Ada lima syarat mutlak yang harus dipenuhi agar pembangunan pertanian dapat terjadi, yaitu : (1)adanya pasar bagi produk-produk agribisnis, (2) teknologi yang senantiasa berubah, (3) tersedianya sarana dan peralatan produksi secara lokal, (4) adanya perangsang produksi bagi produsen, dan (5) adanya fasilitas transportasi (Mosher, 1966). Jelas bahwa “teknologi yang senantiasa berubah” merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi agar sektor pertanian dapat berkembang. Tanpa terjadinya perubahan teknologi secara terus menerus, pembangunan pertanian akan terhambat, walaupun keempat syarat mutlak lainnya telah terpenuhi.
Dalam konteks agribisnis, yang lingkupnya lebih luas daripada aktivitas produksi pertanian primer, teknologi dapat didefinisikan sebagai “metode baru” yang digunakan untuk memproduksi hasil pertanian primer, mengolah hasil pertanian primer, menyimpan dan mengangkut produk-produk agribisnis yang dihasilkan. Pengertian “baru” di sini adalah baru bagi pihak tertentu karena metode itu mungkin telah digunakan oleh pihak lain. Yang penting adalah bahwa suatu teknologi baru harus memberikan manfaat yang makin besar bagi aktivitas agribisnis.
Teknologi baru itu diciptakan melalui kegiatan penelitian, baik dalam rangka perbaikan atau pembaharuan dari teknologi yang sudah ada (technology innovation) sehingga mempunyai keunggulan lebih banyak, atau suatu penemuan teknologi yang sama sekali baru (technology invention). Sumber sumber teknologi yang akan diperbaharui bisa petani atau pengguna lainnya, mendatangkan dari daerah-daerah atau negara-negara lain atau penelitian-penelitian yang terarah (purposeful research). Dalam hal ini, penelitian dan pengkajian merupakan kegiatan verifikasi dari metode-metode paling produktif yang digunakan oleh pengguna di suatu daerah atau negara lain.
Agribisnis didefinisikan pertama kali oleh David dan Golberg (1957) sebagai berikut : “Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and all distribution of farm supplies; production activities on the farm; and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them”.
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa pengertian tentang agribisnis pertanian dalam arti luas. Pertama, jenis kegiatan usaha, yaitu yang berkaitan dengan pertanian. Agribisnis mencakup kegiatan produksi pertanian primer atau umum dikenal sebagai kegiatan usahatani, serta kegiatan terkait dalam spektrum luas, yaitu produksi dan distribusi input pertanian, penyimpanan, pengolahan dan distribusi komoditi pertanian berikut produk-produk turunannya serta pembiayaan usaha-usaha tersebut. Namun kiranya patut dicatat bahwa usaha inti dari setiap bidang usaha agribisnis tersebut ialah usaha produk pertanian primer atau usahatani. Pabrik pupuk ada karena ada usahatani yang membutuhkan pupuk. Agroindustri ada karena ada produk pertanian yang menghasilkan bahan baku pabrik agroindustri tersebut. Agribisnis dapat pula disebut sebagai usaha pertanian, kegiatan usaha berkaitan dengan pertanian.
Kedua, agribisnis mengacu pada sifat atau orientasi usaha pertanian sebagai usaha komersial yang mengejar laba. Usaha pertanian berorientasi pasar. Usaha pertanian yang bersifat subsisten (memenuhi kebutuhan sendiri) atau hobi tidak termasuk agribisnis. Usahatani, termasuk usahatani keluarga, skala kecil, tidak berorientasi memaksimalkan volume produksi, tetapi mengoptimalkan perolehan laba. Tambahan laba merupakan motivasi utama dalam mengadopsi suatu teknologi baru. Oleh karena itu, tambahan laba (marjinal benefit) dan penurunan biaya (marjinal cost) merupakan dua kriteria ekonomi teknologi unggul.
Ketiga, usaha agribisnis bersifat otonom. Sebagai suatu perusahaan komersial, agribisnis dikelola secara bebas oleh pemiliknya dan sebesar-besarnya untuk kepentingan pemilik tersebut. Petani, misalnya, bebas dalam memilih komoditas, teknologi dan penggunaan sarana maupun prasarana usahatani yang digunakan. Prinsip ini merupakan syarat mutlak bagi suatu perusahaan komersial privat. Di Indonesia, kebebasan petani telah dikukuhkan secara yuridis, yaitu melalui Undang-undang Sistem Budidaya Tanaman. Ini berarti, pemerintah atau pihak manapun tidak boleh memaksa petani untuk menanam komoditas tertentu atau menggunakan input maupun teknologi tertentu, sepanjang hal itu tidak dilarang oleh peraturan hukum. Jika demi kepentingan umum, pemerintah mengharuskan petani menanam komoditas tertentu atau menggunakan teknologi tertentu, maka petani berhak memperoleh kompensasi atas kerugian yang ditimbulkannya.
Keempat, masalah usahatani bersifat sistemik, tidak hanya terletak pada usahatani (on-farm) melainkan juga bahkan kerap lebih banyak di luar usahatani (off-farm). Masalah pembangunan pertanian haruslah didiagnosa dan diatasi berdasarkan pendakatan sistem. Usahatani hendaklah dipandang sebagai inti dari suatu sistem agribisnis berbasis komoditas yang dihasilkan oleh usahatani tersebut. Setiap komponen usaha dalam sistim agribisnis tersebut turut berpengaruh terhadap keragaan usahatani. Sebagai contoh, gejala perlambatan perkembangan usahatani padi, boleh jadi merupakan akibat dari gejala saturasi inovasi teknologi usahatani padi yang merupakan fungsi dari komponen Litbang Pertanian. Dari contoh ini jelas kiranya bahwa fungsi Litbang teknologi Pertanian merupakan salah satu komponen esensial sistim agribisnis.
Kelima, agribisnis sebagai paradigma pembangunan. Setiap komponen agribisnis dipandang sebagai sebuah sistem yang terpadu secara vertikal mulai dari pengadaan input pertanian sampai dengan distribusi produk-produk pertanian ke tangan konsumen akhir. Dengan kata lain, agribisnis harus dikelola secara “integratif”. Ini merupakan sebuah paradigma baru dalam pembangunan sektor pertanian di Indonesia. Sebagai faktor pemadu (the coordinating factor) adalah pasar. Sebagaimana dikemukakan oleh Mosher (1966), adanya pasar bagi produk-produk pertanian merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi agar pembangunan pertanian dapat berjalan. Oleh karena itu, semua kegiatan agribisnis mulai dari yang paling hilir sampai dengan yang paling hulu harus diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar, baik dari segi ketepatan kuantitas, kualitas maupun waktu.
Para pendidik di bidang pertanian dan sosial ekonomi mempunyai kontribusi besar dalam pengembangan agribisnis. Dunia pendidikan formal yang menciptakan manusia terampil dan berpengetahuan luas yang diperlukan oleh pemerintah dan perusahaan, maupun pendidikan non-formal yang memberikan bekal ketrampilan dan pengetahuan kepada para petani dan pelaku agribisnis lainnya sangat dibutuhkan. Dengan meningkatnya kompetisi antar pelaku bisnis dan antar negara, produk- produk yang dihasilkan tidak hanya didasarkan atas sumberdaya yang ada (resource base), tetapi yang lebih penting didasarkan atas ilmu pengetahuan (knowledge base). Kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta, termasuk LSM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H