segera semua permintaanmu.
Tetapi kadang-kadang, sebagai manusia, saya lupa untuk berdoa. Dengan alasan tak punya waktu, saya kesampingkan doa. Kalapun berdoa, itu hanya sekilas lalu. Tak khusyuk. Kebanyakan terburu-buru. Bayangkan, betapa kurang ajarnya saya. Sementara, rezki nikmat telah cukup saya terima. Apa susahnya berdoa dengan khusyuk dan ikhlas?
Dan hari ini, di penghujung Januari 2015, pagi-pagi, kami bersyukur diingetin berdoa oleh bos kami. "Target masih jauh dari harapan. Dibanding bulan lalu, bulan ini, pencapaian yang sangat jelek sekali. Dibanding cabang lain, saya tak sanggup mengatakan. Pencapaian kita paling bawah (tuh, disebut juga, bos).  Maka untuk memperlancar rejeki, saya minta kepada teman-teman untuk instropeksi diri apa yang telah kita berikan terhadap perusahaan. Hari ini, hari terakhir di bulan Januari, saya meminta kepada teman-teman untuk bekerja keras sampai tetes darah terakhir untuk bisa mencapai target yang diinginkan perusahaan. Dan, saya minta, lipat gandakan juga berdoa. Bagi yang merasa belum dijabah doanya, barangkali lama tidak mengunjungi ibu-bapak. Temui mereka. Minta maaf dan mintakan doa untuk kesuksesan hari ini. Bagi yang ibu-bapaknya sudah tiada, doakan mereka....
Belum selesai si bos ini bicara, teman sebelah saya nyeletuk, "Mendadak religius."
Saya menahan senyum. Takut ketahuan yang dikira nanti meledek. Doa, mainstream-nya minta maaf (lebih dulu) kepada orang tua (terutama ibu) supaya segera dijabah oleh Allah. Tapi dalam kondisi yang genting, kepepet, kurang target, dan minus lainnya, lalu kita diminta segera meminta maaf kepada orang tua, agar supaya target perusahaan tercapai, tak salah memang, namun rasanya, hilang "ruh"-nya. Hilang sakralnya.@

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun